Hidup Nadira terasa hampir sempura, berhasil mendapat gelar sarjana seni kriya, tinggal selangkah lagi memasuki perusahaan impian, hingga memiliki tunangan yang sebentar lagi menjadi dokter. Namun semua berubah, dalam sekejap semua kesempurnaan yang hampir digapainya lenyap, hilang dan meruntuhkan semua mimpi - mimpinya. Membuat Nadira harus dapat berdiri dengan satu tumpuan, satu surga yang masih tersisa.
"Maaf aku gak bisa datang ke sana, kalau diantar ke rumah sakit saja bisa gak?"
Kubaca sebuah pesan yang baru saja masuk dalam ponselku itu, sebuah pesan yang sudah dapat ku tebak sejak beberapa jam yang lalu.
Dia adalah mas Abyan, pacar yang sejak dua bulan lalu telah berganti status menjadi tunangan sejak ia memboyong keluarganya untuk melamarku. Seorang sarjana kedokteran yang tengah berjuang dalam masa koasnya di sebuah rumah sakit agar dapat mendapatkan sebuah title dua huruf di depan namanya itu.
Koas atau lebih kerennya sering dipanggil dakter muda oleh para perawat, tunanganku itu memang memiliki jadwal jaga yang begitu padat, maklum saja sebelum title itu benar – benar tersemat di depan nama, seorang dokter memang harus digempur habis – habisan untuk meningkatkan kopentensi serta ke tangkasan dalam setiap bertindak menangani setiap pasien.
Ku masukkan sayur sop yang sudah ku siapkan di sebuah wadah itu ke dalam sebuah tempat kedap udara yang nantinya akan ku bawa menuju rumah sakit agar mas Abyan dapat memakannya pada waktu istirahatnya nanti, selama beberapa hari ini tunanganku itu memang tidak pernah sempat untuk datang berkunjung ke kosanku yang berada tak jauh dari rumah sakit.
Jangan berpikiran negative dulu, kosan khusus perempuan yang telah kutinggali sejak pertama datang ke Jakarta untuk menjadi mahasiswa baru ini cukup ketat penjagaannya, namun juga memberikan fasilitas yang sangat baik, ibu kosan sengaja memberikan sebuah space khusus di depan untuk memudahkan para penghuni kos bila sedang kedatangan tamu lawan jenis namun tetap harus mematuhi peraturan yang berlaku yaitu tidak boleh melebihi batas jam malam dan tidak boleh bertindak asusila.
Kututup rapat wadah berisi sop sayur itu tak lupa juga membawakan nasi yang ku letakkan di wadah lainnya sebelum ku masukkan keduanya ke dalam tas kain yang sengaja ku beli pada saat berbelanja di sebuah supermarket.
Dengan memanfaatkan keberadaan ojek online aku dapat sampai di rumah sakit tanpa membutuhkan waktu yang lama, ku tatap bangunan rumah sakit dua lantai dengan gedung yang sangat besar itu. Hatiku selalu berdesir saat memandanginya, ahh betapa bangganya aku pada calon suamiku itu.
Kakiku melangkah menuju sebuah taman kecil yang berada di tengah – tengah gedung rumah sakit, sebuah taman yang biasanya dimanfaatkan oleh para keluarga yang ingin mencari udara segar setelah seharian menunggu sang keluarga yang sakit di dalam ruangan.
Belum sempat kakiku melangkah menuju sebuah kursi kosong yang menjadi incaranku saat mataku tak sengaja melihat sosok lelaki dengan jas putihnya tengah asik mengobrol dengan seorang perempuan berbaju pink, baju khusus untuk para psien rumah sakit itu.
Mataku memincing, memastikan jika sosok yang kulihat itu memang orang yang saat ini sedang ingin ku temui. Dan benar saja, dia adalah mas Abyan yang sedang mengobrol dengan sosok perempuan yang dapat aku tebak jika itu adalah Nada.
Nada gadis manis yang selama beberapa bulan ini sering diceritakan oleh mas Abyan padaku, sosok gadis manis yang sedang berjuang melawan kanker darah atau lebih sering di sebut dengan Leukimia. Mas Abyan sangat terbuka denganku, dia selalu menceritakan apa saja yang terjadi di rumah sakit temasuk pertemuannya dengan sosok gadis bernama Nada itu.
Aku dapat melihat senyum merekah yang terbit pada wajah pucat gadis itu, senyum yang sangat manis cukup memberi warna sendiri di wajah pucat dan bibir keringnya.
Dan satu hal yang saat itu membuatku semakin menguatkan apa yang selama ini ku artikan dari setiap cerita – ceita yang keluar dari bibir mas Abyan dan dalam beberapa kali kesempatan aku melihatnya melihatnya sendiri dari jarak pandang yang cukup dekat meskipun tidak pernah berkenalan secara langsung.
"Gadis itu tak hanya menganggapnya sebagai dokter," gumamku.
Ku lihat mas Abyan yang nampak sesekali melirik pada ponselnya lalu kembali berbicara pada gadis itu sebelum akhirnya kembali memasuki koridor rumah sakit meninggalkan gadis itu sendiri yang terus menatap kepergiannya tanpa berpindah seinci pun dari tempatnya berdiri.
Ku putuskan untuk mendekatinya, baiklah sepertinya aku memang perlu mengenalkan diri padanya, pikirku saat itu.
"Selamat siang, Nada," sapaku membuatnya segera memalingkan pandangannya pada punggung mas Abyan yang sudah menghilang di balik tembok.
Gadis itu menatapku dengan pandangan penuh selidik dan wajah yang begitu datar, aku tersenyum kecil mengingat kembali bagaimana mas Abyan bercerita saat kali pertama bertemu gadis ini, dia memang begitu datar dan terkesan sangat jutek pada setiap orang yang baru ditemuinya, namun satu yang aku ketahui dari mas Abyan bahwa gadis ini sangat baik.
"Perkenalkan saya Nadira," ucapku lagi sembari mengulurkan tangan padanya terlihat dia masih menatapku dengan pandangan datarnya namun kemudian mulai mengangkat tangannya dan membalas uluran tangan dariku.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" adalah pertanyaan pertama yang keluar dari bibir pucatnya.
Aku menggeleng pelan, "Tidak," jawabku.
Kulihat dahinya berkerut, "Dari mana kakak tau namaku?" tanyanya lagi.
"Aku mengenalmu dari dokter Abyan," jawabku lagi dan sontak membuat mimik wajahnya menjadi tidak sedatar tadi, ada sedikit lengkungan kecil dari kedua sudut bibirnya kala aku menyebut nama mas Abyan.
"Dokter bercerita tentangku?" tanyanya dengan sedikit rona merah yang muncul di pipi pucatnya.
Aku kembali mengangguk, "Iya, dokter Abyan sering bercerita tentangmu."
Dia kembali menatapku, "Tapi kakak siapanya dokter Abyan?"
Aku tersenyum, dalam hati aku bersorak sorai. Ini adalah moment yang sangat ku tunggu dimana dia menanyakan siapakah gerangan diriku yang selalu menjadi wadah seorang Abyan untuk bercerita.
"Aku tunangan dokter Abyan," jawabku dengan senyum termanis diwajah, dan dapat kulihat wajahnya menjadi sedikit tegang sorot matanya mulai tak fokus dan sesekali menatap objek lain, ku tebak jika sekarang gadis ini pasti sangatlah terkejut.
"Dokter Abyan punya tunangan?" tanyanya seakan tak percaya.
Aku mengangguk lagi, "Iya," jawabku sembari membuat sedikit gerakan kecil pada tanganku agar dia melihat sebuah cincin emas yang melingkar pada jari manisku, cincin emas pemberian dari mama mas Abyan, calon ibu mertuaku.
"Aku tak tau jika dokter Abyan punya tunangan," ucapnya pelan dengan tubuh yang sepertinya mulai bergetar.
"Sekarang sudah tahu," gumamku pelan.
"Aku permisi dulu, senang dapat bertemu denganmu," ucapku hendak pergi dari hadapannya saat kembali terdengar suara dari bibirnya, "Tapi dokter tidak memakai cincin di jarinya? Apa kau membohongiku?" ucapnya dengan penuh selidik, dapat kulihat kilat kemarahan di matanya.
Aku menghela napas pelan dan tersenyum kecil, "Dokter memang tidak memakai cincinnya karena jika dia memakainya maka itu akan cukup merepotkan pekerjaanya, aku tidak pernah memiliki niat untuk membohongimu, karena kami memang telah bertunangan," jawabku dengan tenang mencoba untuk tak ikut tersulut.
Gadis itu kembali terlihat tak fokus, kulihat tangannya yang bergetar sembari memainkan kukunya.
"Kalau begitu bolehkah ku pinjam dokter Abyan untuk sementara waktu," ucapnya lirih hampir tak dapat ku dengar, namun beruntunglah karena saat itu suasana taman masih cukup sepi dan telingaku masih sanggup untuk menangkap suara lirih yang keluar dari bibir pucatnya.
"Maaf kan aku, tapi dokter Abyan bukan barang yang bisa ku pinjamkan," jawabku masih dengan nada yang sangat tenang
Wajahnya mendongak menatapku dengan mata memelas, "Tapi kakak masih sangat sehat, izinkan aku meminjamnya untuk sementara waktu, umurku sudah tidak lama lagi," ucapnya dengan sangat bersungguh – sungguh bahkan kedua bola matanya sudah digenangi oleh air mata yang siap jatuh kapan saja.
Dan aku masih tetap tenang, meskipun hati ini sudah begitu bergemuruh namun senyum di wajahku masih belum memudar, "Apa kamu tuhan sampai bisa memprediksi berapa umurmu? Kita hanya manusia biasa, tidak ada yang tau berapa lama umur kita yang di berikan oleh yang maha kuasa, jadi jangan mudah mengucapkan kata – kata seperti tadi." Jelasku.
Lalu aku kembali melangkah mendekatinya, "Dan kalau pun aku meminjamkannya, apakah ada jaminan jika umurmu memang hanya tinggal sementara? Bagaimana jika ternyata Allah berkehendak yang lain lalu kamu sembuh, apa kamu akan mengembalikannya?" lanjutku menatapnya dalam dan menghilangkan gurat senyuman dalam wajahku.
Tubuhnya sedikit oleng sesaat namun dia masih bisa mempertahankan tubuhnya hingga tidak jatuh, "Aku leukimia stadium empat," jawabnya tanpa ragu padaku.
Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, menatap suasana sekitar taman yang masih sepi hingga detik itu lalu kembali menatapnya, "Baiklah, asalkan kamu bisa bertahan tanpa satu pun asupan pil – pil dan cairan lainnya dalam satu kali dua puluh empat jam." Jawabku sembari melirik tangan kirinya yang masih ditutupi oleh sebuah plester, bekas jarum infus.
Setelah mengucapkan itu aku segera berlalu dari hadapannya menuju kantin rumah sakit, niatku untuk menunggu mas Abyan di taman musnah sudah setelah pertemuanku dengan gadis itu. Dadaku masih sangat bergemuruh, mengingat bagaimana gadis itu dengan sangat mudah memintaku untuk menyerahkan mas Abyan padanya.
"Memangnya mas Abyan itu barang apa," gerutuku masih tak habis pikir.
Aku duduk pada sebuah bangku kantin dan meletakkan tas berisi makanan itu di atas meja kantin, ku ambil ponselku dan segera mengirimkan pesan pada mas Abyan, mengabarkan jika sekarang aku sudah berada di rumah sakit dan menunggunya pada area kantin.
Hingga lebih dari tiga puluh menit aku menunggu di kantin namun mas Abyan belum juga muncul bahkan pesanku pun tidak di balas olehnya, sesekali ku lirik suasana kantin yang tidak begitu ramai itu. Hanya terdapat beberapa orang yang sepertinya tengah mengambil waktu untuk melepaskan kantuk dengan memesan kopi dan menghisap rokok karena hanya di kantin ini lah orang dapat bebas merokok, alias rokok area.
Tak lama ku lihat sosok yang sudah sedari tadi ku tunggu, kedua sudut bibirku tertarik ke atas saat melihatnya. Sosok lelaki dengan tinggi 175 cm itu berjalan dengan cukup tergesa sorot matanya sangat berbeda dengan biasanya, jas putih kebanggaannya nampak melambai – lambai terkena sapuan angin.
"Apa ada pasien darurat lagi? hampir satu jam aku nunggu disini," ucapku saat mas Abyan telah berdiri di hadapanku.
Satu hal yang sangat berbeda dan membuatku begitu gugup waktu itu, sorot mas Abyan benar – benar tajam seakan menghunusku. Aku berdiri dari kursi yang sedari tadi ku duduki, "Kenapa mas?" tanyaku perlahan.
"Kamu ketemu Nada tadi?" tanyanya dengan cukup serius tanpa mengendurkan tatapan tajamnya padaku.
Aku mengangguk, "Iya, tadi aku ketemu Nada di area taman," jawabku jujur.
Rahangnya mengeras, deru napasnya juga terdengar begitu cepat membuatku merasa jika memang ada yang sedang tidak beres saat ini. Dan seketika ingatanku kembali dengan percakapanku bersama Nada tadi.
"Apa dia mengadu dengan mas Abyan?" pikirku dalam hati.
"Kau pikir kau siapa sampai menyuruhnya untuk tidak mengkonsumsi obat hah?" tanya Mas Abyan begitu tajam padaku, hatiku berdesir melihat bagaimana reaksi yang ditunjukkan oleh mas Abyan saat itu, ini adalah kali pertamanya menatapku dengan mata setajam itu.
"Aku tidak bermaksud begitu, dia yang lebih dulu memintaku memberikan mas Abyan padanya, sungguh buka..,"
"Dia pasienku, Nadira," selanya dengan cepat bahkan sebelum aku selesai menjelaskan secara lengkap padanya.
Hatiku kembali mencelos, untuk pertama kalinya setelah bertahun – tahun menjalin hubungan dengan mas Abyan dia kembali memanggilku dengan nama, bukan Dee atau panggilan sayang lainnya.
Lidahku kelu tak tau harus mengucapkan apa, "Kalau kau masih cemburu dengan pasienku lagi jangan berharap bisa menjadi istri dari seorang dokter Nadira." Lanjutnya.
Aku tertunduk, "Kau tau, hari ini Nada memiliki jadwal untuk kemo tapi karena ucapan tidak masuk akal darimu itu dia menolak semua treatment yang harus dilaluinya hari ini, dan membuang semua obat – obatannya ke dalam kloset. Dimana hati nuranimu Nadira?"
Aku masih diam, dengan tubuh yang mulai bergetar, lalu ku dengar sebuah helaan napas berat dari mas Abyan, "Pulanglah, aku masih harus kembali bertugas."
Dan saat itu entah bagaimana mulutku dengan tidak tau dirinya masih menawarkan makanan yang sempat ku buatkan padanya hingga kemudian mendapatkan kembali jawaban yang semakin membuat hatiku sakit, "Bawa pulang saja, aku tidak punya napsu untuk makan."
"Dan satu lagi, kalau kamu memang mau mendapatkan perhatian lebih dari seorang dokter kamu harus jadi pasien terlebih dahulu," ucapnya mengakhiri pertemuan kami hari itu meninggalkanku yang masih terdiam dengan tubuh yang bergetar.
Ku ambil kembali tas berisi makanan yang tadi kubawa lalu segera pergi dari area kantin itu. Dengan tangan yang masih bergetar ku pesan sebuah ojek online dari aplikasi yang ada pada ponselku, tak butuh waktu lama seorang pengendara motor dengan atribut lengkap khas berwarna hijau menghampiriku di depan lobby rumah sakit.
Dengan tangan yang mulai dingin dan dada yang bergemuruh cepat itu aku duduk di belakang seorang driver yang sudah cukup berumur itu, meskipun sedang tidak begitu fokus namun aku masih bisa melihat bagaimana tangan sang bapak yang terlihat sedikit kesusahan menyeimbangkan motornya. Mungkin karena sudah tidak muda lagi, pikirku saat itu, apalagi cuaca yang panas dan kondisi jalanan yang cukup padat.
Dan semua terjadi begitu cepat, saat motor yang ku tumpangi itu mencoba menyalip sebuah mobil dari sisi kanan,namun ternyata perhitungan sang driver tidak tepat karena ternyata ada sebuah mobil truk yang melaju pada arah berlawanan itu dan membuat pak driver tua itu terkejut lalu membanting setangnya ke sisi kiri.
Tubuhku terpental dengan cukup keras karena dari arah belakang ada sebuah mobil yang tadi kami salip juga tidak dapat mengendalikan lajunya saat motor yang kami tumpangi tiba – tiba masuk dalam lajurnya dan menabrak motor yang kutumpangi. Tubuhku seakan terlempar ke atas sebelum kemudian jatuh dengan keras pada aspal jalanan ramai itu, kurasakan benturan hebat pada helm yang kukenakan, kepalaku berndenyut hebat dan dapat ku tebak helm itu pasti telah pecah.
Belum lama tubuhku merasakan sakit pada aspal panas saat kurasakan lagi sakit yang lebih hebat pada tubuh bagian bawahku, lebih tepatnya pada bagian kaki lalu terdengar bunyi decitan nyaring setelahnya.
Dan setelah itu pandanganku mengabur, bersamaan dengan bau anyir yang mulai ku cium memenuhi kepalaku.
Bab 1 Awal dari akhir
09/12/2021
Bab 2 Kita berbeda
09/12/2021
Bab 3 Kilas Balik
09/12/2021
Bab 4 Hilangnya satu surga
09/12/2021
Bab 5 Dia bernama Nada
09/12/2021
Bab 6 Gotong Royong
10/12/2021
Bab 7 Alinea baru
21/02/2022
Bab 8 Sehari sebelum pergi mengabdi
21/02/2022
Bab 9 Penelitian dadakan
21/02/2022
Bab 10 Akram Fauza
21/02/2022
Bab 11 Setelah tiga tahun tak bertemu
21/02/2022