Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Farhan baru saja turun dari motor adventure-nya. Narto menghampirinya, lalu menganggukkan kepala sambil membungkukkan badannya sekilas.
"Baru pulang, Mas?" Narto tersenyum ramah dan gerak tubuhnya terlihat sangat sopan.
"Iya, Mas." Farhan membalas basa-basi Narto.
"Kalau Mas tak keberatan, kita ngopi dulu, Mas. Ada hal penting yang mau saya sampaikan." Sikapnya masih sangat sopan, tetapi ada mimik serius di wajahnya.
"Ada apa, Mas?" Farhan belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia berusaha menerka apa yang akan disampaikan Narto.
Lelaki sopan di hadapannya itu hanya terpaut satu tahun lebih muda darinya yang sudah berumur 40 tahun. Saat itu, dia hanya menumpang tinggal di paviliun rumah Narto dan membantunya mengelola seluruh pekerjaan sawah dan kebun milik Narto.
"Saya mohon, Mas Farhan tak keberatan," mohon lelaki itu sambil membungkukkan badannya lagi.
Sebagai orang Sumatera, Farhan tidak terbiasa dengan laku sopan seperti itu. Dia sadar sikapnya kalah sopan jika berhadapan dengan kesopanan keluarga Narto dan penduduk sekitar yang bersuku Jawa.
"Baik, Mas." Farhan menyetujui permintaan Narto lalu mengikutinya ke ruang tamu rumah utama.
Rumah itu terbilang besar untuk ukuran masyarakat desa di kaki bukit itu. Penduduk di situ banyak yang kehidupannya sangat sederhana dengan rumah-rumah kayu. Rumah Narto tampak berbeda dengan dinding dari batu dan ukuran yang lebih besar dari rumah-rumah lainnya. Kakek buyutnya adalah orang yang pertama tinggal di daerah itu dan mempunyai tanah yang luas di sana.
"Buuu ...." Narto memanggil Surti, istrinya.
Tak lama, keluar perempuan dengan kulit sawo matang dan bertubuh sintal. Tubuhnya padat dengan dibalut kain kebaya khas orang Jawa tradisional. Tingginya sedang dan badannya tampak terawat meskipun dia adalah perempuan kampung. Sikapnya tak kalah sopannya dengan suaminya.
Meski sebagian besar orang Jawa sudah berpakaian modern, tetapi di desa itu mereka masih berpakaian tradisional dan tampak agak kuno. Baik lelaki maupun perempuannya masih bertahan dengan segala tradisi Jawa termasuk cara mereka berpakaian.
"Tolong buatkan kopi, Bu!" perintah suaminya, lalu dengan cepat disambut dengan anggukan di kepalanya. Dengan tubuh agak membungkuk dan tangan kanan diturunkannya, dia berbalik ke dalam.
"Tampaknya ada hal serius yang Mas Narto ingin sampaikan." Farhan sudah tak sabar ingin menebus rasa penasarannya.
"Nggih, Mas," jawab Narto sambil menganggukkan kepalanya. Tampangnya menyiratkan bahwa dia sedang mencari kata yang tepat untuk menyampaikan keinginannya.
"Tentang sawah atau kebun?" tanya Farhan memancing karena melihat Narto tampak kesulitan untuk memulai.
"Bukan, Mas. Ada hal pribadi yang ingin saya sampaikan," jawab Narto.
"Silakan, Mas."
Farhan semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan Narto. Dia berusaha menerka-nerka apa yang hendak dikatakan Narto, tetapi tak mendapatkan petunjuk dalam pikirannya.
"Begini, Mas. Sebelumnya, saya mohon maaf." Narto mulai mengawali omongannya.
"Saya ada permohonan pada Mas Farhan. Saya tahu permohonan ini terlalu berlebihan, tapi setelah saya pikir-pikir, tak ada salahnya saya mencoba mengutarakannya." Narto berusaha mulai menyampaikan maksudnya dengan hati-hati.
"Ya, gak apa-apa, Mas. Katakan saja. Siapa tahu saya bisa memenuhinya," jawab Farhan.
"Mas tahu bahwa Kirana, putri tunggal kami, sudah dewasa. Dia sudah berumur 21 tahun. Para perempuan di desa ini, biasa menikah sejak remaja. Kirana tergolong perawan tua di desa ini. Dengan kekurangannya, tak ada lelaki yang mau menikahinya." Narto tertunduk dan berhenti sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.
Farhan mulai menerka lagi apa yang diinginkan Narto untuk putrinya. Gadis itu cantik meskipun dia tuna rungu. Di mata Farhan, Kirana gadis yang sopan dan rajin membantu orang tuanya. Tatapan mata gadis itu menunjukkan kecerdasan meski dia hanya mengenyam pendidikan sampai lulus SMA. Gadis itu terpaksa bersekolah di sekolah biasa karena sekolah luar biasa hanya ada di kota.
"Lalu, apa rencana Mas?" tanya Farhan.
"Saya mohon agar Mas Farhan mau mempersunting anak kami," tukas Narto sambil membungkukkan badannya lagi pertanda memohon dengan hormat.
Meski sudah bisa menduga arah omongan Narto, Farhan cukup kaget dengan permintaan itu. Tak pernah dia menyangka sebelumnya bahwa seorang duda sepertinya dimohon untuk menikahi seorang gadis muda yang cantik seperti Kirana.
Melihat sikap Farhan yang terdiam tanpa langsung menjawab, Narto merasa tak enak. Dia menduga bahwa permohonannya telah menyinggung perasaan Farhan.
"Maaf, Mas, kalau perkataan saya menyinggung perasaan Mas Farhan. Saya sadar kalau permohonan saya kelewatan." Narto bangkit dari tempat duduknya lalu duduk bersimpuh di hadapan Farhan. Dia telah merendahkan dirinya.
Farhan masih terdiam ketika Surti datang membawakan dua cangkir kopi dengan pisang goreng. Melihat suaminya bersimpuh di hadapan Farhan, diletakkannya suguhannya di meja, lalu dia ikut bersimpuh di samping suaminya. Dia sudah mendengar dari dalam apa yang dimohonkan suaminya pada Farhan.
"Mas, saya jadi tak enak melihat Mas dan Mbak bersikap begini." Farhan menjadi canggung diperlakukan dengan penuh hormat oleh sepasang suami-istri itu di rumah mereka sendiri.
"Mas, Mbak, saya ini belum lama bercerai dengan istri saya. Tentu Mas dan Mbak masih ingat dengan cerita saya ketika setahun lalu saya datang ke sini untuk tinggal di sini. Saya sangat terluka dengan perkawinan saya sebelumnya makanya saya rela membuang diri ke desa ini. Maaf, saya belum mau menikah lagi." Farhan berusaha menjelaskan jawabannya.
"Apakah karena putri kami tuna rungu hingga Mas Farhan tak sudi menikahinya?" tanya Narto.
Farhan merasa tak enak dengan pertanyaan itu. Dia sungguh tak bermaksud demikian. Rasa sakit karena perceraiannyalah yang menjadi alasannya belum mau menikah lagi.
"Bukan begitu, Mas. Saya belum siap," jawab Farhan hati-hati.