Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat Cinta Kakak Ipar

Terjerat Cinta Kakak Ipar

Kareniavorg

5.0
Komentar
10.7K
Penayangan
87
Bab

Ayunindira Santi terpaksa menerima pinangan dari kakak iparnya sendiri karena situasi pelik yang dihadapinya. Terlahir sebagai seorang yatim piatu, membuat Santi harus pasrah pada keadaan ketika kakak kandungnya sendiri memberikan wasiat agar suaminya menikahi Santi dengan dalih untuk menjaganya. Bagaimanakah Santi menjalani pernikahan dengan pria yang pernah jadi kakak iparnya sendiri? Apakah pernikahan ini akan bernasib baik?

Bab 1 Kematian Emak

"Emak pengen liat Santi menikah," suara Kanya menyapa begitu ia keluar dari kamar Sumi, ibunya.

Santi hanya tertunduk, menatap nanar ke arah segelas air teh tawar hangat yang tak kunjung diminumnya. Sementara Kanya, sang kakak langsung mengambil posisi duduk disamping adiknya itu.

"Dek," panggil Kanya karena Santi yang tak kunjung bersuara.

"Santi gak pernah pacaran, mbak. Santi gak punya kandidat laki-laki yang bisa dijadikan suami, lantas Santi harus gimana? Santi gak siap menikah dan gak mungkin nikah dalam waktu cepat," jawab Santi akhirnya. Walaupun dengan suara yang tercekik karena susah payah menahan tangisnya. "Emak udah setengah sadar, Mbak. Yang saat ini berlomba sama Santi bukan soal siapa yang cepat menikah, tapi yang saat ini yang berlomba sama Santi itu umurnya emak. Kemungkinannya cuma dua, Santi yang lebih dulu menikah, atau Emak yang lebih dulu tiada."

Sebutir air mata meleleh dari pelupuk mata Santi dan membasahi pipinya. Hatinya berdesir perih, dan dadanya terasa begitu sesak sehingga Santi harus menumbuk dadanya beberapa kali, sembari berharap rasa sesak itu segera hilang.

Bayangan kematian ibunya benar-benar menyakiti Santi, terlebih lagi keadaan Sumi yang terlihat sudah setengah sadar. Seolah saat ini Santi dan Kanya sedang menghitung mundur usia ibunya sendiri.

"Dek...." Kanya mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut bahu Santi. "Dulu Mbak juga gak punya pacar. Mbak dijodohkan dengan Mas Adipati karena wasiat almarhum Bapak yang pengen liat anak perempuan pertamanya menikah... Bapak waktu itu pengen jadi wali nikah buat Mbak. Kali ini Emak pengen lihat kamu nikah dulu, dek... apa kamu tega gak mau mengabulkan permintaan Emak? Seperti kata kamu, saat ini kita sedang berlomba sama umurnya Emak. Mumpung Emak masih ada, mumpung Emak masih bisa melihat, kamu masih punya kesempatan buat nikah dan mengabulkan permintaan Emak, dek."

Dengan wajah yang berurai air mata, Santi mendongak dan menatap wajah kakaknya. "Mbak sendiri bagaimana? Bahagia dengan pernikahan Mbak? Mbak cinta sama Mas Adipati?" tanya Santi bertubi-tubi dengan suara parau.

Santi meminta validasi. Apakah pernikahan tanpa cinta yang didasari karena perjodohan akan berujung mulus. Santi perlu bukti.

"Mas Adipati baik, dek. Dia suami yang sempurna. Mbak akhirnya bisa cinta sama dia, dan rumah tangga kami baik-baik saja. Dijodohkan itu gak semengerikan yang kamu pikirkan. Kamu mau ya, nurutin maunya Emak? Supaya kamu gak menyesal kalo pun nanti Emak pendek umur."

"Lalu Mas Adipati sendiri gimana? Dia cinta sama Mbak?"

"Mas Adipati menghargai Mbak sebagai istrinya."

"Itu artinya dia gak cinta sama Mbak," pungkas Santi dengan pedih. Air mata kian mengalir deras membasahi pipinya. "Santi gak mau dijodohkan, Mbak... Santi gak siap. Santi gak akan sanggup kalo harus hidup sama laki-laki yang sama sekali gak cinta sama Santi. Kalo Mbak punya Mas Adipati yang bisa menghargai Mbak sebagai istrinya, suami Santi nanti belum tentu akan sebaik itu. Gimana kalo-"

"Emak ngorok," ujar Adipati tiba-tiba menyela percakapan di antara Santi dan Kanya.

Pria jangkung dengan paras tampan itu melayangkan tatapan paniknya pada Kanya dan Santi secara bergantian.

"Kanya... Santi... Emak sudah di ambang usianya. Emak sudah ngorok," lanjut Adipati mengulangi ucapannya.

Sontak, Kanya dan Santi pun berjingkat bangun dari duduknya dan langsung berlari tergesa-gesa masuk ke dalam kamar.

Nyawa sudah berada di kerongkongan. Sumi terus ngorok dengan mata yang tertutup begitu rapat, seperti enggan untuk kembali terbuka. Sumi sudah tuli, ia tak mendengar teriakan putus asa dari Santi yang memintanya kembali bangun dan Sadar.

"Emak... Emak jangan gini. Emak jangan tidur, Mak... bangun! Mak bangun!" pekik Santi yang berusaha membangunkan sang ibu dengan menepuk-nepuk pelan pipinya.

Lalu tiba-tiba Sumi berhenti ngorok, dan langsung tekulai lemas begitu saja sehingga Adipati beringsut naik ke atas ranjang. Mengecek napas juga nadi Sumi, untuk kemudian ia pun berakhir dengan berkata-

"Innalillahi wa innailaihi rojiun. Emak sudah berpulang."

***

Usai pemakaman Sumi, Santi pada akhirnya diboyong pergi oleh Kanya dan Adipati. Kini ia jadi yatim piatu. Satu-satunya ibu yang ia punya, kini sudah tiada.

"Jangan banyak melamun, tidak baik. Emak sudah tenang, Santi. Emak udah gak sakit lagi," ucap Adipati menenangkan. Ia mengusap puncak kepala Santi untuk menyadarkan remaja 18 tahun itu dari lamunanya.

Santi diam. Ia tak bersuara, tapi kemudian ia menyeka air matanya. Sementara Adipati menarik kembali tangannya menjauh dari kepala Santi.

"Lebih baik kamu segera ke kamar. Istirahat. Menangis boleh saja, tapi jangan terlalu berlebihan. Kasihan Emak, beliau sudah tenang. Jangan sampe air mata kamu malah memberatkan urusan Emak di alam sana," lanjut Adipati menambahkan.

Setelahnya pria itu pun beranjak pergi meninggalkan Santi seorang diri. Perlahan, Santi pun melangkah gontai, menyeret tas ranselnya menuju ke arah kamar yang disediakan.

Kamar yang sangat besar. 2 kali lipat lebih besar dari kamarnya di rumah orang tuanya. Ah, tak aneh sebenarnya. Adipati bekerja di pertambangan minyak di tengah laut sana, entah laut mana, Santi tak pernah tahu. Yang ia tahu dari cerita Kanya hanyalah kondisi di mana Adipati jarang sekali pulang karena pekerjaannya, tetapi punya gaji yang sangat besar.

Di dalam kamar itu, Santi merebahkan tubuhnya. Menatap nanar langit-langit kamar yang cerah karena lampu cantik yang membuatnya terang, berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang justru kelabu.

Air mata kembali meleleh dari sudut matanya. Kali ini tanpa isakan. Santi menangis dalam diam, mengingat betapa rindunya ia pada sang ibu, tapi ibunya kini sudah terlalu jauh.

"Emak perginya terlalu jauh. Santi gak kuat," cicit Santi nelangsa. Sebutir air mata pun meleleh dari sudut matanya.

Suara ketukan pintu kemudian terdengar, tapi Santi enggan beranjak. Ia tetap bergeming di tempatnya, pura-pura tak mendengar apapun.

"Dek... Santi... ini, Mbak." Suara Kanya memanggil dari luar.

Santi diam.

"Mbak masuk ya," tambahnya lalu kemudian membuka pintu dan melangkah masuk begitu pintu kamar itu kembali ia tutup dan kunci dari dalam. Entah untuk alasan apa.

Setelahnya, dengan hati-hati Kanya mengambil posisi duduk ditepian tempat tidur. Ia mengulutkan tangannya untuk mengusap lembut puncak kepala Santi dengan penuh sayang, sementara matanya menatap sendu ke arah adiknya itu.

"Mbak," cicit Santi dengan suara parau. Kali ini ia bersuara memanggil kakaknya.

"Iya?"

"Kalo aja waktu bisa diulang. Rasanya Santi gak masalah menikah dengan siapapun, asal Emak bisa liat Santi nikah dulu. Tapi, sayangnya Santi gak punya cowok manapun yang bisa dijadikan suami. Emak gak bisa liat Santi nikah karena Santi gak punya jodoh," sesal Santi. Ia bahkan mulai menyalahkan dirinya sendiri.

"Menurut Santi, mas Adipati itu orang yang gimana?" tanya Kanya tiba-tiba, tanpa sekalipun mengindahkan ucapan putus asa dari Santi.

Ditanya seperti itu, Santi pun menoleh. Ia menatap tepat di mata Kanya, mencari-cari alasan kenapa Kanya bertanya seperti itu. Tapi ia tak menemukan alasan apapun. Mata Kanya tak terbaca olehnya.

"Mas Adipati orang yang baik. Dia juga bertanggung jawab, menghormati Mbak, dan penyayang."

"Menurut kamu, mas Adipati itu ganteng apa enggak?"

"Ganteng, makanya Mbak bisa cinta," tandas Santi sedikit menyisipkan godaan dalam nada bicaranya. Seolah lupa dengan segala sedih yabg tadi sempat melandanya.

Kanya tersenyum tipis mendengar jawaban dari adiknya itu. Ia kemudian beralih mengusap pipi Santi, sebelum tiba-tiba berkata-

"Kalau kamu menikah dengan Mas Adipati saja, gimana? Mbak ridho kalo berbagi suami sama kamu."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Kareniavorg

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku