Ellena Cameron, gadis muda yang frustrasi karena dikhianati kekasih, memilih untuk melepaskan keperawanan dan menghabiskan malam dengan pria asing, sebagai bentuk balas dendam karena takdir yang begitu kejam padanya. Saat dia berusaha melupakan kejadian tersebut, saat itu pula seseorang mengaku sebagai pria yang telah menghabiskan malam bergairah bersamanya. Fakta tersebut mengantarnya pada kehidupan yang sanggup membolak balikkan dunianya. William Asahavey Hamilton, pria kaya yang selalu dijodohkan dan dipaksa menikah oleh sang kakek, mengantarnya bertemu dengan seorang gadis muda yang menurutnya sedikit gila. Memberikan keperawanan secara sukarela adalah hal yang sangat tak biasa. Dia sudah sering bertemu dengan banyak wanita, tetapi tak ada yang mengalahkan eksistensi dari gadis mungil itu di matanya.
William Asahavey memasuki sebuah club langganannya. Musik yang begitu keras mengusik gendang telinga saat ia membuka pintu kaca berwarna hitam. Biasanya ia akan datang bersama teman-temannya, tetapi pria-pria itu sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga ia memilih untuk datang sendiri. Tatapannya menelisik ke segala penjuru, mencari tempat yang sekiranya bisa membuat nyaman. Netranya tertuju pada satu sudut ruangan yang cukup gelap, lalu tersenyum miring kala melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Dia mendapati dirinya mengerang kesal.
Los Angeles memang wilayah yang tak melarang seks bebas, tetapi melihat langsung pasangan yang bercumbu di dalam club membuatnya sedikit bergidik. Apa tidak ada tempat lain yang lebih privasi? Mengapa mereka memilih menyatu di tengah keramaian dan menjadi tontonan publik? Akan tetapi, kemungkinan besar hanya dirinyalah yang terganggu akan pemandangan tersebut, sebab orang-orang yang ada di sekitar sana seolah menganggap pemandangan itu adalah hal yang lumrah.
Pria bersetelan abu-abu itu memilih duduk di salah satu deretan kursi yang berhadapan langsung dengan bartender, memesan margarita dan menikmati rasa asin yang tajam. Bukan tanpa sebab ia datang kemari, rasa frustrasi karena pekerjaan yang akan dialihkan padanya, sekaligus pusing karena gencatan perjodohan yang selalu direncanakan oleh sang kakek membuat otaknya seakan ingin meledak. Bukannya tak mau menikah, tetapi perjodohan bukanlah jalan alternatif yang harus ditempuh. Ia bisa mencari sendiri, tanpa bantuan dari pria tua itu.
Jika dipikir lagi, apa yang bisa didapatkan setelah menikah? Apa yang spesial dari hubungan itu? Seks? Meski tak menikah pun, dirinya bisa meniduri banyak gadis jika ia mau. Anak? Dia bisa mendapatkan anak di luar pernikahan. Ia cukup membayar orang lain untuk meminjamkan rahim dan menampung anaknya. Bukankah hal itu bisa dilakukan jika memiliki uang? Semua hal di dunia ini bisa didapatkan jika memiliki uang. Termasuk tubuh wanita.
"Hei, apakah kau datang sendiri?"
William mengerutkan kening, tetapi tetap menjawab pertanyaan tersebut. Tak ada salahnya menjawab pertanyaan dari gadis asing yang lumayan cantik ini. "Ya. Seperti yang kau lihat. Aku tak punya teman."
"Apa kau memiliki kekasih?"
Kening William berkerut. Pertanyaan tadi sudah masuk ke ranah privasi. Namun, William tak berniat untuk mengabaikan pertanyaan tersebut. "Tidak. Aku tidak berminat untuk menjalin hubungan yang seperti itu."
Pupil mata gadis itu melebar. Ini adalah mangsa yang tepat baginya. Ia hanya perlu memberi umpan, agar si pria terpancing. Rasa frustrasi karena diselingkuhi oleh sang kekasih membuatnya yakin untuk melakukan beberapa hal yang cukup anti mainstream dan tak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Apa kau menyukai seks?"
William tersenyum miring. Ia tak mengenal gadis itu, tetapi ia yakin bahwa gadis berambut panjang yang duduk di sampingnya sedikit mabuk. "Pria mana yang tak suka dengan pelepasan, Nona."
"Kalau begitu mari kita bercinta."
Pria bermata biru itu tersenyum miring. "Apa kau sedang menawarkan tubuhmu? Kau meminta bayaran berapa?"
Gadis itu menggeleng sambil menggoyangkan jari telunjuk tepat di depan wajah William, membuktikan bahwa dia tidak setuju dengan penawaran pria tersebut. "Tidak perlu. Justru aku akan membayarmu. Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya sebuah penyatuan dan pelepasan."
Kening Pria itu kembali berkerut, netranya melebar, sedikit syok dengan apa yang didengarnya. Baru kali ini dirinya bertemu dengan gadis yang begitu naif dan polos. Gadis itu yang ingin membayarnya? Bukankah itu terdengar konyol? Apa yang salah dengan gadis bertubuh mungil tersebut?
"Kau tidak perlu membayarku. Aku tidak butuh uang. Aku hanya butuh pelepasan." William jelas menolak, sebab uang bukanlah sesuatu yang ia perlukan saat ini. Cukup pelepasan yang nikmat dan bergairah, itu saja.
Gadis itu melambaikan kedua tangannya di udara. "Jangan seperti itu, Tuan. Aku membutuhkan seorang pria, sehingga akulah yang harus membayarmu. Kau hanya perlu memuaskanku." Suaranya khas orang mabuk.
William menyeringai. Gadis yang ada di sampingnya benar-benar unik. Apakah gadis itu sedang banyak masalah? Akan tetapi, ia tak akan membuang kesempatan ini. Kapan lagi ia akan mendapatkan kesempatan emas seperti ini? Biasanya dia yang akan memasang umpan agar ikan datang padanya, tetapi kali ini, sang ikan secara sukarela masuk ke dalam jaring perangkapnya.
***
Dengan tergesa-gesa Ellena masuk ke flatnya. Ia tak memedulikan bagaimana keadaan pakaian dan wajahnya. Ia terbangun dalam keadaan tanpa busana di sebuah kamar hotel bersama seorang pria. Gadis itu mencoba menggali ingatan-ingatan tentang semalam, dan saat ingatannya mulai kembali, ia segera turun dari kasur dan memungut pakaiannya yang tergeletak di lantai. Rasa nyeri di selangkangannya tak dipedulikan, yang dipikirkan hanya satu, cara agar dirinya bisa keluar secepat mungkin dari kamar tersebut.
Gadis itu membuang sling bag-nya asal, lalu duduk di sofa mungil berwarna cream yang dibeli sebulan yang lalu. Decakan lidahnya terdengar frustrasi. Kemudian dia mengacak-ngacak rambut dan berlagak seperti orang yang kehilangan kendali.
"Apa yang kulakukan semalam? Aku mabuk dan meminta pria itu tidur denganku? Aku sudah tak perawan lagi," geramnya dengan suara histeris. Dia sudah kehilangan kesucian, kehilangan hal yang paling dijaga, juga kehilangan kewarasan.
"Ellena! Kau sudah tak perawan?!" Jeritan tersebut berasal dari mulut Christy-teman satu flat Ellena. "Dari mana saja kau semalam? Mengapa ponselmu tak bisa dihubungi?" Dia mendekati Ellena dengan raut wajah kebingungan bercampur penasaran.
Gadis bermata hazel itu menunduk lalu mendesah untuk kesekian kalinya. "Aku menawarkan diri secara sukarela untuk bercinta dengan orang lain, Cris."
"Apa kau gila?! Bukankah kau sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjaganya sampai kau menikah nanti?"
"Xavier selingkuh. Dia bermain dengan wanita lain." Dia mendengus lagi. "Aku membalaskan dendamku dengan cara seperti ini, Cris."
Christy membuka mulut tak percaya, pupil matanya melebar, dan dia tak bisa lagi berkata-kata. Sahabatnya sekaligus teman satu flatnya memang sudah kehilangan akal sehat. Bagaimana mungkin gadis itu membalas dendam dengan melakukan sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya? Keperawanan adalah sesuatu yang tak bisa dijadikan sebuah alat untuk bermain-main. Wah, sekarang dia yakin bahwa kegilaan Ellena sudah berada di fase tak bisa diobati.
"Kau mengenal pria itu?"
Ellena menggeleng pelan. "Tidak."
"Oh shit! Kau benar-benar ..." gadis itu menggantung kalimatnya, mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan sikap Ellena, "bodoh." Dia memutar bola mata kesal. "Bagaimana bisa kau memberikan keperawananmu pada pria asing? Bagaimana jika kau hamil? Apa dia menggunakan pengaman?"
"Aku sudah kehilangan kewarasan, Cris. Aku tidak tahu apa dia menggunakan pengaman atau tidak."
"Ya, tanpa kau katakan, semuanya sudah jelas. Kau memang sudah kehilangan kewarasan. Tidak. Kau sudah kehilangan otak," hardiknya sekali lagi.
Gadis itu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, lalu menatap langit-langit flatnya. "Kau ingin tahu apa yang kusesali, Cris?" Tatapannya beralih pada gadis berambut ikal tersebut. "Aku melupakan rasanya." Ia meraung, berlagak seperti orang yang menangis. "Apa aku terlalu mabuk sehingga tak bisa mengingat sensasi saat keperawananku pecah? Aku bahkan tak mengingat bagaimana ukuran benda tersebut."
Christy menutup mulut dengan telapak tangan, tak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya. "Apa ini masuk akal? Kau histeris karena tak mampu mengingat ukuran dan rasanya? Oh, Ellena. Kau membuatku ikut gila."
Dengan rasa frustrasi dia memilih masuk ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang sudah tak bisa dikatakan baik-baik saja. Make up yang luntur, lipstik yang sudah melewati garis bibir, dan jangan lupakan lingkaran matanya yang sudah menghitam akibat eyeliner yang telah berantakan. Wajahnya sudah menyerupai boneka annabelle yang mendapatkan penyiksaan dari sang majikan.
Ia berusaha mengingat-ingat rupa dari pria itu, tetapi semakin ia memaksakan diri, kepalanya semakin pusing. Bagaimana ia melakukan hal konyol itu saat mabuk? Se-frustrasi itukah dirinya sehingga memilih untuk merelakan keperawanan kepada pria asing? Meski ada rasa penyesalan, tetapi itu tak berguna lagi. Untuk apa? Toh, semuanya sudah terjadi. Selaput daranya sudah pecah dan mahkota yang telah dijaga selama dua puluh enam tahun telah rusak tanpa sanggup dia pertahankan.
Bagaimana ia menjelaskan kepada orang tuanya kelak? Tentang dirinya yang sudah ternoda, tentang dirinya yang sudah melanggar aturan dalam keluarga besarnya. Tunggu! Orang tuanya tak mungkin memeriksa hal itu, bukan? Ya, Ellena cukup berbohong dan berpura-pura tak terjadi apa-apa. Terlebih ia jarang pulang ke rumah, sehingga ayah dan ibunya tak mungkin menanyakan perihal keperawanannya.
Dia sudah dua puluh enam tahun, sudah termasuk kategori dewasa. Tak mungkin pula orang tuanya bertanya seperti itu. Kedua orang tua Ellena sudah percaya bahwa anaknya bisa menjaga diri, tetapi dengan bodohnya, Ellena justru memberikan mahkota yang sangat dijaga untuk pria yang tak dikenalinya secara cuma-cuma.
"Bahkan seorang pelacur lebih berharga dibanding diriku," erangnya frustrasi.
"Ya, mereka mendapat bayaran, sedangkan kau tidak, Elle. Kau gadis gratisan."
"Stop, Cristy." Ia mengangkat tangan tepat di depan wajah sahabatnya. "Jangan meneruskannya lagi. Aku tahu bahwa aku memang konyol, tetapi mari lupakan itu." Ia menaikkan alis lalu mengangguk cepat berharap persetujuan dari Cristy.
Cristy hanya mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku tidak bisa berjanji untuk melupakan kejadian yang kau alami." Gadis itu terpingkal. "Itu sangat unik."
***
William berusaha membuka kelopak mata saat cahaya matahari mulai menembus masuk melalui kaca jendela. Dengan tergesa-gesa, dia meraup ponselnya yang tersimpan di nakas samping kasur, melihat layar dan memastikan bahwa hari sudah menjelang siang. Kemudian dia menoleh, tak ada seorang pun di sana. Ada perasaan kecewa saat tak menemukan sosok gadis asing itu di sampingnya.
Senyumannya tersungging ketika ingatannya kembali mengenang kejadian semalam. Dia tak pernah membayangkan akan bermain dengan gadis yang tak memiliki pengalaman sama sekali. William seperti seorang ayah yang mengajari anaknya untuk melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Seperti seorang profesional yang menuntun si pemula. Namun, ia cukup takjub sebab gadis itu cepat belajar.
William memilih untuk duduk di pinggiran kasur, mengumpulkan nyawa sebelum dia meninggalkan kamar hotel tersebut. Namun, netranya justru beralih pada dua lembar uang bergambar Benjamin Franklin dengan sebuah catatan di atasnya.
'Maafkan aku karena harus meninggalkanmu. Semoga uang ini cukup untuk biaya service semalam. Terima kasih.'
"Oh sial. Aku seperti pria bayaran saja," keluhnya sambil tersenyum miring. Untuk pertama kalinya ia merasa seperti pria yang rendahan. Mengapa William merasa egonya terluka? Sebelumnya tak pernah ada wanita yang memperlakukannya seperti ini. Apakah dia terlihat seperti kekurangan materi, sehingga gadis itu menyimpan uang sebagai bayarannya?
Bab 1 Rasa Yang Terlupakan
17/03/2024
Bab 2 Penyesalan
17/03/2024
Bab 3 Perkara 200$
17/03/2024
Bab 4 Pertemuan Kedua
17/03/2024
Bab 5 Fakta Yang Terkuak
17/03/2024
Bab 6 200$ Di Meja Hotel
17/03/2024
Bab 7 Menikmati Sirop Di Bar
17/03/2024
Bab 8 Gadis Dua Ratus Dolar
17/03/2024
Bab 9 Kebohongan
17/03/2024
Bab 10 Tentang 'Malam Bergairah'
17/03/2024
Bab 11 Di Luar Prediksi BMKG
20/03/2024
Bab 12 William Yang Gila
20/03/2024
Bab 13 Ibarat Buah Yang Kelewat Matang
20/03/2024
Bab 14 Ellena, Si Gadis Keras Kepala
20/03/2024
Bab 15 Sebuah Tamparan
20/03/2024
Bab 16 Sepasang Kekasih
20/03/2024
Bab 17 Cristy Yang Curiga
20/03/2024
Bab 18 Kedatangan Ibu Ellena
20/03/2024
Bab 19 Rasa Cinta Tak Abadi
20/03/2024
Bab 20 Reuni = Ajang Pamer
20/03/2024
Bab 21 Ancaman William
20/03/2024
Bab 22 Menolak Kohabitasi
04/04/2024
Bab 23 Sumber Kesialan Ellena
04/04/2024
Bab 24 Kesepakatan Yang Dirahasiakan
04/04/2024
Bab 25 Apa itu Karma
04/04/2024
Bab 26 Pertemuan Keluarga
06/04/2024
Bab 27 Pria Black Flag
07/04/2024
Bab 28 Makan Bersama
07/04/2024
Bab 29 Musim Dingin Di Denver
09/04/2024
Bab 30 Denial
09/04/2024
Bab 31 Kerakusan Membawa Bencana
09/04/2024
Bab 32 Terkuaknya Fakta
09/04/2024
Bab 33 Kesepakatan Kedua
09/04/2024
Bab 34 Beruntung Atau Sial
09/04/2024
Bab 35 Laura Yang Iri
15/04/2024
Bab 36 Si Kucing Serakah
15/04/2024
Bab 37 Menjelang Pernikahan
21/04/2024
Bab 38 Pernikahan Yang Tak Diinginkan
25/04/2024
Bab 39 Jadilah Istri Yang Baik
01/05/2024
Bab 40 Mematahkan Rumor
02/05/2024
Buku lain oleh Claire Park
Selebihnya