Kinan Maharani tak menyangka bahwa hidupnya akan berakhir seperti ini. Menikah dengan kakak ipar sendiri adalah hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hanya perkara sang keponakan yang harusnya memiliki seorang ibu di usianya yang sudah semakin bertambah, sehingga kedua keluarga berinisiatif untuk menikahkan Kinan dengan Rangga. Padahal, Kinan sama sekali tak menyukai Rangga, meski laki-laki itu termasuk jajaran makhluk good looking dan good rekening. Tidak etis rasanya menikahi laki-laki yang berstatus sebagai kakak ipar. Namun, siapa yang akan menolak perintah dari ras tertinggi di muka bumi ini? Emak-emak berdaster, yang galaknya mengalahkan singa sekalipun. Menolak akan dikatai pembangkang dan anak durhaka, tetapi jika menerima akan dicap sebagai gadis tak punya malu oleh para tetangga.
Perjodohan. Satu kata yang mungkin akan terdengar biasa saja bagi mereka yang memiliki sistem jadulisasi yang menjunjung tinggi akan nilai bakti pada orang tua yang telah merawat sejak dini. Meski perjodohan selalu terkait dengan era pre-boomer yang terkenal dengan sebutan zaman Siti Nurbaya, tetap saja sampai sekarang masih banyak yang menerapkan sistem tersebut.
Terbukti, saat ini orang tuaku sudah meronrong dan memintaku agar ikhlas dan bersuka cita menyetujui keinginan mereka. Aku yang hidup di zaman milenial dengan segala kecanggihan dan modernisasi yang sudah berkembang dengan sangat cepat, dipaksa menerima pernikahan yang tercipta di jalur perjodohan.
"Aku nggak bisa, Ma," tolakku sedikit meninggikan suara.
"Kami sudah sepakat."
"Kami?" tanyaku tak mengerti maksud dari beliau.
"Mama Rangga juga sudah setuju."
"Sebelum kalian menetapkan hal ini, seharusnya aku ditanya dulu, mau atau nggak? Ya, jelas aku nggak mau, dong. Masa nikah sama kakak ipar sendiri. Apa nggak ada laki-laki lain yang bisa jadi menantu Mama selain Mas Rangga?" protesku tak terima.
Meski populasi di dunia ini sebagian besar adalah perempuan, tetap saja masih ada laki-laki lain yang mungkin akan bersedia menjadi suamiku.
"Kamu nggak kasihan sama Lala. Dia udah empat tahun lebih, lho, Nan. Udah masuk sekolah, takutnya teman-teman yang lain malah mengejek karena Lala nggak punya seorang ibu." Mama kembali mengeluarkan jurus andalan, wajah memelas dengan nada suara yang sengaja dibuat pilu agar para pendengarnya merasa iba.
"Ya, kan, aku ada. Aku dipanggil bunda, kan? Ya, manfaatkan aku aja."
"Ish, semakin bertambahnya usia, mereka bakal tahu kalo kamu cuma bibinya."
Aku memutar bola mata jengah. "Pokoknya aku nggak mau nikah sama Mas Rangga. Titik nggak pake koma."
"Kinan!" Suara dingin itu membuatku menegang. Bapak selalu saja membela mama. Beliau juga jajaran makhluk dingin yang mengalahkan dinginnya es batu pop ice Mang Tarya.
"Pak, aku benar-benar nggak bisa."
"Meski kamu menolak, semuanya sudah terencana. Minggu depan Rangga akan datang kemari melamar kamu."
Aku menutup mata, berusaha menahan amarah yang hampir meledak. Segera kulangkahkan kaki masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras, agar kedua orang tuaku paham bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
Setelah kepergian Kinara, aku kerap dijodohkan dengan Rangga. Kukira keluargaku hanya bercanda, ternyata mereka benar-benar merealisasikannya. Ironis memang, tetapi itulah kenyataannya. Aku pernah berdoa agar suamiku kelak tak memiliki sifat dingin seperti ayah dan Mas Rangga. Namun, lagi-lagi Tuhan tak mengabulkan keinginanku. Mas Rangga justru lebih dingin dibanding ayah. Jika ayah diibaratkan kulkas berjalan, Mas Rangga justru seperti pegunungan Himalaya.
Aku tak paham dengan pikiran orang tua yang tak pernah update. Saat anak muda zaman sekarang ingin menikmati masa remaja dan memilih memperjuangkan karier, para orang tua justru berlomba-lomba menikahkan anaknya di usia yang menurutku masih belia. Padahal, sekarang zaman milenial, tetapi otak mereka masih saja stay di zaman pre-boomer, zaman yang masih menganut sistem jadulisasi dengan tingkat perjodohan yang tinggi.
Kumeraup ponsel pintarku, membaca beberapa pesan yang sudah sejak tadi tak kubuka. Ada beberapa pesan dari Mela, grup cecunguk, grup kampus, grup keluarga, dan grup cara cepat melunasi utang. Tunggu! Sejak kapan aku masuk ke grup yang bersangkut pautkan utang piutang. Padahal, tak pernah sekali pun aku terjerat dalam lingkaran nano-nano yang disebut pinjam meminjam, apalagi pinjaman online yang bunganya mampu mencekik para pinjamers.
Setelah menghapus grup pinjol tadi, aku beralih ke pesan Mela yang sejak tadi menanyakan keberadaanku. Aku baru tersadar bahwa hari ini geng cecunguk akan bertemu di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumahku.
***
"Lo dari mana aja, sih?" tanya Dewi dengan nada kesal.
"Gue telat lima belas menit doang, Wi. Lo ngototnya nggak ketulungan. Apa kabar yang kemarin telat sampai sejam." Aku kembali mengingatkan, siapa tahu dia lupa tentang kejadian tempo hari yang membuat kami harus rela membeli tiket yang baru, karena jadwal pemutaran film sudah dimulai, dan dirinya tak kunjung datang juga. Sebagai sahabat yang katanya setia kawan, kami memilih untuk tidak meninggalkannya.
"Macet, woi. Gue juga tanggung jawab, kan? Yang beli tiket nonton kalian siapa?"Mata Dewi melotot, "gue." Ia menunjuk-nunjuk diri sendiri.
"Bukan masalah gitu, Wi. Waktu kita yang berharga malah sia-sia."
"Eleh, lo di rumah juga cuma rebahan." Lagi-lagi perdebatan yang tak berfaedah malah semakin memanas.
Mela memukul lenganku. "Udah, yang waras diam."
"Jadi gue nggak waras, gitu?" pekik Dewi membuat yang lainnya tertawa.
"Gue kan, nyuruh yang waras diam. Kalo lo waras, harusnya diam juga, Wi," timpal Mela tak mau kalah.
"Udah, bahas yang lain aja." Rara menengahi. "Jadi ada masalah apa lo, Nan. Gue kayaknya denger dari tetangga kalau lo bakal nikah. Siapa yang berani ngelamar cewek bar bar kayak lo?"
"Asem banget lo, Ra." Aku terdiam sejenak, membicarakan hal ini kepada mereka mungkin akan membuat beban di otak dan hatiku sedikit berkurang. "Tuh si Rangga," lanjutku membuat mereka memperlihatkan ekspresi yang sama. Sama-sama bingung.
"Rangga siapa?" Rara melebarkan matanya.
"Kakak ipar lo?" jerit Dewi membuatku mengangguk.
"Gila bener."
Ya, aku setuju dengan mereka. Fakta ini memang terdengar sangat Gila. Kakak ipar yang dulunya dianggap saudara, kini akan diajak menikah. Orang yang dulunya selalu dipanggil kakak, akan berubah status menjadi pasangan suami istri. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.
"Berarti lo nikah sama dosen killer, dong." Tawa Rara menggelegar. Definisi sahabat sejati sepertinya memang begitu. Hobi menertawakan segala musibah yang menerpa sahabat sendiri.
Sebenarnya itu semua bukanlah kebetulan. Kinara yang dulunya merekomendasikan kampus itu padaku. Katanya, dengan adanya Rangga, aku akan terjaga dan tidak macam-macam. Meski sedikit bar-bar aku juga tahu yang mana baik dan buruk. Tujuan kuliah, ya, untuk belajar bukan untuk nongkrong sana sini.
"Gue harus gimana? Mau nolak, tapi gue takut durhaka."
"Ya, terima aja. Lumayan dapet cowok good looking."
"Gue mending milih yang biasa aja, tapi penyayang dan hangat, daripada cowok kayak dia. Sudahlah cuek, dingin, muka datar lagi," omelku tak terima dengan kenyataan.
"Yaelah terima aja kali, Nan. Pak Rangga tuh paket lengkap. Udah ganteng, mapan, mateng lagi. Pokoknya definisi duren mateng sesungguhnya."
"Idih, lo aja, Ra. Gue mah ogah. Kayak nggak ada cowok lain aja. Emak gue kayaknya nggak mau nerima menantu selain Rangga, deh," simpulku.
Aku benar-benar tak tahu pemikiran para orang tua. Bagaimana bisa kedua keluarga itu memikirkan tentang perjodohan ini. Tunggu! Apa Rangga juga ikut-ikutan setuju? Eii, sepertinya tidak. Laki-laki itu tak mungkin menginginkan perjodohan ini. Aku akan menanyakan hal ini jika bertemu dengannya. Aku harus memastikan bahwa perjodohan ini dibatalkan oleh kedua belah pihak. Ya, sepertinya hanya ini jalan satu-satunya yang bisa membuat kami tak menikah.
Alasan utama yang membuatku tak setuju bukanlah siapa yang akan menjadi pasanganku, tetapi aku benar-benar takut memulai suatu hubungan yang disebut pernikahan. Aku takut, tak bisa sesabar Kinara. Aku takut tak bisa menjadi istri yang patuh pada suami, dan aku takut menghadapi malam pertama yang katanya menyakitkan. Poin terakhir sepertinya menjadi ketakutan yang tak berani kubayangkan.
Bab 1 Lagi-Lagi Dijodohkan
05/06/2023
Bab 2 Negosiasi Yang Gagal
05/06/2023
Bab 3 Lamaran Yang Tak Kuinginkan
05/06/2023
Bab 4 Bukan Investasi
05/06/2023
Bab 5 Permintaan Konyol Lala
05/06/2023
Bab 6 Menikah Lagi (Rangga POV)
11/06/2023
Bab 7 Didewasakan Oleh Kakak Ipar
11/06/2023
Bab 8 Berseteru Dengan Calon Suami Masa depan
11/06/2023
Bab 9 Kontrak Kerjasama Yang Membagongkan
11/06/2023
Bab 10 Dosen Singa Mulai Beraksi
11/06/2023
Bab 11 Resmi Menjadi Babu
20/06/2023
Bab 12 Suami Titisan Iblis
20/06/2023
Bab 13 Impossible!
20/06/2023
Bab 14 Perdebatan Unfaedah
20/06/2023
Bab 15 Cosplay Jadi Ibu Rumah Tangga
20/06/2023
Bab 16 Tidur Di Ranjang Yang Sama
20/06/2023
Bab 17 Kemesuman Para Cecunguk
22/06/2023
Bab 18 Udah Jebol
22/06/2023
Bab 19 Kemarahan Bu Mega (Rangga POV)
22/06/2023
Bab 20 Perawan Tua Memang Menakutkan
22/06/2023
Bab 21 Panik
22/06/2023
Bab 22 Tamu Tak Diundang (Rangga POV)
22/06/2023
Bab 23 Tetangga Julid
23/06/2023
Bab 24 Hidup Tak Seindah Drama Korea
23/06/2023
Bab 25 Fakta Yang Menyakitkan (Mega POV)
23/06/2023
Bab 26 Wanita Tak Mau Kalah
02/07/2023
Bab 27 Rumor
05/07/2023
Bab 28 Aku Gila
07/07/2023
Bab 29 Kejadian Tak Terduga
07/07/2023
Bab 30 Canggung (Rangga POV)
10/07/2023
Bab 31 Tertangkap basah
13/07/2023
Bab 32 Menciptakan Satu Drama
13/07/2023
Bab 33 Sandiwara
16/07/2023
Bab 34 Ada Apa Denganku (Rangga POV)
16/07/2023
Bab 35 Dia Sudah Gila
24/07/2023
Bab 36 Perkara Agus (Rangga POV)
30/07/2023
Bab 37 Bimbang
01/08/2023
Bab 38 Tak Ingin Kalah
03/08/2023
Bab 39 Ditampar Kenyataan
05/08/2023
Bab 40 Melawan Hati
07/08/2023
Buku lain oleh Claire Park
Selebihnya