Menikah dan hidup bahagia bersama dengan keluarga kecil yang dibangun pasti merupakan impian semua orang. Namun, bagaimana jadinya jika keluarga kecilmu yang kini berada dipuncak kebahagiaan justru harus hancur seketika saat bayang-bayang kesalahan masa lalu datang menghantui? Karena sebuah kesalahan di masa lalu, Ara harus menelan pil pahit saat keluarga yang dia bina sejak dulu hancur begitu saja, terlebih saat tahu jika suaminya membangun keluarga baru bersama wanita dari masa lalunya di saat dirinya tengah berjuang demi kesembuhan putri kecil mereka. Akankah Ara berhasil menyatukan keluarga keluarga kecilnya kembali yang sudah hancur, atau memilih merelakan sang suami bahagia bersama dengan keluarga barunya?
Seorang perempuan berjalan tergesa menuju ruangan sang atasan saat melihat waktu sudah semakin sore. Sesekali perempuan itu akan meminta maaf pada orang yang tak sengaja dia tabrak.
Sesampainya di depan ruangan sang atasan, Aiza--perempuan itu berusaha menormalkan nafasnya sebelum mengetuk pintu di depannya.
Mendengar sahutan dari dalam, perempuan itu pun segera masuk. Kehadirannya di sambut wajah teduh sang atasan, seorang pengusaha muda yang begitu sukses, Rayhan namanya.
"Ini berkasnya Pak, mohon di tandatangani." Aiza menyerahkan sebuah dokumen kepada Rayhan.
Rayhan mengangguk kecil, pemuda itu mulai membuka satu persatu berkas yang Aiza bawa dan membacanya dengan teliti sebelum ditandatangani. Menunggu dengan sabar, Aiza yang sedari tadi diam mendadak tersentak saat saat ponsel dalam genggamannya berbunyi. Dengan buru-buru perempuan itu menolak telepon yang masuk. Namun, baru beberapa detik ponselnya kembali berbunyi membuat Rayhan mengalihkan pandangannya.
"Angkat, barangkali penting," katanya. Dia tahu Aiza pasti merasa tak enak mengangkat telepon di depannya.
Mendengarnya Aiza pun pamit untuk mengangkat teleponnya. "Permisi sebentar ya Pak."
"Silahkan," ujar Rayhan.
Setelah Aiza keluar dari ruangannya Rayhan kembali fokus pada berkas di depannya. Memastikan jika tak ada kesalahan dalam berkas-berkas tersebut, pemuda itu pun akhirnya menandatangani berkas tersebut setelah selesai membacanya.
Tak lama setelahnya Aiza kembali ke ruangannya dengan raut wajah yang berbeda, sorot matanya terlihat begitu khawatir membuatnya bertanya-tanya apa kiranya yang membuat Aiza sampai sekhawatir ini.
"Pak saya izin pulang, anak saya."
"Kenapa dengan anak kamu?" potong Rayhan dengan cepat. Pemuda itu bahkan sampai menegakkan bahunya saat mendengar sesuatu terjadi pada putri sekretarisnya itu.
Meski keduanya hanya atasan dan bawahan, tapi kepedulian Rayhan terhadap Aiza begitu besar. Dulu, dia menerima perempuan itu bukan hanya karena dia berkompeten dalam bidangnya, namun dia menerimanya juga karena alasannya mencari pekerjaan, yaitu untuk membiayai pengobatan putrinya yang sedang sakit.
"Kondisinya menurun lagi, saya harus ke rumah sakit sekarang Pak," ujar Aiza, dalam hati berharap jika Rayhan mau mengizinkannya untuk pergi meski pekerjaannya terbilang masih banyak saat ini.
"Kamu tenang dulu, ayo saya antar," balas Rayhan. Pemuda itu segera mengambil jas dan memakainya.
Melihat Rayhan yang sudah bersiap untuk mengantarnya membuat Aiza menatap pemuda itu bingung. Apa patut jika seorang atasan mengantarkan bawahannya seperti ini? Apa kata pegawai lain nanti jika mengetahui hal ini? Dia pasti akan dicaci nantinya jika mereka sampai tahu.
"Pak-"
Belum sempat Aiza menolak ajakan Rayhan untuk mengantarnya, pintu ruangan Rayhan tiba-tiba terbuka membuat keduanya mengalihkan pandangannya pada seorang pemuda yang berdiri di depan pintu. Itu Arza, asisten pribadi Rayhan sekaligus rekan kerja Aiza.
"Permisi Pak."
"Kenapa Za?"
"Maaf Pak saya cari Aiza," kata pemuda itu seraya berjalan ke samping Aiza.
"Ale, Za," ujar Aiza menatap Arza dengan perasaan cemas menyelimuti hatinya.
Arza mengangguk kecil mendengarnya. Dia tahu apa yang ingin Aiza katakan padanya. "Pak Haydar udah ngasih tau aku tadi," katanya, dan tujuannya datang kemari adalah untuk menjemput Aiza dan mengantarkannya ke rumah sakit.
Mendengar percakapan asisten dan sekretarisnya membuat Rayhan menatap keduanya bingung. Namun, belum sempat menyuarakan kebingungannya pintu ruangannya kembali terbuka membuat ketiganya kini menatap ke arah gadis yang berjalan mendekati Rayhan.
"Mas aku nungguin kamu dari tadi di bawah loh," kata gadis itu dengan tiba-tiba. Dia Inara, calon istri Rayhan.
Melihat kedatangan calon istrinya membuat Rayhan menghela napas lelah, kenapa harus datang di saat yang tidak tepat seperti ini, batinnya.
Melirik jam yang terpasang di pergelangan tangannya membuat Rayhan merutuki kebodohannya sendiri. Ini sudah jam empat, dan dia lupa jika dia ada janji dengan Inara. Namun, yang menjadi masalah saat ini bukan itu, dia sudah mengatakan pada Aiza jika dia akan mengantarnya ke rumah sakit tadi, dan Inara pasti akan marah jika mengetahui hal itu.
"Maaf Inara, sepertinya kita tidak jadi pergi. Saya harus mengantar Aiza ke rumah sakit, kesehatan putrinya menurun lagi," kata Rayhan berusaha menjelaskan. Untuk kali ini dia lebih memilih mengantar Aiza ke rumah sakit dan melihat kondisi putri sekretarisnya.
Inara menatap Aiza dengan tatapan datar mendengarnya. "Tapi kamu udah janji sama aku Mas, kita mau fitting baju buat pernikahan kalau Mas lupa," ujarnya seraya mengalihkan pandangannya pada Rayhan.
"Tolong ngertiin saya, keadaan Aiza-"
"Kamu lebih mentingin perempuan lain daripada calon istri kamu?" tanya Inara dengan penuh penekanan.
Melihat perdebatan keduanya yang seperti tidak akan berakhir dengan cepat membuat Arza akhirnya menengahi dengan angkat bicara.
"Pak, biar saya saja yang nganter Aiza," kata pemuda itu, menatap atasannya seolah meminta izin agar dibiarkan pergi. Jika menunggu atasannya Aiza bisa-bisa terlambat datang ke rumah sakit.
"Tapi-"
"Aiza aman kalau sama saya Pak. Silahkan selesaikan urusan Bapak terlebih dahulu, saya akan update perkembangannya nanti," kata Arza menyela ucapan Rayhan. Memang tidak sopan, tapi untuk kali ini dia tidak mempedulikan hal itu, yang ada dipikirannya saat ini adalah Aiza cepat sampai ke rumah sakit.
Dia tahu atasannya itu ikut merasa khawatir jika Aiza pergi bersamanya, tapi toh dia tidak akan melukai perempuan itu. Dia sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri.
Merasa tidak ada pilihan lain membuat Rayhan akhirnya menganggukkan kepalanya. "Baik, hati-hati kalian. Jangan lupa kabarin saya kalau ada apa-apa."
Setelah Aiza dan Arza keluar dari ruangannya, Rayhan menatap Inara dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Inara tolong lain kali jangan seperti itu. Kamu tau gimana keadaan Aiza saat ini," katanya dengan nada pelan. Sejak Aiza bekerja dengannya Inara selalu cemburu buta jika menyangkut apapun tentang Aiza, dan dia tidak suka akan hal itu.
Sebenarnya jika dilihat berdasarkan statusnya dengan Aiza, memang aneh rasanya jika dia terlalu peduli pada perempuan itu, apalagi jika mengingat perempuan itu sudah punya anak, maka dapat dipastikan juga jika dia sudah punya suami, sedangkan dia sendiri sudah punya calon istri. Tapi satu hal yang membuatnya begitu peduli pada Aiza, karena Ayahnya dulu menitipkan perempuan itu padanya. Kata Ayahnya, Aiza adalah putri sahabat Ayahnya yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri.
Jika Ayahnya sudah begitu maka dia yakin Aiza adalah sosok penting bagi Ayahnya, dan entah kenapa sejak saat itu rasa ingin melindungi itu muncul dengan sendirinya. Dia pun jadi mulai menaruh perhatian pada Aiza, bukan berarti semacam perasaan suka atau sejenisnya, tapi lebih ke ingin melindungi dan menjaganya, terlebih saat tahu bagaimana masa lalu perempuan itu. Yang dia tahu keluarga Aiza dulu mengalami kecelakaan, dan suaminya mengalami hilang ingatan, sementara putrinya kini terbaring koma di rumah sakit.
Kembali pada perdebatan Inara dengan Rayhan, Inara menatap Rayhan dengan tatapan tak percaya saat calon suaminya itu secara terang-terangan lebih memilih Aiza daripada dirinya.
"Kamu juga tau gimana keadaan aku sekarang Mas. Aku ini calon istri kamu, dan kamu dengan seenaknya lebih mentingin perempuan lain daripada aku? Aku udah nunggu kamu dari tadi siang loh Mas. Aku sengaja nunggu di ruang tunggu cuma biar ngga ganggu fokus kamu kerja. Tapi apa yang aku dapet?"
Kesal rasanya saat mengingat jika dirinya menunggu di dibawah sedari tadi sementara Rayhan melupakan janjinya dan lebih memilih mengantar Aiza daripada pergi dengannya.
"Oke, maafin saya kalau begitu," ujar Rayhan pada akhirnya. Dia terlalu malas melanjutkan perdebatan ini.
Tanpa sepatah kata pun pemuda itu akhirnya keluar ruangan diikuti oleh Inara, dia akan pergi sesuai dengan keinginan Inara.