Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Tak Bersyarat

Cinta Tak Bersyarat

anjaniray14

5.0
Komentar
77
Penayangan
26
Bab

"Depresi dalam batas kewajaran itu bisa sembuh cepat, Burhan. Tapi, depresi akibat cinta sungguh sangat sulipenangannya. Emosi yang labil karena tidak dapat membuang tepat di wajah penyebabnya." "Apa dampaknya negatif, Mor?" "Reaksi negatif ini disebabkan oleh penurunan hormon pembuat bahagia yang diproduksi oleh otak. Jaringan dalam otak Arini justru meningkatkan produksi hormon stress kortisol. Selain membuat mood bisa mendadak nge-drop, hormon stres kortisol juga bisa membuat fisik menjadi sakit. Salah satunya lambung. Nyeri pada fisik yang diakibatkan oleh peningkatan hormon stres kortisol bahkan bisa menjadi mirip dengan gejala sakau kokain. Ini berbahaya." Burhan terdiam. "Aku menyuruhnya untuk rutin chek-up, keluar masuk laboratorium, bahkan aku mengatakan yang menanganinya dokter spesialis penyakit dalam. Agar dia tidak sadar sedang dibawa ke seorang psikolog. Dokter penyakit dalam itu temanku, begitu aku bilang. Nanti Arini masuk ke ruangannya dengan aku mendampingi." "Ide jenius. Tapi, bagaimana pendapatmu dengan keadaan dia sekarang." "Hasilnya buat geleng kepala. Tidak ada penyakit yang terdeteksi dari tubuh Arini. Selain asam lambung. Arini mampu mengendalikan fisik, tapi, bisa jadi itu tidak bertahan lama. Arini harus diselamatkan segera." "Caranya?" "Kadar dopamin dan oksitosin, mendominasi, jika tidak segera ditindak lanjuti bisa berakibat fatal. Saat kalian lengah, atau ia merasa tidak dihargai, bunuh diri bisa jadi solusi--menurut dia." "Apa hal urgen pertama kali yang bisa kami lakukan." "Ajak berolahraga, yang paling sederhana lari pagi. " "Tiga hari yang lalu aku pernah membujuknya untuk pergi ke psikiater. Sampai di sana, Arini normal saja, bahkan wajahnya berubah warna, cerah tanpa sisa kepucatan yang baru saja terjadi. Terus sampai di sini aku malah diamuk, katanya, "Apa kau kira aku gila." "Biarkan dia berkata sesuai apa yang ia ingin katakan. Itu menambah proses yang baik untuk membuang hormon depresinya." * "Apa Dokter tidak keberatan kalau saya ikutan Yoga?" "Sepertinya Minggu ini saya jarang yoga. Yoga sangat baik untuk pernapasan, dan mengurangi stres," ucap Burhan tiba-tiba. "Siapa yang stres?" tanya Arini. Merasa telah keceplosan. Burhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Morela mengaku stres karena jadi jomblo sejati. Apa kau punya teman untuk dijodohkan padanya?" Arini langsung tertawa terbahak-bahak. Morela menahan tangannya untuk tidak menjitak kepala Burhan. Melihat tawa yang begitu lepas, Morela yakin tiga bulan Arini sudah bisa dipastikan sembuh. Burhan melirik tipis ke arah Morela. Psikiater itu memajukan jempolnya tanpa terlihat Arini. {Ternyata Cinta itu tidak bersyarat apapun, Burhan. Meski dia gila sekalipun} Tiiittr. Ponsel Burhan bergetar. Pesan dari Morela. Wajahnya memanas seketika. Awas kau Morela! Di bangkunya Morela tersenyum mengejek sang teman

Bab 1 Perhatian Pertama

"Jadi nama kamu Habibie Burhanuddin, seorang lelaki yang sama sekali tidak punya harga diri?" tanya Arini sinis, pada pemuda yang menunduk memeluk plastik kresek berisi kotak makan.

Burhan mengangguk, menatap Arini sekilas, lalu menunduk lagi. Hanya sekilas kelopak itu mengembang--memancar bagai blitz kamera, yang ditatap justru menyorot tajam--memindai mangsa.

Meletakkan plastik hitam di sampingnya, memasang sepatu, mengikat dua tali yang masih berjalin satu, Arini menahan tali sepatu agar tidak terikat sempurna.

Burhan kepalang. Kekuatan lelakinya menguap walau sekadar menepis tangan Arini. Lelaki itu hanya menunduk, membuang wajah ke sebelah kanan.

Arini masih setia dengan tarikan garis bibirnya, berada di sebelah kiri, mengejek pemuda bernama Burhan.

Burhan sekuat daya menetralisir aliran darahnya agar terlihat biasa.

Lelaki mana yang tahan dengan godaan baju dengan belahan tepat di bagian dada. Arini seperti sengaja mempermainkan lelaki yang ada di depannya.

"Apa sebagai lelaki kamu tidak lagi punya harga diri sampai harus rela menjalani pernikahan kontrak hanya demi uang," cecar Arini membolakan kerjapan Burhan.

Terbelalak dengan ucapan Arini yang sangat pedas, justru ia kembali menunduk mengikat tali sepatunya setelah sebelah kembali dilepas Arini secara paksa.

Senyum menghina masih menaungi.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Burhan berdiri, meraih pintu, keinginan terbesarnya hari itu, berlalu secepatnya dari Arini.

Namun sayang, begitu gegas Arini menghalangi pintu tersebut. Kembali dengan sengaja membusungkan dada, memancing intuisi Burhan sebagai lelaki.

"Maaf, saya harus segera sampai ke kantor."

Begitu pongah, ia melewati Arini. Tidak tinggal diam, Arini menarik paksa tangan Burhan. Membalikkan segera dengan kuat.

Tenaga dari kepalan kecil yang sama sekali tanpa perlawanan dari Burhan memantulkan tubuh Burhan tepat menimpa Arini.

Bukan cuma menimpa Arini, bibir lelaki itu menyentuh lembut pipi Arini tanpa sengaja. Menyadari kekeliruan, buru-buru Burhan berdiri. Merapikan kemeja berwarna hitam dengan garis pinggiran putih. Wanita yang sengaja menarik tubuhnya agar tertimpa itu menyeringai tajam.

"hmmp" Seperti kehausan ia menarik wajah Burhan mendekat, sekali hentak bibirnya berhasil melumat bibir lelaki itu sangat seduktif.

"Nyonya, apa yang kau lakukan!" Burhan berusaha melepaskan pagutan Arini. Akalnya hampir saja hilang. Andai Arini melakukannya karena cinta pasti Burhan dengan begitu rela membalasnya. Mungkin lebih panas dari sekadar melumat bibir saja. Ia akan dengan bahagia menggendong Arini ke ranjang hangat mereka. Menyatukan cinta dalam lautan bara menggelora. Tapi, kisah mereka bukan kisah cinderela, bukan pula sepasang pengantin yang merindukan asmara. Kisah merea sungguh berbeda.

"Hei, kamu laki-laki atau banci?" bentak Arini, sekonyong menggigit leher Burhan. Lelaki itu menahan napas sesaknya. Meraba pelan hasil gigitan Arini. Menghirup oksigen lebih banyak.

"Nyonya, saya bisa telat. Nanti saya kan datang tepat waktu, Nyonya makanlah!"

Arini justru tertawa terbahak mendengar kalimat perhatian itu. Seketika melingkarkan tangannya pada leher Burhan dengan santai, kerlingan nakal tak lupa Arini sisipkan. "Bibirmu manis, apa kau pernah mencium perempuan selain aku?" tanya Arini sesekali mendesah. "Saya tidak pernah mencium wanita yang bukan mahrom saya," jawab Burhan. Pelan--menepis tangan Arini.

"Aku sudah sah jadi istrimu, mari kita bercinta!" Lagi-lagi Arini memeluk Burhan kuat. Mengecup paksa telinga lelaki itu yang berusaha mengelak.

"Nyonya, maafkan aku." Iris legam itu lurus menatap, mata tajamnya membola kaget. Apa yang akan dilakukan wanita ini? Pikirnya kawatir, melirak ke arah jalan, apakah Ilham sang bos telah tiba. Sungguh ia sangat kawatir.

Srek.

Bunyi pakaian dikoyak. Arini mengkoyak sendiri bajunya tepat bagian dada di depan Burhan. Untuk kesekian kali lelaki itu tak mampu menepis kasar. Hanya terbelalak kaget. Menelan salivanya berkali-kali. Menatap keindahan, kemulusan, kepolosan di depan matanya. Secara agama tentu saja wanita itu halal untuknya.

Menggenggam kresek semakin kuat, di posisi serba salah, Burhan segera menarik diri. Arini sedikit terpental. Senyum menghina tetap ia kirim untuk lelaki yang tengah mengatur napas, merapikan rambutnya, kemeja yang sedikit kusut karena ulah Arini.

Burhan melangkah menarik daun pintu. Menepis pelan tangan Arini yang lepas dari pergelangannya.

Tanpa berbicara apapun. Burhan gegas melangkah lagi, Namun, sayangnya tangan Arini lebih cepat menahan pergelangan kanan yang masih mengayun.

"Hei, kamu budek ya, aku tanya sekali lagi, yang di depanku ini, banci atau lelaki? kamu gay, ngak selera lihat perempuan. Tubuhku masih aduhai dibanding pelacur bernama Mira. Lihat sini!" Arini menarik tangan Burhan menyentuh dua kembar miliknya. Naluri kelelakian Burhan mendadak meronta. Refleks lima jarinya bergerak meremas.

buck ...

Suara sesuatu kena injak.

"Au!"pekik Burhan tertahan antara napasnya yang memburu dan kakinya yang sakit. Dengan tatapan sinis Arini menginjak keras kaki Burhan. Mengaduh rasa nyeri di tapak, Burhan memejam matanya, mengumpat sesuatu hak meminta dilepaskan segera. Ia harus memalingkan diri. Ini tidak bisa dibiarkan. Kembali tidak menghiraukan pertanyaan Arini. Ia berpura-pura menatap langit di atas pintu, bermohon pada Tuhan agar Arini segera beranjak dari hadapannya. Sebekum akal sehatnya kalah oleh naluri kelelakiannya.

Sekuat tenaga menahan bulir yang hendak jatuh, Burhan akhirnya menatap dua manik coklat berlensa yang kini justru melorotkan semua pakaiannya pula. Tubuh polos itu kini tersenyum begitu memikat di hadapan Burhan.

"Apa yang anda lakukan, Nyonya? Pak Ilham bisa marah besar sama saya, saya mohon jangan sulitkan saya," ucap Burhan melipat dua tangan, berkali-kali menahan getar di jantungnya.

Menatap lurus tanpa menghiraukan adegan mantan istri bos di hadapan. Padahal segala ornamen di tubuhnya bagai tersengat listrik dadakan. Ia menghirup oksigen sebanyak mungkin, seolah udara sumber nyawa itu akan hilang dari peredaran.

"Dasar, Banci! Cemen, pengecut, baru ditolak dikit udah loyo," umpat Arini mendorong tubuh Burhan keluar rumah. sebelumnya Arini sengaja menyenggol benda keramat milik Burhan. Bibirnya menyunggingkan senyum serupa ejekan, hinaan dan pelampiasan kekecewaan.

Burhan hanya diam. Berterimakasih pada Tuhan, Arini tidak berbuat di luar yang diprediksinya. Lebih baik ia dihina banci atau sejenisnya daripada mengorbankan ibu, dan adik perempuannya yang kini butuh transfusi darah, juga perawatan intensif akibat kecelakaan beberapa bulan lalu.

"Oke, sekarang kamu selamat, kita liat sampai kapan kamu bisa bertahan," tantang Arini tertawa sinis. Menutup pintu dengan bantingan keras.

Burhan mengusap telinganya. Menghela napas kembali melangkah, mendekap sarapan yang ia buat sedari subuh. Ia harus kembali ke rumah ibunya untuk menyiram diri. Sengatan listrik akibat perbuatan Arini masih menyentrum seluruh ornamen di tubuhnya.

Bayang tubuh porprosional itu bermain di mata Burhan.

Arini kembali ke dapur, senyum mengejek masih menempel di bibir. Tertawa puas setelah berhasil membuat suruhan mantan suami itu kelimpungan tak karuan.

Aroma khas nasi goreng menggugah penciuman. Masakan buatan Burhan. Arini tidak habis pikir, lelaki itu diam selayaknya orang bisu, tapi begitu perhatian.

Setiap bangun pagi, Arini sudah disuguhi sarapan dengan rasa masakan sangat enak. Arini selalu memakannya tanpa sisa. Selain lapar. Ia sudah tidak peduli malu. Apalagi urusan sungkan. Hatinya tidak lagi bisa dikenali.

Patah telah mencipta jiwanya mengerdilkan rasa, tak bisa terprediksi sakit itu seperti apa.

Perih, bagai belati menghunjam di segala sisi.

Burhan. Ya, dia kini telah resmi menjadi suami Arini, sah secara agama tapi tidak pada negara. Disaksikan para saksi, begitu juga mantan suami Arini--Ilham yang mengenalkan Burhan, sekaligus mengatur semua skenario pernikahan itu. Bahkan Ilham pula yang mengatur semua rencana peristiwa yang terjadi esok hari untuk Arini.

Burhan menikahi Arini sebagai muhallil. Kelak masa aktif kontraknya habis, mereka akan bercerai dan Arini kembali menikah dengan Ilham, suami yang telah mentalak tiga dirinya, setelah tujuh tahun bersama.

Air muka wanita itu tenang bagai telaga, tapi tidak pada hatinya. Pecah berkeping, retak diberbagai sisi, hatinya telah tiada rasa. Ia benci laki-laki.

Niatnya tadi menggoda Burhan bukan karena ingin menggoda sebenar-benar menggoda selayaknya jalang pada mangsa, seperti Mira yang berhasil menggoda suaminya.

Mana mungkin sekelas Arini ingin tidur bersama si culun Burhan, si irit kata, tak pernah bicara sekalipun hal penting.

Hanya kesumat kepada tiap lelaki. Menjadikan dirinya tak lagi bisa dikenali. Burhan seolah menjadi komedian, kelinci percobaan untuk keahlian menggoda ala Arini.

Jika saja tadi Burhan tidak menolak. Dengan senang hati Arini akan membuat video adegan mereka berdua kemudian mengirimnya pada Ilham.

Gila.

Ya, dia telah gila, separuh kewarasannya terenggut cinta buta. Hingga air mata tak lagi merembes melewati pipi mulusnya, melainkan menyusur ke dalam jiwa, begitu menyakitkan.

Belum sembuh kata talak pertama dari mulut Ilham, ia harus dihadapkan dengan begitu banyak konflik hingga membawanya ke tahap ini. Talak tiga telah lolos dari lidah seorang Ilham. Sang suami yang mendapat gelar bersamanya the best couple pada masa remaja.

Arini dipaksa menikah dengan laki-laki lain demi bisa kembali kepada mantan suaminya--Ilham.

'Apa bagi mereka pernikahan serupa permainan, hanya karena Arini tidak bisa melawan, tidak lagi memiliki orang tua, Arini benar-benar bertumpu pada Ilham. Lalu, seenaknya mempermainkan ikatan sakral.

Yatim piatu yang hanya memiliki satu saudara, Lela. Lela yang kini jauh di negeri Sumatra Utara, tidak mengetahui kabar Arini, telah mengantongi tabungan talak sebanyak tiga kali.

Orangtua mereka telah tiada. Nasib rumahtangga telah pula mempermainkan rasa.

Sudah satu minggu Arini menikah dengan Burhan. Wanita yang dulu anggun itu kini bagai singa kecil menemukan lawan. Ia sengaja menggoda Burhan. Sebab sakit hati yang begitu mendalam pada Ilham.

Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar mengarungi biduk rumah tangga. Ucapan talak bukan permainan catur, apalagi monopoli kerjasama. Bagi Arini, nikah itu sakral.

Menatap nasi goreng yang masih mengepul asap, dengan wangi seledri menguar, Arini menarik garis bibirnya. Ia benci Ilham, sorot tajam bola mata lentik tanpa eyelash curler, melambangkan permusuhan namun begitu manis ia tahan.

Kesumat mengakar, cinta itu pudar tanpa peduli kesakralan.

Arini tidak peduli siapa Burhan. Bahkan jijik untuk sekadar berdekatan, tapi, wajah angkuh lelaki itu membuat Arini akhirnya merancang perhitungan, agar Burhan paham pernikahan bukan untuk monopoli pekerjaan.

Arini tidak tahu, apa motif Burhan rela menikah dengannya, setelah enam bulan kelak akan menceraikan. Sesuai perjanjian.

Kalian pikir siapa kalian di mataku? umpat Arini.

Seminggu yang lalu,

"Sah," kor suara para saksi di dalam aula yang dipesan oleh Ilham sendiri. Lelaki di samping Arini menunduk dalam.

"Ini tempat kamu sementara, Arini."

Ilham membawa mereka ke sebuah perumahan sederhana tipe 36, Namun elegant karena didesaign bermode villa unik. Sepanjang jalan Burhan hanya diam, Ilham berceloteh apa yang boleh dan tidak boleh.

Arini tertawa dalam hati. Sejak talak tiga yang tercipta tanpa ucapan, bahkan jika Arini ridho, talak fasakh juga sah untuk pernikahan mereka.

Fasakh merupakan jatuh talak tanpa ucapan.

Walau selanjutnya Ilham bersujud meminta maaf, hati Arini telah beku di saat itu.

"Sampai kapan aku akan tinggal di sini bersama kawanmu yang bego itu?" tanya Arini sinis. Menatap Burhan yang mengekor mereka.

Ilham tersenyum penuh arti. Ia tidak sia-sia menjadikan Burhan sebagai muhallil. Arini tidak akan tertarik dengannya.

Kamar mereka bahkan terpisah. Pernikahan macam apa ini?

Tanpa Ilham sadari senyum dengan tatapan kosong tersurat jelas dari cetakan wajah Arini.

Burhan, siap-siaplah patah hati karenaku.

Dan kau ... Ilham, bersiaplah masuk rumah sakit jiwa karena telah mempermainkan hal paling sakral di atas dunia.

Ia melipat tangannya ke dalam kantong. Sekilas Burhan menangkap sorot kesumat itu. Lekas berpaling, degub jantungnya bermasalah kala bersirobok dengan netra sendu milik Arini, sejak kalimat sah serentak disorakkan para saksi dan beberapa kolega Ilham di aula itu.

Burhan seolah merasa harus melindungi wanita itu. Tapi sayang, Arini bagai merpati cantik yang tak dapat ia miliki.

'Ini hanya rasa kasihan' bhatin Burhan menolak setitik rasa iba yang muncul. Tatapan tajam dari Arini menarik lega napas Ilham.

Lebih baik begitu. Lebih baik dia tidak menanggapi pernikahan ini. Lebih baik rasa benci di hatinya semakin mengakar.

Hati Burhan tenang, saat ia tahu, Arini begitu sinis menanggapi kehadirannya.

Namun setelah seminggu pernikahan mereka, Arini seolah sengaja menggodanya berkali-kali. Nyaris membuat Burhan sesak napas menahan naluri kelelakiannya sebagai suami sah.

"Nyonya, kalau keluar jangan pakai handuk begitu, takutnya nyonya masuk angin," ucap Burhan masih menundukkan wajah.

Tiga hari lalu, Burhan menasehati Arini yang memang sengaja keluar kamar hanya dengan lilitan handuk. Tawa Arini serupa ejekan menjawab nasehat Burhan. Ia malah pergi ke dapur mengambil sesuatu di atas meja--seperti sebuah pil.

Entahlah. Burhan tidak berani bertanya.

Semakin hari, Arini semakin agresif, Burhan tidak mengerti kenapa kesinisan Arini bisa berubah kalem. Bahkan liar.

Walau masih menyebutnya banci, dan hinaan lain, Arini masih terus menggoda Burhan berkali-kali. Tentu punya niat terselubung yang tidak diketahui Burhan.

Sampai kapan Burhan bertahan?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh anjaniray14

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku