Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Bidadari di dalam Rumahku

Bidadari di dalam Rumahku

Ida Nur Khasanah

5.0
Komentar
4.8K
Penayangan
108
Bab

Kinan--namaku seorang wanita karir yang punya satu orang anak dan suami yang sangat aku sayangi. Awalnya hidup kami bahagia, namun semua berubah ketika suamiku mengatakan, "Sayang, aku mau menikah lagi," ucapnya. "Menikah? Kenapa harus menilai lagi, sayang?" Aku tidak percaya ini bagaikan mimpi. "Maaf, aku ingin punya istri shalehah yang menutup auratnya, istri yang bisa membimbing aku ke jalan Allah SWT," Sebuah kalimat yang menyinggung sekaligus menyakitkan. Bagaimana aku menjalani hidup bersama maduku?

Bab 1 Pernikahan Suamiku

Ku lihat rona bahagia diwajah suamiku, begitu juga dengan khasanah. Wanita itu tampak ramah saat berbicara dengan para tamu. Ibu mertua terlihat sedih saat melihatku menatap kebahagiaan suamiku dengan wanita lain.

"Kinan, sabar ya," ucap ibu mertua. "Kita doakan Arfan menepati janjinya." Aku sendiri tidak yakin jika Mas Arfan bisa menepati janjinya.

Banyak orang yang menggunjingkan aku karena terlalu bodoh dengan mau dimadu. Namun, aku sendiri tak tahu sampai kapan aku kuat dengan penderitaan ini.

Malam pengantin Ana dan Mas Arfan membuatku berderai air mata. Siapa yang ikhlas berbagi suami. Padahal hati ini sakit dengan keadaan ini.

Pagi itu ku lihat rambut basah Mas Arfan. Aku tahu dia dan Ana pasti sudah melakukan hubungan suami istri.

"Kinan, kamu kenapa?" tanya Mas Arfan.

"Tidak, Mas. Akh baik-baik saja," jawabku.

Ku lihat Ana melayani Mas Arfan dia mengambilkan makanan untuk Mas Arfan. Ada rasa perih di hati yang aku tahan.

Aku berangkat kerja sekaligus mengantar anakku sekolah. Di dalam mobil Kiara terlihat murung.

"Ma, apa Kiara akan kehilangan papa? Sama seperti mama?" tanya Kiara.

"Anak manis, kamu tenang saja. Kita gak akan kehilangan papa meskipun papa menikah lagi," jawabku.

"Mama pasti sakit hati melihat kemesraan papa dan Tante Ana," kata Kiara.

"Sayang, panggil dia Mama Ana, dia mama kamu juga," kataku.

Sudah sampai di sekolah Kiara, dia segera turun dan melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum padanya, meskipun hatiku sakit aku harus terlihat tegar di mata anakku.

Sampai di kantor banyak sekali yang menggunjingkan aku. Terlebih masalah poligami yang suamiku lakukan saat ini.

"Tuh Kinan, masih aja dia berusaha tegar padahal aku yakin dia sakit hati," bisik salah seorang perempuan.

Aku hanya bisa berjalan melewati mereka dan berusaha untuk tidak menghiraukan apa yang mereka katakan.

Selama bekerja, aku tidak konsentrasi. Pasalnya hari ini Mas Arfan cuti dan dia berada di rumah berdua dengan Ana.

"Mbak Kinan, Kiara biar kami yang jemput ya. Kami ingin mengajak Kiara jalan-jalan," pesan dari Ana di ponselku.

"Iya, hati-hati kalau jalan-jalan," balasku.

Ada rasa sesak di dada mendengar anak dan suamiku akan jalan bersama dengan Ana. Aku tidak fokus bekerja, hingga berkali-kali aku melihat jam di tangan berharap segera sore dan aku ingin segera pulang.

Erina masuk ke ruanganku, dia membawakan aku makanan. Saat makan siang tadi aku tidak ke kantin demi menghindari gunjingan orang lain.

"Jangan lupa makan! Kamu udah ambil keputusan mau di poligami. Jadi ya kamu harus siap dengan segala resikonya," kata Erina.

"Kamu benar tapi semua butuh proses," kataku.

Aku makan makanan yang Erina bawa untukku. Aku makan sambil memainkan ponselku. Ku lihat story Mas Arfan sedang pose foto dengan Khasanan dan Kiara.

Tiba-tiba nafsu makanku hilang. Aku gak nyangka Mas Arfan dengan mudah mengumbar hubungannya dengan Ana meskipun mereka pasangan sah.

"Kok gak di makan," kata Erina. Aku memperlihatkan story Mas Arfan pada Erina."pantas kamu gak nafsu makan lagi," komentar Erina.

Sore itu aku segera pulang, sampai di rumah ku lihat Ana, Kiara dan Mas Arfan bercengkrama di ruang keluarga. Melihat kebersamaan mereka hatiku sakit. Aku merasa Ana telah mengambil anak dan suamiku.

Aku masuk ke dalam kamar, mengunci dan menangis sendiri. Sementara Mas Arfan terdengar tertawa bahagia di ruang keluarga bersama Ana.

Aku segera mandi, ku dengar pintu di ketuk. Aku yang baru selesai ganti baju membuka pintu.

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Mas Arfan.

"Harusnya kami tahu apa yang aku rasakan, Mas. Tidak mudah menerima apa yang kamu lakukan padaku," jawabku.

"Sayang, bukannya kita udah sepakat. Dan aku akan berusaha untuk adil," kata Mas Arfan.

"Adil? Kamu dan Ana jalan-jalan saat aku sibuk kerja apa itu adil? Bahkan kamu dengan mudah mengumbar kemesraan di media sosial," bantahku.

"Jadi kamu cemburu?" tanya Mas Arfan.

"Iya, aku cemburu. Apa itu tujuanmu memperlihatkan kemesraan kalian?" tanyaku. "Aku merasa Ana telah berhasil mengambil semua yang aku punya suami dan anakku," kataku.

Mas Arfan memelukku, ku tumpahkan tangisku dalam pelukan Mas Arfan. Aku benar-benar takut kehilangan keluargaku.

"Percayalah, kamu akan tetap wanita nomor satu di hatiku sampai kapanpun itu," kata Mas Arfan.

Kami lalu keluar dari kamar, Kiara langsung memelukku. Dia menceritakan saat jalan-jalan tadi.

"Kiara suka jalan-jalan, Ma. Nanti kita pergi lagi sama mama juga," kata Kiara.

"Iya, sayang," ucapku tersenyum.

Ku lihat Ana ikut tersenyum, kami berempat duduk santai sambil menunggu waktu magrib tiba. Setelah itu kami salat berjamaah di imami Mas Arfan. Setelah salat Ana mengajak kami mengaji. Saat Ana membaca ayat suci Al-qur'an aku melihat Mas Arfan menatapnya dan tersenyum.

Perbedaan antara aku dan Ana hanya dalam urusan agama saja. Ana memang sangat fasih membaca al qur'an. Namun soal mengurus anak dan suami aku juga bisa.

"Wah suara kamu bagus sekali Ana," puji Mas Arfan.

"Terima kasih, Mas," kata Ana.

Selama satu jam kami mengaji, Ana beberapa kali membenarkan bacaanku dan Mas Arfan. Aku sadar Ana memang tidak terkalahkan soal agama. Hanya saja aku merasa tidak suka jika Mas Arfan memuji dia di depanku.

Selesai salat isyak aku membatu Bibik menyiapkan makan malam. Ku lihat Ana menyusul kami di dapur.

"Makasih, Na. Kamu udah ajari aku dan Mas Fahri mengaji. Terlebih lagi pada Kiara," kataku.

"Sama-sama, Mbak. Kan tujuan Mas Fahri memang itu saat menikahiku," ucap Ana.

Kamu makan malam bersama, hanya bunyi sendok yang terdengar. Aku melihat Ana menawarkan makanan lagi untuk Mas Arfan tetapi di tolak.

Aku langsung masuk ke kamar Kiara, aku membantu dia untuk mengerjakan tugas sekolah. Tadi ku lihat Ana dan Mas Fahri duduk di ruang keluarga berdua.

"Mama, kalau nanti mama Ana hamil. Apa mama Ana masih sayang sama Kiara seperti saat ini?" tanya Kiara.

"Loh kok tanya kayak gitu ke mama, harusnya Kiara tanya ke mama Ana. Kalau mama yang hamil lagi sih mama gak akan lupakan Kiara, kan Kiara anak mama juga," jawabku.

Selesai membantu Kiara belajar, aku menidurkan Kiara. Setelah Kiara tidur aku masuk ke dalam kamarku. Berharap malam ini Mas Arfan tidur bersamaku.

Namun, sudah dua jam aku menunggu Mas Arfan dan tidak kunjung datang. Aku memutuskan untuk tidur saja. Aku kira setelah semalam jatah bersama Ana malam ini bersamaku. Namun, aku salah.

Pagi itu, Mas Arfan masuk ke kamarku.

"Kinan, maaf Mas semalam ketiduran di kamar Ana," kata Mas Arfan. "Semalam aku dipijit Ana, malah aku ketiduran," kata Mas Arfan.

"Iya, Mas. Aku gak apa-apa," kataku.

Aku keluar dari kamar dan menyiapkan sarapan. Tidak berapa lama aku lihat Ana keluar dari kamar.

"Maaf ya baru bisa bantuin," kata Ana.

Aku hanya tersenyum, ku lirik rambut panjang Ana di balik jilbabnya. Ternyata rambutnya basah. Begitu juga dengan Mas Arfan rambutnya juga basah.

Sakit, sungguh sakit tiap hari melihat rambut mereka basah.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Ida Nur Khasanah

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku