Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Akankah tubuh ini akan mengalami kematian yang sama?
Lisa tidak akan membiarkannya.
"Lepaskan aku! Aku tidak bersalah! Aku tidak pernah membunuh siapa pun!"
"DIAMLAH PERMAISURI! Atau hukuman anda akan semakin berat!"
Lisa berdecih. Jadi seperti ini sikap para manusia biadab yang menusuknya dari belakang. Tiba-tiba kedua Jenderal yang menggiringnya dengan kasar itu melepaskan cekalannya. Sontak saja, tanda tanya besar berkeliaran di kepala Lisa.
Bukankah Permaisuri Aerin dulu dieksekusi di hadapan rakyat?
Kenapa dirinya masih di istana?
Kebingungannya tak bertahan lama saat satu per-satu dayang-dayang istana datang membawa nampan berisi semangkuk cairan berwarna hitam pekat dengan bau menyengat. Tak perlu bertanya lagi, kini ia tahu hukuman apa yang akan ditimpakan atasnya.
"Dia menyuruhku minum racun, heh?" gumam Lisa terkekeh sinis. Senyum miring tercetak jelas di wajahnya. Membuat beberapa pejabat dan orang yang hadir dalam eksekusinya dibuat terheran.
Manik yang biasanya menatap lembut itu kini berkilat tajam penuh amarah. Dunia memang sangat keras. Kebenaran yang diperjuangkannya selama ini, haruskah berakhir sama dengan Permaisuri Aerin?
"Kaisar Lee Han Kyul telah tiba!"
Atensi Lisa bertemu dengan mata elang milik orang nomor satu di Kerajaan Fantasia, tempat di mana menyimpan sejuta keajaiban yang sempat membuat Lisa terpesona hingga terjatuh. Tak ada aura kesedihan lewat tatapan pria dingin yang dulu juga telah mengeksekusi Permaisuri Aerin di kehidupan sebelumnya. Entah apa yang ada di pikiran pria di hadapannya, padahal seharusnya pria ini tahu kalau dia tidak bersalah.
Namun mengapa hukuman ini masih tetap dijatuhkan padanya?
Sebenci itukah Kaisar Lee terhadap dirinya?
"Cepat minumlah Permaisuri, dan anda akan tertidur nyenyak tanpa penurunan tahta Anda sebagai permaisuri Kerajaan Fantasia."
Lisa terkekeh karena ucapan Kaisar di hadapannya. Jujur, ia kecewa. Lisa diam. Namun matanya dengan berani membalas tatapan dingin Kaisar dengan tatapan tajam.
Satu mangkuk diberikan, tapi langsung ia tepis dengan kasar sehingga jatuh di tanah.
Semua orang dibuat terkejut dengan kelakuan brutal permaisuri mereka. Di antara keterkejutan itu, tersembunyi senyum kelicikan yang tercipta jelas di antara wajah selir-selir penghianat.
Mangkuk-mangkuk yang berdatangan itu ditepis Lisa tanpa mengalihkan tatapan tajamnya dari manik sang kaisar. Hingga tinggal beberapa mangkuk, Lisa baru mau menerimanya.
Namun, sekali lagi ia tidak meminumnya, melainkan membuangnya dengan kasar ke arah Kaisar sehingga membuat baju kebesaran kerajaannya basah dengan cairan racun.
"Aku sangat membencimu!!" teriak Lisa frustasi. Kedua matanya berkaca-kaca dan bibirnya bergetar menahan isak tangis.
Sontak saja, sikapnya itu malah membuat puluhan tombak dilayangkan ke arahnya sebagai peringatan waspada.
Air mata Lisa akhirnya luruh gadis itu menunduk, terisak sampai membuat tubuhnya bergetar. Kini ia menatap penuh kebencian pada Kaisar.
"Kupikir ... aku mampu merubah nasib menyedihkan wanita ini. Ternyata aku salah. Aku tidak sehebat itu. Aku ...!" Gadis itu terisak sampai tidak bisa berkata apa-apa.
Lisa menundukkan wajahnya, tak kuasa lagi menatap Kaisar Lee yang tetap beku seperti es. Dan sebuah mangkuk berisi cairan itu kembali disodorkan. Kali ini oleh Kaisar sendiri.
Kepala Lisa mendongak, menatap penuh kebencian. Dengan tangan bergetar, Lisa menerima mangkuk itu. "Semoga anda tidak menyesal, Baginda."
Pada akhirnya gadis itu menyerah, ia meminum cairan itu dengan sekali teguk.
Salah satu sudut bibir Lisa terangkat, menciptakan senyuman sinis tanpa empati.
"Tentu, aku tidak akan menyesal, Permaisuriku."
***
Di sebuah gua dengan pencahayaan temaram, tampak altar yang berbentuk lingkaran dengan gambar rumit perpaduan antara bentuk geometri dan abstrak dan sebuah peti mati berwarna putih dengan ukiran berwarna emas menghiasi sisinya diletakkan dengan posisi tepat di pusat altar.
Dua sosok berjubah hitam dengan tinggi tidak seimbang itu mendekati altar. Salah seorang tampak tinggi menjulang dengan bahu lebar terus berjalan mendekat ketika seorang lagi di sisinya menghentikan langkah. Berbeda dari pria jakung yang tampak kekar di balik jubah hitamnya, sosok berjubah yang satu memiliki tubuh lebih kecil dan mungil. Dari perbedaan fisik keduanya, maka bisa ditebak bahwa mereka adalah sepasang pria dan wanita.
Si pria berhenti di sisi peti, lalu membuka pintu peti itu. Begitu ia melihat sosok yang tampak pulas di dalamnya, kedua matanya nampak terbelalak. Memar kemerahan tampak melingkari leher dari sosok wanita yang tertidur pulas di dalam peti mati. Bukan hanya pulas, tetapi tidur untuk selamanya.
Setelah beberapa saat mengamati sosok jasad yang telah bersemayam lebih dari sepuluh tahun itu, rahang pria itu sedikit mendongak sebelum akhirnya kembali menutup peti.
"Lakukan!" perintah si pria yang langsung ditanggapi oleh sosok si wanita berjubah.
Tanpa instruksi, wanita itu menfeluarkan belati lalu menggores pergelangan tangannya sendiri. Darah segar menetes ke lantai altar, di mana motif gambar bentuk altar itu memiliki sedikit cekungan. Cairan merah itu menetes dan mengalir, mengisi setiap cekungan hingga membuat darah itu bertemu dari arah satu sama lain.
Tak hanya si wanita, si pria berjubah juga rupanya menggores tangannya sendiri. Setelah darah kedua orang berjubah itu menyatu, si pria kembali membuka peti mati, lalu ikut menggores tangan si jasad. Mengambil setetes darah yang secara ajaibnya masih terlihat segar, si pria langsung mencampurkan tiga darah dari tiga orang yang berbeda menjadi lebur dalam satu aliran.
Mulut si wanita berjubah mulai komat-kamit merapalkan mantra dengan tangan membentuk pistol di depan dada. Gerakannya itu diikuti si pria berjubah hitam. Mereka berdua sama-sama merapalkan mantra yang secara perlahan mulai muncul sebuah cahaya samar dari aliran darah mereka. Perlahan tapi pasti, cahaya berwarna merah itu tampak kian menyilaukan hingga ke langit-langit hingga seketika muncul sebuah pintu portal berwarna hitam di atas kepala mereka.
"Sudah siap."