Sebulan sebelum pernikahan kami, tunanganku, Habib, memintaku menerima jika ia menghamili wanita lain demi membalas budi keluarga. Wanita itu adalah Hanan, adik angkatnya yang sakit parah dan sangat ingin memiliki keturunan. Namun, sebuah paket anonim mengungkap kebenaran pahit: Hanan sudah hamil dua bulan. Semua permintaan Habib hanyalah kebohongan untuk menutupi pengkhianatan yang telah terjadi. Saat aku menuntut penjelasan, Hanan justru menjatuhkan diri dan memfitnahku telah mendorongnya. Tanpa ragu, Habib membentakku, "Lea, minta maaf padanya! Sekarang juga!" Aku tertawa getir. Semua pengorbanan dan cinta tulusku ternyata tak ada artinya. Di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, aku membatalkan semuanya dan membeli tiket sekali jalan ke Singapura. Kali ini, aku memilih untuk hidup demi diriku sendiri.
Sebulan sebelum pernikahan kami, tunanganku, Habib, memintaku menerima jika ia menghamili wanita lain demi membalas budi keluarga. Wanita itu adalah Hanan, adik angkatnya yang sakit parah dan sangat ingin memiliki keturunan.
Namun, sebuah paket anonim mengungkap kebenaran pahit: Hanan sudah hamil dua bulan. Semua permintaan Habib hanyalah kebohongan untuk menutupi pengkhianatan yang telah terjadi.
Saat aku menuntut penjelasan, Hanan justru menjatuhkan diri dan memfitnahku telah mendorongnya. Tanpa ragu, Habib membentakku, "Lea, minta maaf padanya! Sekarang juga!"
Aku tertawa getir. Semua pengorbanan dan cinta tulusku ternyata tak ada artinya. Di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, aku membatalkan semuanya dan membeli tiket sekali jalan ke Singapura.
Kali ini, aku memilih untuk hidup demi diriku sendiri.
Bab 1
Lea POV
"Lea, aku ingin Hanan memiliki anakku." Kata-kata Habib Prasetyo menghantam telingaku, membeku di udara dingin ruangan kami. Aku memandangnya, mataku mungkin kosong, bibirku terasa kaku. Otakku butuh waktu untuk memproses kalimat aneh itu.
Ini adalah sebulan sebelum pernikahan kami. Gaun pengantin saya sudah tergantung rapi di lemari. Undangan sudah tersebar. Tapi Habib, tunanganku, arsitek sukses yang kucintai lebih dari diriku sendiri, baru saja meminta sesuatu yang mustahil.
"Apa... apa maksudmu?" Suaraku pecah, hampir tidak bisa kudengar sendiri.
Wajah Habib serius, tanpa jejak senyuman. "Hanan sakit parah, Lea. Dia sangat ingin punya keturunan sebelum terlambat. Keluarganya pernah menyelamatkan bisnis keluargaku dari kebangkrutan. Ini satu-satunya cara kami bisa membalas budi mereka."
Saya merasa dunia berputar. Perut saya mual. "Membalas budi? Dengan menghamilinya? Apa kau gila, Habib? Kita akan menikah!"
Habib menghela napas panjang, frustrasi terlihat jelas di matanya. "Bukan seperti itu, Lea. Ini hanya program bayi tabung. Dia akan mengandung anakku, tapi kita-kita akan tetap bersama. Kita akan membesarkannya bersama. Dia adikku, Lea, adik angkatku."
Saya tidak bisa mempercayai apa yang baru saja saya dengar. Ini bukan permintaan, ini sebuah perintah. Sebuah pengkhianatan yang dibungkus janji manis dan "budi". Saya mencintai Habib, saya bersedia berkorban banyak untuknya, tapi ini? Ini jauh di luar batas.
"Tidak," kataku, suaraku lebih tegas dari yang kukira. "Aku tidak bisa."
Habib mengerutkan kening. "Lea, tolong pahami. Ini penting. Ini adalah satu-satunya harapan Hanan."
Saya menggelengkan kepala. Bagaimana bisa dia meminta saya menerima takdir yang begitu kejam? Bagaimana dia bisa memintaku melihatnya menjadi ayah bagi anak wanita lain, bahkan jika itu adalah adik angkatnya?
Beberapa hari berikutnya adalah neraka. Habib terus mendesak, setiap percakapan kami berubah menjadi perdebatan pahit. Dia menggunakan kata-kata seperti "pengorbanan", "cinta sejati", dan "tanggung jawab keluarga". Setiap kali dia berbicara, saya merasa semakin jauh darinya, semakin kecil, dan semakin tidak berharga. Saya mulai ragu, apakah dia benar-benar mencintaiku atau hanya menganggapku sebagai aset yang bisa dia manipulasi.
Satu minggu sebelum hari H, sebuah paket tak bernama tiba di apartemen kami. Kotak itu polos, tanpa alamat pengirim, hanya namaku yang tertera di label. Jantungku berdebar tak karuan. Ada firasat buruk yang merayap di dadaku.
Saya membuka kotak itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada amplop cokelat. Isinya bukan surat cinta atau hadiah kejutan. Itu adalah hasil tes kehamilan dari sebuah klinik swasta.
Saya menarik napas tajam. Nama di laporan itu adalah Hanan Hardinata. Dan tanggalnya... tanggalnya adalah dua bulan yang lalu.
Tangan saya bergetar lebih hebat. Saya membaca detailnya lagi. Hanan sudah hamil beberapa minggu. Bukan "akan" hamil. Tapi sudah hamil. Tepat saat Habib mulai mendesak saya untuk menerima permintaannya.
Sebuah kenyataan pahit menghantam saya. Habib tidak bertanya. Dia tidak meminta. Dia sudah melakukannya. Dia sudah menghamili Hanan, lalu baru datang padaku, meminta restuku seolah-olah itu adalah sebuah pilihan yang bisa saya buat.
Dunia saya terasa hancur berkeping-keping. Itu lebih dari sekadar pengkhianatan. Itu adalah penghinaan. Dia sudah membuat keputusan besar ini sendiri, tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaanku.
Saya merasakan darah mengering di pembuluh darah saya. Tubuh saya tiba-tiba terasa mati rasa, seolah-olah semua energi telah terkuras habis. Saya terduduk di lantai, napas saya tersengal-sengal. Air mata mengalir deras, tapi saya tidak merasakan apa-apa selain kekosongan yang dalam.
Pernikahan? Janji-janji masa depan? Semua itu hanyalah omong kosong. Saya hanyalah pion dalam permainan keluarganya, sebuah tumbal untuk "budi" yang tak pernah saya pahami.
Keesokan harinya, saya menelepon wedding organizer. "Batalkan semuanya," kataku, suaraku datar, bahkan saya sendiri terkejut dengan ketenangan yang saya miliki. "Pernikahan dibatalkan."
Saya mengumpulkan semua undangan yang belum terkirim, merobeknya satu per satu, melempar kepingannya ke dalam tempat sampah. Setiap robekan adalah simbol dari impian yang hancur. Kemudian, saya masuk ke kamar tidur, membuka lemari Habib. Saya mengumpulkan semua hadiah yang pernah diberikannya padaku, mulai dari perhiasan kecil hingga gaun mahal. Saya membawanya ke halaman belakang, menuangkan cairan korek api, dan menyulutnya. Api melahap kain dan logam, mengubah semua kenangan menjadi abu.
Pada hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan saya, saya tidak berada di altar. Saya berada di bandara, membeli tiket ke Singapura.
Hubungan saya dengan Habib berakhir di sana, di tengah kobaran api yang membakar kenangan dan janji-janji palsu.
Saya ingat, beberapa minggu yang lalu, sebelum semuanya terungkap, saat pertama kali Habib mengangkat masalah Hanan. Wajahnya menunjukkan campuran rasa bersalah dan tekad.
"Lea," katanya, "aku tahu ini berat. Tapi Hanan... dia punya penyakit langka. Dokter bilang dia mungkin tidak punya banyak waktu. Impian terbesarnya adalah memiliki anak."
Saya mendengarkan, hati saya sakit. Saya tahu Hanan sakit, tapi saya tidak tahu separah itu. "Tetapi kenapa harus kau, Habib? Kenapa harus anakmu?"
Dia menjelaskan lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendalam, penuh tekanan. "Keluarga Hanan, Hardinata Group, pernah menyelamatkan perusahaan keluargaku, Prasetyo Corp, dari ambang kebangkrutan beberapa tahun lalu. Saat itu, kakek Hanan menuntut sebuah janji. Sebuah janji yang tidak bisa kami tolak. Janji bahwa salah satu dari kami akan selalu ada untuk Hanan, apapun yang terjadi. Dan dia... dia selalu menginginkan anak dari keturunan keluarga Prasetyo."
"Jadi, karena utang budi itu, kau harus menghamilinya? Ini bukan film, Habib!" Saya menatapnya tidak percaya. Itu terdengar seperti cerita yang dibuat-buat, alasan untuk menutupi sesuatu yang lebih kotor.
"Ini bukan sekadar utang budi, Lea. Ini kehormatan keluarga. Ini adalah sesuatu yang harus kulakukan," jawabnya, suaranya tenang tapi matanya menunjukkan kekesalan karena saya tidak mengerti. "Aku tidak bisa menolak permintaan terakhirnya."
"Permintaan terakhir? Apa kau melupakan pernikahan kita, Habib? Apa aku tidak berhak punya permintaan juga? Permintaan agar tunanganku tidak menghamili wanita lain sebelum menikahiku?" Suaraku meninggi, sakit hati itu mulai membakar.
Dia memegang tanganku. "Lea, aku mencintaimu. Aku akan tetap menikahimu. Kita akan tetap punya anak. Tapi ini... ini adalah pengorbanan kecil yang harus kita lakukan. Demi Hanan. Demi keluargaku. Bukankah cinta berarti pengorbanan?"
Kata-kata itu, "pengorbanan kecil", "cinta berarti pengorbanan", terdengar seperti racun di telingaku. Dia sedang memanipulasiku. Dia sedang memintaku untuk mengorbankan martabat dan kebahagiaanku demi "budi" yang tidak ada hubungannya denganku.
"Pengorbanan? Kau menyebut ini pengorbanan?" Saya mencabut tangan saya dari genggamannya. "Lalu bagaimana dengan pengorbananku selama ini? Aku meninggalkan impian karirku di luar negeri hanya untuk bersamamu, untuk membangun rumah tangga kita di sini! Apa itu bukan pengorbanan?"
Habib terdiam sejenak, matanya sedikit ragu. Namun, keraguan itu cepat hilang. "Itu berbeda, Lea. Ini adalah masalah hidup dan mati bagi Hanan."
Saya menatapnya, merasa seperti sedang berbicara dengan orang asing. Di matanya, saya melihat prioritas yang jelas: keluarga Hanan, utang budi, dan Hanan sendiri. Saya, calon istrinya, hanyalah tambahan, sebuah detail yang harus diatur agar sesuai dengan rencananya.
Saya menyadari, dengan rasa sakit yang menusuk, bahwa dalam hatinya, dia tidak pernah benar-benar mencintaiku seperti yang saya bayangkan. Saya adalah calon istri yang sempurna, desainer interior berbakat yang akan mempercantik rumahnya, tapi bukan wanita yang dia pilih dengan sepenuh hati, tanpa syarat.
Cinta sejatinya, entah karena budi atau rasa kasihan, sudah diberikan kepada Hanan. Saya hanyalah tumbal, pengorbanan yang dia harapkan akan saya berikan tanpa banyak tanya.
Saat saya merenungkan semua itu, ponsel Habib berdering. Dia melirik layar, ekspresinya langsung berubah. Senyuman lembut yang sudah lama tidak saya lihat di wajahnya muncul.
"Halo, Hanan... Bagaimana perasaanmu hari ini?" Suaranya berubah menjadi sangat lembut, penuh perhatian. Saya melihatnya beranjak pergi, mencari tempat yang lebih privat untuk berbicara, senyumannya merekah. Senyuman itu, senyuman yang seharusnya menjadi milikku, kini selalu ditujukan pada Hanan.
Saya tahu, saat itu, bahwa saya tidak akan pernah bisa bersaing dengan bayang-bayang utang budi dan kondisi Hanan yang rapuh. Saya tidak akan pernah bisa menjadi prioritas bagi Habib. Saya hanya akan menjadi orang kedua, selamanya hidup dalam bayang-bayang Hanan dan anak-anaknya.
Saya tidak akan membiarkan itu terjadi.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya