Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
HIGH SCHOOL LOVE ON
5.0
Komentar
451
Penayangan
18
Bab

Siswa SMA yang pintar dan berprestasi itu sangat di puji puji oleh semua guru. Namun bagi siswa lain tak ada yang berani mendekatinya. Karena sifatnya yang tertutup dan pendiam. Ia hanya akan berbicara jika perlu saja. Hal yang paling di sukainya adalah kegiatan memotret. Sekecil apapun itu dalam mata seorang Devano akan tampak indah jika di foto olehnya. Sayangnya kedua orang tua sama sekali tidak mendukung bakat anaknya sendiri. Sang papa hanya terobsesi menjadikan Devano juara matematika internasional seperti dirinya. Sementara sang Mama ingin sekali menjadikan Devano selebgram. Kedua orang tuanya sering cekcok karena masalah itu. Devano terus di forsir untuk mengikuti berbagai les. Les bahasa, les matematika bahkan les model. Semuanya Devano lakukan. Ia sama sekali tidak bisa menolak keinginan kedua orang tuanya. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan seorang perempuan yang berbeda dari yang lain. Siswi pindahan bernama Bea Miller. Kedatangannya membuat satu sekolah terpana karena kecantikannya yang blasteran Jerman dan Indonesia. Sayang seribu sayang meski cantik tapi Bea benar benar badung sekali. Bahkan kepindahannya ke sekolah karena ulah buruknya di sekolah sebelumnya. Ternyata Bea baru menyadari bahwa Devono adalah tetangganya. Bahkan hanya melewati satu rumah saja. Mereka berdua sudah bisa ketemu. Saat itu Bea pergi dari rumahnya secara diam diam untuk menghadiri konser. Saat mengendap endap dan berhasil keluar rumahnya. Ia berjalan melewati rumah Devano. Tak sengaja telinganya mendengar suara ribut ribut di rumah itu. Kaki Beapun berhenti karena penasaran dan ia melihat di samping rumah itu terlihat Devano yang pergi secara diam diam. Mungkin saja menghindari orang tuanya yang sedang bertengkar. Akhirnya dari situlah mereka mulai berteman. Meski sebelumnya Devano sangat risih dengan tingkah bar bar Bea. Tapi Devano senang sekali karena bisa menemukan teman seperti Bea. Mereka sangat berbeda sekali. Bea terlihat ekstrovert sementara Devano benar benar introvert. Perbedaan itu justru membuat mereka seperti menemukan teman yang selama ini mereka cari. Mereka sering bertemu di taman komplek rumahnya. Pertemuan mereka juga selalu di atas jam dua belas malam. Karena tidak ingin orang tua mereka tahu. Mereka membahas apapun yang mereka suka. Devano juga menjadi banyak berbicara ketika bersama Bea. Mengungkapkan semua yang ia rasa kepada Bea. Karena Bea bisa menjadi pendengar yang baik. Terkadang mereka juga belajar bersama. Bea hanya akan belajar jika ada ujian saja. Bea sangat senang sekali mendapatkan nilai ujian yang tinggi karena Devano yang mengajarkannya. Hal itu membuat Bea ingin sekali memberikan hadiah kepada Devano karena ia senang mendapatkan nilai yang bagus. Akhirnya Devano ingin meminta sebuah hadiah yaitu sebuah permintaan. Permintaan Devano sangatlah mudah bagi bea. Devano ingin sekali satu hari saja pergi ke pantai. Selama sehari penuh. Dari pagi sampai malam hari. Karena selama ini hari hari Devano penuh kesibukan belajar. Bea menyetujui itu dan berjanji akan mengabulkan permintaan itu. Bea berusaha untuk berbohong kepada orang tua Devano. Bea berbohong akan ada acara perkemahan khusus di sekolahnya dan Bea berhasil berbohong kepada mama dan papa Devano. Mereka berdua akhirnya menikmati suasa pantai yang indah sampai malam hari. Malam harinya Devano pulang dan orang tuanya sama sekali tidak curiga. Hingga keesokan harinya Devano sakit. Orang tuanya menjadi sangat marah sekali. Karena Devano sakit. Itu menyebabkan Devano tidak bisa mengikuti lomba matematika tingkat nasional. Mama papa Devano marah hingga mereka tahu penyebab semuanya itu adalah karena Bea. Anak badung yang satu kelas dengan Devano. Devano akhirnya pindah ke sekolah baru atas keinginan orang tuanya. Sementara Bea merasa terpukul sekali karena berpisah dengan teman seperti Devano. Tapi perpisahan itu justru membuat keduanya menjadi lebih baik. Devano yang awalnya tidak bisa menolak keinginan orang tuanya. Kini Devano berhasil menjadi dirinya sendiri. Itu semua karena motivasi dari Bea saat dulu sekolah SMA. Sekarang Devano menjadi seroang fotografer internasional yang jasanya sangat mahal. Sementara Bea kini menjadi sangat pintar sekali. Ia menjadi menteri luar negeri.

Bab 1 SEKOLAH MENYEBALKAN

"Devano hari ini ada les matematika! Kamu nggak boleh telat pulang sekolah!"

"Iya Pah, Devan ngerti," jawab Devan sambil makan roti selai kacang dengan lahap.

"Oh ya, sore juga jangan lupa ya ada sekolah model. Kamu harus berangkat Devan!" tegas sang mama yang sibuk dengan ponselnya.

"Papah pergi dulu ya Devan, belajar yang bener ya di sekolah!" kata papa lalu pergi dari ruang makan sambil membawa ponselnya.

Sementara sang mamah juga sudah selesai dengan makanannya dan bersiap untuk berangkat ke kantor.

"Ayo cepat selesaikan makanan kamu Devan. Jangan sampai terlambat sekolah!" kata mamah lalu mencium pipi Devan dengan singkat.

Devan kini sendirian di ruang makan. Seperti biasa pada pagi setiap hari. Ia mendengus kesal dan membawa tas miliknya sambil pamit kepada bi inem asisten rumah tangga.

Devan keluar dari rumah menggunakan mobil miliknya. Ia kelas tiga SMA, sudah memiliki mobil pribadi. segera saja Devan melaju dengan cepat agar tidak terlambat ke sekolah. Wajahnya terlihat datar. Ada rasa kebencian yang tak bisa di ungkapkan di dalam hatinya.

Sampai di sekolah pelajaran pertama adalah matematika. Sungguh Devan sama sekali tidak menyukai pelajaran ini. Ia hanya di tuntut orang tuanya saja untuk mendapatkan nilai yang bagus.

"Hari ini bapak mau ngumumin nilai matematika," kata seorang guru matematika dengan tegas.

"Duh, nilai gue berapa nih," ucap Riri cemas yang duduk di belakang Devan.

"Ah, Lo mah nggak usah khawatir. Pasti lo dapet nilai 90 atau nggak 80. Gue nih yang cemas. Gue pasti dapet nilai lima deh, duh bego banget sih gue," kata Zahra dengan wajah cemberut.

"Berisik banget sih di belakang," ucap Devan dengan kesal di dalam hatinya. Ia menyangga dagunya dengan telapak tangannya sambil memperhatikan guru matematika.

"Bapak mau ngumumin nilai terbaik di kelas kita," kata pak Suryo sambil mencari kertas lembaran di atas meja.

"Nilai terbaik ulangan kemarin adalah Riri Alisa Ningrum,Selamat ya Riri. Mana Riri?" tanya pak Suryo guru paling tua di antara semua guru sekolah.

"Hah? Kok bisa? Kenapa bukan gue?" tanya Devan dengan bingung di dalam hatinya. Wajahnya terlihat panik sekali. Beberapa siswa melihat Devan sambil berbisik bisik.

"Tumben banget ya, Devan nggak dapet nilai terbaik. Biasanya dia selalu dapet nilai terbaik ulangan matematika,"

"Iya nih aneh banget,"

"Liat aja tuh mukanya keliatan cemas banget. Kasihan banget ya,"

Devan mendengar itu. Ia sangat muak sekali. Ia tidak bisa terima jika harus menerima kekalahan seperti ini.

"Pak ini Riri pak. Duduk di pojokan!" Seru Zahra sahabat Riri.

"Duh, gue malu nih mau maju ke depan," kata gadis berkulit putih dengan bibir merah alami. Ia terlihat bahagia sekali sekaligus malu.

"Udah buruan sana. Tuh pak Suryo udah nungguin," bisik Zahra sambil mendorong lengan Riri.

"Ayo Riri! Maju ya, nih bapak ada hadiah untuk kamu," kata pak Suryo dengan ramah.

Riri berjalan ke depan dan saat itu tatapan Devan sangat menyeramkan sekali melihat punggung Riri yang ada di depan sana.

"Nih, seperti biasa. Bapak kasih pulpen untuk siswa yang bisa dapet nilai terbaik ulangan matematika," kata pak Suryo sambil menyerahkan pulpen dengan warna emas itu.

"Ya meskipun pulpen itu harganya nggak berapa. Tapi anggap saja itu pulpen emas beneran ya," kata pak Suryo tertawa membuat beberapa murid tertawa sambil menutup mulutnya.

"Terimakasih banyak pak Suryo," kata Riri menunduk sopan sambil menerima hadiah pulpen.

Saat istirahat pertama telah berlangsung. Riri dan Zahra sedang makan di kantin dengan lahap.

"Lucu banget ya pak Suryo. Ngasih hadiahnya kaya gini," kata Riri sambil melihat pulpen yang di pegangnya.

"Ya buat kenang kenangan deh, kalau kita udah nggak di sini lagi. Itu pulpen bagus tau sebenernya. Kaya kuno kuno gitu kan konsepnya," kata Zahra sok tau melihat warna gold pulpen itu.

"Iya keliatan simpel tapi warnanya bagus juga. Nanti gue pajang di kamar gue deh," kata Riri dengan bangga.

"Kok, tumben banget sih lo bisa ngalahin Devan. Baru kali ini loh! Lo belajar sistem kebut semalam ya?" Kata Zahra tertawa tapi sayangnaynia malah tersedak dan batuk batuk.

"Makannya jangan sok tahu jadi orang. Nih minum nih," gadis dengan kuncir kuda itu memberikan gelas berisi air putih kepada sahabatnya.

"Iya soalnya aku pengin lebih bagus aja nilainya di banding Devan. Masa Devan terus sih yang nilainya bagus. Bosen dong. Gue juga bisa kali," kata Riri dengan sombongnya tersenyum di depan Zahra.

Sementara itu Devan yang berada di pojokan meja kantin itu tahu bahwa Riri dan Zahra pasti sedang bergosio tentang dirinya.

"Sial, gue nggak bisa ngebiarin Riri mendapatkan nilai yang lebih baik dari gue. Gue harus kasih pelajaran ke dia," kata Devan dengan tegas. Ia berdiri dengan cepat meninggalkan bakso di atas meja. Berjalan menuju ke meja Riri dan Zahra.

"Kayaknya ada yang seneng banget nih dapet nilai paling bagus di kelas. Sukses banget yah nyonteknya. Itu contekan pasti di selipin di bagian yang orang nggak bisa liat, heh dasar cewe emang Pinter banget nyonteknya," kata Devan cowo dengan hidung mancung dengan kulit sawo Mateng itu.

"Eh, lo apaan sih? Lo nuduh gue nyontek heh?" tanya Riri dengan geram mendongak sambil mendelik ke wajah Devan.

"Ya nggak mungkin lah Lo bisa ngalahin due. Sejak kapan ada yang bisa ngalahin nilai seorang Devano. Kalau Lo bisa ngalahin gue. Itu udah pasti lo nyontek pas ulangan matematika!" ucap devan dengan geram sambil menatap dengan sinis kepada Riri. Ia tidak peduli bahwa yang di depannya itu seorang perempuan.

"Weh, kurang ajar banget sih lo! Nuduh sembarangan aja!" kata Zahra mendorong lengan atas Devan dengan keras.

"Gue yang duduk di samping Riri dan dia itu nggak nyontek sama sekali! Kalau emang Lo kalah dari Riri ya udah terima aja! Nggak usah nuduh Riri sembarangan. Dasar cowo aneh! Kenapa tiba tiba Lo bisa ngomong heh! Biasanya lo juga diem aja di sekolah kaya orang bisu! " ucap Zahra dengan berani. Hal itu membuat Riri takut jika Devan akan marah dan memukul Zahra.

"Udah udah Zah, kita pergi aja dari sini," ucap Riri sambil menarik tangan Zahra dengan cepat. Mereka berdua meninggalkan Devano yang mematung sambil menatap kosong. Hatinya begitu sesak sekali. Ia ingat betul kalimat yang di ucapkan oleh Zahra. Bisu? Siapa yang bisu selama ini? Jadi selama ini Devano seperti cowo Bisu di mata Zahra? Sependiam itukah Devano di sekolah?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Aurora langit malam

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku