kisah remaja yang berjuang mencari sang ibu
"Udah pergi." kata Riri terdengar lirih. Ia merasa bingung harus bertindak seperti apa.
"Lah gimana sih. Kamu nggak kangen sama bapakmu?"
"Nggak tau deh." ucap Riri dengan perasaan kecewa yang kembali muncul ketika melihat bapaknya. Rasa benci seakan tak bisa di bunuhnya. Mungkin terlalu banyak perbuatan bapak yang membuat Riri sakit hati.
"Sebenernya aku kangen juga sih sama sosok seorang bapak. Tapi bapakku sepertinya udah lupa sama aku apalagi sama ibuku." jelas Riri sedih.
Akbar tidak menanyakan lebih dalam lagi soal bapaknya. Takut Riri akan lebih sedih lagi.
Mereka pun mulai menukar tulisannya masing-masing. Riri memegang kertas milik Akbar dan siap membacanya. Ia membuang pikirannya tentang bapak. Ia hanya ingin luka yang bapak berikan di pendam dalam-dalam di dalam hatinya.
(Kenapa harus kulihat luka di ujung sana. Luka yang tak pernah ku rasakan. Seakan semburat duri menancap di dada.
Papa, seharusnya kau menjadi panutanku, tetapi ada apa denganmu? Kenapa seolah kau melukiskan tinta hitam dan membawa kabar buruk.
Tidak ingatkah kau selama ini aku selalu menjadikanmu penyemangat dalam hidupku? tolong jangan rusak jiwa ini. Anakmu sangat menyayangimu wahai sang pemimpin keluarga.)
Riri membaca dengan penuh rasa iba kepada Akbar.
Ia melayangkan pandangan kepada Akbar.
"Gimana menurut kamu?" tanya Akbar dengan raut wajah datar.
Riri seakan bisa melihat kesedihan di mata Akbar.
"Bagus tulisannya. Jujur aku sedih bacanya. Memangnya ada apa dengan papa kamu?" tanya Riri selembut mungkin. Ia tidak ingin memecahkan luka yang di simpan Akbar.
"Aku melihat papa dengan wanita lain." kata Akbar dengan matanya yang menerawang jauh.
Mata Riri membelalak mendengar ucapan Akbar.
"Serius kamu? mungkin kamu salah liat kali. Aku tahu papa kamu orangnya sangat baik. Nggak mungkin papa kamu berbuat kaya gitu." Riri merasa sedikit kesal dengan apa yang terjadi. Sejujurnya ia sangat kaget dengan cerita Akbar.
"Aku serius Ri, aku liat pake mata kepalaku sendiri. Selama ini aku udah memata-matai papaku. Dan ternyata memang benar papaku berselingkuh. Puncaknya aku melihat perempuan itu masuk ke dalam mobil papa dan mereka berdua melakukan hal layaknya suami istri. Disitu aku marah banget. Hati aku sakit. Malam itu aku nangis." jelas Akbar dengan mata berkaca lalu menunduk. Sebenarnya ia sangat malu harus menangis dan menceritakan semua yang terpendam dalam hati.
"Yaudah sekarang waktunya kamu ngomong sama mama kamu." Riri memberi saran dengan menggebu-gebu. Sebagai seorang wanita. Ia merasa kesal jika ada di posisi mama Akbar. Bukan kesal lagi, mungkin ia akan menangis sejadinya.
"Nggak mungkin aku ngomong sama mamaku." kata Iyan dengan tegas. Ia tidak mau menyakiti hati mamanya. Namun di sisi lain ia ingin membongkar kebusukan papa.
"Kamu harus ngomong Bar!" bentak Riri saat itu juga. Baru kali ini ia bersuara tinggi dengan Akbar.
"Aku nggak mau nyakitin mama aku,Ri." jawab Akbar tanpa membalas nada tinggi Riri. Ia tetap menjaga emosinya agar stabil.
"Kalo kamu nggak ngomong sama mama kamu. Itu artinya kamu perlahan nyakitin mama kamu sendiri. Mama kamu hidup dalam kepalsuan cinta papa kamu." Tuduh Riri seakan ia tahu segalanya. Ia memang merasa sangat emosi.
"Kamu nggak tau rasanya jadi aku. Aku bingung, Ri." Akbar mengacak rambutnya dengan kasar.
"Aku emang nggak tahu rasanya jadi kamu. Tapi aku peduli sama kamu. Makannya aku kasih saran buat kamu." ucap Riri mengalihkan pandangan.
"Aku nggak bakal ngomong sama mamaku. Mungkin aku akan ngomong terlebih dahulu sama papaku. Aku ingin tahu seberapa besar pedulinya dia sama Aku, mama dan Bintang." ucap Akbar dengan sorot mata menyipit. Ia sangat berharap bisa berbicara dengan papanya secara perlahan agar papanya sadar.
"Iya kamu benar juga, mungkin kamu harus ngomong sama papa kamu dulu. Semoga aja papa kamu segera bertaubat dan kembali bersama mama kamu. Mencintai mama kamu dengan tulus." Kata Riri sangat berharap keluarga Akbar bisa harmonis seperti dulu. Pasalnya ia trauma dengan keluarganya. Ia takut papa Akbar akan seperti bapaknya sendiri yang menikahi perempuan lain dan meninggalkan ibu.
Mereka berdua terdiam sejenak. Mencoba bernafas setelah percakapan penuh api yang terjadi. Adzan maghrib memecah keheningan diantara keduanya.
"Aku sholat dulu ya, Bar." ucap Riri dengan lirih. Ia kehilangan sedikit tenaganya setelah obrolan yang menggebu-gebu.
"Iya aku juga mau sholat. Eh ini tulisan kamu belum aku baca. Nanti aku baca setelah makan malam ya. Soalnya laper banget nih. Habis sholat maghrib aku mau langsung ngambil jatah makan malamku." kata Akbar mencoba menghibur diri dengan melemparkan senyum kepada Riri.
"Oke. Nih tulisan kamu." Riri menyerahkan kertas puisi milik Akbar kepada pria jangkung di depannya.
Akbar meraihnya. Lalu mereka berdua berjalan bersama kemudian melewati jalan yang berbeda untuk pergi ke toilet dan berwudhu.
"Ri, kemana aja kamu? Aku cari kamu loh. Tadi ada bapak-bapak yang nyari kamu. Katanya itu bapak kamu ya Ri?" ucap Cahaya penasaran.
"Hah? apa?" mata Riri mendelik tak habis pikir dengan yang di lontarkan Cahaya.
"Ciri-cirinya kaya gimana?" Riri kembali bertanya.
"Rambut ada sedikit ubannya, berkumis tipis, Badannya tinggi dan nggak gemuk. Tadi bapak itu pake jaket." kata Cahaya seraya mengingat kembali orang yang di temuinya.
"Terus kamu bilang apa sama bapak itu?"
"Ya aku bilang, kamu ada di pengungsian ini. dan dia menjawab kalo besok akan kesini buat menemui kamu." jelas Cahaya membuat Riri tak percaya.
"Terus bapak itu pergi naik becak?" tanya Riri penasaran.
"Iya dia mengendarai becaknya sendiri." jawab Cahaya mengangguk-angguk.
"Berarti benar, dia bapak aku. Tadi aku sempet ngliat dia. Tapi aku cuma bisa diam aja." cerita Riri sambil menunduk.
"Kenapa kamu nggak nyamperin?"
"Ya aku bingung aja mau ngapain setelah ngliat bapak aku. Pas aku ngliat dia rasanya luka yang dulu muncul. Kelakuan kasar bapak pada ibu seketika muncul di benakku dan aku merasa sakit." jelas Riri dengan perasaan sedihnya.
"Sabar ya, Ri. Mungkin bapak kamu kesini pengin tahu kabar kamu. Mungkin juga dia pengin minta maaf sama kamu." Kata Cahaya berusaha menenangkan teman baiknya.
"Semoga aja ap yang kamu ucapkan itu bisa menjadi kenyataan." Riri berharap dengan penuh.
"Yaudah yuk! kita sholat maghrib dulu." ajak Cahaya merangkul pundak Riri yang sedang rapuh.
Mereka berjalan menyusuri lorong lalu mengantri di toilet. Setelah giliran Riri masuk ke toilet. Ia menangis sejadinya. Ia merasa hari ini penuh dengan emosi. Di depan orang-orang ia bisa tersenyum. Tapi ketika sendiri ia begitu teriris.
Bab 1 SATU
03/03/2024
Bab 2 DUA
03/03/2024
Bab 3 TIGA
03/03/2024
Bab 4 EMPAT
03/03/2024
Bab 5 LIMA
03/03/2024
Bab 6 ENAM
05/03/2024
Bab 7 TUJUH
05/03/2024
Bab 8 DELAPAN
05/03/2024
Bab 9 SEMBILAN
05/03/2024
Bab 10 TEN
05/03/2024
Bab 11 ELEVEN
05/03/2024
Bab 12 TWELVE
05/03/2024
Bab 13 THIRTEEN
05/03/2024
Bab 14 FOURTEEN
05/03/2024
Bab 15 FIVETEEN
05/03/2024
Bab 16 SIXTEEN
05/03/2024
Bab 17 SEVENTEEN
05/03/2024
Bab 18 EIGTEEN
05/03/2024
Bab 19 NINETEEN
05/03/2024
Bab 20 TWENTY
05/03/2024
Buku lain oleh Aurora langit malam
Selebihnya