Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Jangan Main-Main Dengan Dia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
Aku tidak pernah menyangka jika ibu akhirnya akan menikah lagi dengan seorang pria kaya raya dari negara Singapura. Sebagai seorang putri tunggal, aku hanya bisa mendukung tanpa mau banyak ikut campur dalam urusan asmara ibuku. Biarlah, kebahagiaannya terus dicari, dengan begitu aku pun bisa menghabiskan waktu remaja ku di rumah tanpa perlu disuruh-suruh untuk melakukan hal yang tidak aku senangi.
"Apa ibu serius akan tinggal di Singapura? Lalu aku tinggal di sini bersama siapa?" tanyaku pada ibu. Ku tunjukkan wajah kesalku padanya, tanda sebagai protes bahwa aku tidak setuju dengan keinginannya.
Perlahan ibu berjalan mendekatiku, ia mengusap pelan puncak kepala sembari tersenyum ramah. Aku sudah tahu jika itu semua adalah trik yang selalu ia gunakan agar aku mau menuruti semua keinginannya.
"Sayang, ayolah mengerti. Aku menikah juga karena demi kebahagiaan dirimu, ayah tirimu adalah orang kaya, kau sama sekali tidak akan merasa kesulitan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan," jawab ibuku membantah.
Ya, lagi-lagi memang karena harta ibuku mau menikah dengan pria tua Bangka yang usianya sudah hampir menginjak enam puluh tahun. Tapi, apa mau dikata. Semuanya sudah terlanjur, ibu sudah resmi menikah hanya tempat tinggalnya saja yang baru diputuskan sekarang ingin ke tinggal di Singapura.
"Terserah padamu saja, Bu. Aku sudah malas untuk berdebat denganmu. Lagi pula aku tidak punya hak apa pun untuk melarang kebahagiaanmu," sahutku menyerah. Aku mulai membalikkan badan dan berniat untuk meninggalkan ibu yang sepertinya masih tampak bergeming di tempatnya.
"Tunggu, Aline," ucap ibu yang membuatku menghentikan langkah. Kudengar suara kakinya kembali mendekat, aku pun membalikkan badan untuk menatapnya. "Ibu lupa mengatakan padamu, jika anak dari ayah tirimu yang akan menjaga mu di sini. Dia yang akan memegang perusahaan di sini, itu sebabnya ia harus kembali dari Singapura ke Indonesia untuk memajukan salah satu bisnis dari ayahnya," lanjut ibu menyelesaikan kalimatnya.
Mendengar kata kakak tiri, aku menjadi sedikit merasa insecure. Pasalnya, sejauh yang aku tahu, sikap seorang kakak tiri akan selalu kasar kepada adik tiri. Terlebih jika ia seorang perempuan.
"Jadi, aku akan tinggal bersama kakak tiri?" tanyaku memastikan. Kedua bola mataku membulat lebar saat ibu mengatakan hal itu. Aku berharap semoga kakak tiri ku bukan seorang perempuan yang culas dan juga kasar.
Ibu mengangguk cepat dengan senyum yang mengembang dari sudut bibirnya. "Iya, apa kau suka?" tanyanya sekali lagi.
Aku menggeleng, bukan bermaksud untuk menolak. Hanya saja aku takut jika kakak tiri yang ibu maksud adalah seorang perempuan yang sangat tidak menyukai keberadaan ku.
"Apa dia perempuan?" tanyaku memberanikan diri.
Ibu menggeleng pelan. "Tidak, dia laki-laki, namanya Reyn. Usianya kalau tidak salah sekitar dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun. Masih jauh dari usia mu. Dia bisa membimbing mu dalam belajar di kampus. Ibu yakin itu," ucap ibu meyakinkan ku.
Aku menghela napas pelan, antara bersyukur atau justru takut. Sebab, aku diharuskan hanya tinggal berdua dengan kakak tiri ku bernama Reyn.
"Tapi, apa ibu tidak merasa khawatir jika aku hanya tinggal berdua saja dengan dia?" tanyaku pada ibu.
"Tentu saja tidak, Sayang. Kau juga akan ditemani oleh Bik Sumi, Bik Inah, dan juga Pak Handoko. Mereka akan tinggal bersama kalian di rumah. Ya, mungkin sesekali mereka akan minta libur padamu untuk sekadar beristirahat. Kau tidak masalah kan?" ucap ibu yang sedikit membuat ku merasa lega.
Ternyata aku tidak akan sendirian di rumah sebesar ini. Pikir ku dalam hati. Aku pun mengangguk menyetujui ucapan ibu sebelum akhirnya wanita paruh baya itu menelepon ayah tiri ku guna mengabari putranya untuk segera terbang kembali ke Indonesia sebelum ibu dan ayah tiri ku berangkat ke Singapura. Sebab, ibu tidak ingin aku tinggal sendiri sebelum benar-benar ada seseorang yang menjagaku dengan sangat baik.
***
Hari ini aku libur kuliah, oleh sebab itu ibu meminta ku untuk menjemput sang kakak karena dirinya tidak bisa menjemput. Ada urusan mendadak sehingga tidak bisa ia tinggalkan. Aku pun sudah bersiap, setelah Pak Handoko mengantarkan ibu ke salah satu kantor untuk mengurusi keberangkatannya ke Singapura. Giliranku yang diantar oleh Pak Handoko untuk menjemput kakak Tiriku.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, satu setengah jam lagi pesawat akan segera sampai di bandara. Untuk itu aku pun bergegas naik ke dalam mobil yang langsung dilajukan dengan kecepatan tinggi oleh Pak Handoko. "Pak, bisa agak cepat? Aku tidak mau kita terlambat," ucapku pada supir pribadi yang sedang mengemudi di kursi depan.
"Baik, Non," sahut Pak Handoko mengiyakan keinginanku.
Setelah melakukan perjalanan sekitar satu jam, aku pun sampai dan segera berdiri di titik penjemputan atau kedatangan penumpang. Aku sudah memegang sebuah papan dengan bertuliskan nama REYN di dalamnya. Aku berharap kakak Tiriku itu bisa melihat papan yang aku pegang sehingga ia tidak tersasar karena tidak bisa menemukan ku.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas empat puluh, seharusnya pesawatnya sampai sekitar sepuluh menit yang lalu, akan tetapi, sampai waktu yang ditentukan itu terlewat, kakak tiri ku masih belum menampakkan batang hidungnya di depanku.