Kaivan menikah lagi. Ini baru diketahui Sarah setelah melihat alat tes kehamilan di meja kamarnya. Sarah merasa dikhianati dan dibohongi. Tujuh tahun bersama ternyata tak membuat Kaivan setia padanya. Satu hal yang lebih menyakitkan lagi adalah Sarah mengenal siapa sosok wanita yang menjadi madunya. Tiga tahun lalu Sarah mengalami keguguran yang mengakibatkan dirinya harus kehilangan janin dan juga rahimnya. Sejak itu dirinya mengalami gangguan mental dan sering mengamuk tak jelas. Bahkan, dia juga sering membuat kontroversi yang mengakibatkan karir politik suaminya hancur. Tidak hanya itu saja, Sarah juga sering mengancam semua orang yang mendekati suaminya selain Hani seorang wanita muda yang ia percayakan membantu tugas suaminya di kantor. Namun ia salah langkah, wanita yang ia percayai ternyata malah menikamnya dari belakang. Hani diam-diam menikah dengan suaminya tanpa sepengetahuan darinya. Sarah membenci wanita itu hingga ia berniat jahat dan ingin menghancurkannya. Hari demi hari ia habiskan untuk merencanakan kejahatan. Mulai dari meracuni, menjatuhkannya ke kolam air hingga menyabotase kendaraannya agar terjadi kecelakaan. Hani yang pendiam pun berubah menjadi jahat karena emosinya yang terpendam selama ini. Ia pun membalas semua rasa sakit hatinya hingga akhirnya Kaivan harus turun tangan. Apa yang harus Kaivan lakukan agar kedua istrinya berdamai? Apakah ada perceraian antara mereka?
Jantung Sarah berdebar kencang saat lembaran tipis itu dibukanya. Tulisan merah di dalamnya mampu membuat tangan dan tubuhnya bergetar. Matanya pun akhirnya tak mampu membendung butiran bening yang turun melintasi pipinya. Hatinya ragu saat membaca lembaran itu. Lembaran yang akan menghancurkan rumah tangganya kelak.
"Tidak, tidak mungkin." Sarah meracau.
Dihentakkan kakinya melangkah menemui sang suami yang kini tengah duduk manis di meja ruang makan. Tak lupa ia membawa lembaran itu dan membuangnya tepat di wajah Kaivan.
"Ini apa, mas?" tanya Sarah tepat saat kertas itu terlempar mengenai wajah suaminya.
Kaivan yang sadar hal ini akan terjadi hanya bisa menatap datar lembaran itu lalu mengacuhkannya. Bibirnya tersenyum sinis, mengejek setiap helaan napas kesal yang Sarah coba tunjukkan.
"Menurutmu?"
Hanya itu kalimat yang keluar dari dalam mulut Kaivan.
Sarah meradang. Bibirnya siap meluncurkan sejuta kalimat sakti cercaan dan makian untuk suaminya yang telah melecehkan kehormatannya sebagai seorang istri. Sarah mendorong bahu Kaivan agar pria itu sadar akan kesalahannya dan meminta maaf padanya.
"Mas selingkuh?" teriak Sarah.
Bukan kali pertama ini Sarah berteriak kencang pada suaminya. Sudah ratusan kali bahkan tak terhitung. Sejak awal pernikahan, Sarah tak pernah berlaku manis sedikitpun. Apa yang dilakukan Kaivan selalu salah di matanya.
Kaivan muak dengan perlakuan kasar Sarah hingga membuatnya lepas kendali. Ia membanting sendok dan mendorong piring berisi nasi goreng ke pinggir meja hingga terjatuh dari sudut dan isinya berantakan.
Kaivan berdiri lalu menunjuk wajah Sarah dan mendorong dahinya dengan telunjuk kanan. Ini baru pertama kalinya. Kaivan pun membalas teriakan Sarah dengan ucapan yang amat menohok. "Selingkuh? Buat apa aku selingkuh?"
"Ini apa? Ini bukti nyatanya." Sarah kembali menunjukkan kertas itu. "Sekarang kamu sudah berani berlaku tidak sopan padaku. Apa ini karena wanita lain?"
Kaivan melepas telunjuknya dari dahi Sarah. Matanya menatap tajam Sarah dan seolah memberi petunjuk agar istrinya tunduk mendengarkan cerita darinya.
"Aku sudah menikah dengan wanita yang kamu sebut selingkuhan. Namanya Hani. Aku dan dia sudah menikah satu tahun yang lalu dan saat ini dia sedang mengandung anakku. Puas dengan jawaban dariku?" Kaivan menantang Sarah. Seringai kecil membentuk lengkungan di bibirnya membuat pria itu serasa di atas angin. Ia berhasil membuat Sarah terdiam.
"Menikah?" Sarah bergumam pelan. Pandangannya tiba-tiba melunak dan menatap nanar isi kertas tipis itu. Kaivan sudah tak peduli, nyatanya Sarah sering seperti ini jika menginginkan sesuatu darinya.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Kaivan. Sarah menggeleng. Kepalanya tertunduk dan dalam sekejap ia menangis sesenggukan lalu menutup matanya dengan tangan.
Kaivan mengerutkan dahinya. Tangannya terangkat ingin memeluk Sarah tapi diurungkan karena di dalam pikirannya, pasti ini drama picisannya lagi.
"Kamu serius?" tanyanya lagi. Kaivan mengangguk. "Kenapa kamu lakukan ini padaku?"
"Aku butuh keturunan. Kamu tidak bisa beri aku keturunan sampai saat ini," jawabnya lantang. Sarah tak terima dan kini menaikkan wajahnya pada Kaivan untuk menantangnya kembali.
"Keputusan dokter kan belum final. Aku masih bisa usaha," pekik Sarah kesal.
"Usaha? Sarah dengarkan aku, rahim kamu sudah tak berfungsi normal. Aku bahkan tidak tahu apa yang kamu lakukan di masa lalu hingga dokter harus mengangkatnya sebagian. Kalau kamu tidak terima, ya sudah kamu angkat kaki dari rumah ini dan kembali menggelandang seperti sepuluh tahun yang lalu," ucapnya final.
Sarah meneteskan lagi air matanya. Ia tak percaya suami yang ia cintai akan berbuat sekejam ini dan menyuruhnya pergi. Kaivan tak peduli dengan tangisan Sarah. Ia menyambar ponsel dan jasnya lalu berjalan keluar rumah dengan santai. Sarah mengikutinya hingga ke halaman. Ia juga menghadangnya hingga Kaivan mengernyitkan dahi karena ulah konyol istrinya.
"Kaivan..." ujarnya sesenggukan. Kaivan tak bergeming.
"Apalagi yang kau inginkan, Sarah? Aku sudah muak dengan semua drama yang kamu buat. Dengar, aku tak akan menuruti semua keinginan kamu kali ini," tegasnya sekali lagi. Kaivan mendorong kasar tubuh Sarah hingga jatuh tersungkur ke tanah.
"Kamu kejam," ujar Sarah pelan. Tangisannya tambah kencang. Dua orang tetangga yang kebetulan lewat di depan pagar rumah mereka turut menjadi saksi adegan tadi. Layaknya sinetron, mereka berbisik-bisik lalu memandang Kaivan dengan sinis dan akhirnya pergi setelah dipelototi.
Kaivan menoleh ke belakang dan tak berniat menolong Sarah sama sekali. Biarlah Sarah merenung akan kesalahannya kali ini, pikirnya. Lima tahun berumah tangga dengannya, membuat Kaivan hafal atas drama dan emosinya yang kerap meledak-ledak.
Kaivan menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Tak lama setelah itu, suara deringan telpon menyapa indera pendengarannya. Kaivan melirik lalu tersenyum saat tahu siapa yang menghubunginya.
"Ya sayang, Mas lagi di jalan. Kamu bawa sarapan kan? Nanti kita makan di ruangan aku saja." Kaivan tersenyum saat suara di ujung sana terdengar merdu mengalun di telinganya. Suara Hani, istri kedua Kaivan yang juga merangkap sekretaris dan asisten pribadinya.
"Aku bawa dua, Mas. Hati-hati bawa kendaraannya. I love you," jawab Hani menutup panggilannya.
Hati Kaivan menghangat. Ini yang sebenarnya ingin ia rasakan sejak dulu. Istri yang lemah lembut dan jarang berteriak di depan suaminya. Selalu tahu apa yang suaminya butuhkan.
"I love you too," jawab Kaivan. Matanya berbinar-binar, sejenak ia mulai merasakan energinya kembali lagi setelah tadi pagi ada pertikaian kecil di rumah.
Tak sampai satu jam, Kaivan pun tiba di kantornya. Raut wajah bahagia dan senyuman manis di bibirnya menjadi pertanda suasana hati Kaivan telah membaik. Karyawan yang melihatnya pun mengembus napas lega. Mereka percaya, ini semua karena kehadiran Hani yang berhasil mengubah hari-hari sang pemilik perusahaan.
"Good morning, my lovely wife," sapa Kaivan yang baru saja masuk kedalam ruangannya. Hani menoleh. Senyumannya mengundang pelukan dari Kaivan serta kecupan hangat di dahinya.
"Good morning, my lovely husband. Nyenyak tidurnya?" Hani melepas pelukan suaminya. Matanya tertuju pada kantung mata dan tatapan sayu yang membuat Kaivan terlihat sedikit lelah. Tangannya menyisir lembut rambut hitam Kaivan yang membentuk koma.
"Seperti yang kamu lihat. Aku rindu kamu, sayang. Nanti malam aku pulang ke rumahmu, ya." Kaivan kembali memeluk Hani dan mencuri satu ciuman di bibir merekahnya.
"No. Kita kan sudah sepakat kalau minggu ini jadwal di rumah Mbak Sarah,"ujar Hani mencoba mengingatkan suaminya.
Kaivan meletakkan jarinya di bibir Hani. Memotong kalimatnya yang menyebut nama Sarah. Kaivan memeluk kembali Hani sekaligus memberikan usapan lembut di punggungnya.
"Maaf. Mas tadi malam sengaja taruh lembaran hasil USG kamu di meja kamar. Dia melihatnya dan mengamuk," ujar Kaivan yang akhirnya membuat Hani membelalakkan matanya. Ia mendorong bahu Kaivan. Matanya sedikit berair. Ia kecewa sekaligus takut, bahkan bibirnya ikut bergetar. "Tidak ada jalan lagi, lambat laun dia juga akan tahu," tambahnya.
"Mas, aku belum siap kalau seandainya Mbak Sarah datang dan mencaci maki aku," protes Hani.
Mata Kaivan menyorot kebingungan Hani. Wajar, karena Hani sadar akan posisinya yang serba salah. Mengaku ataupun tidak, tetap saja ia yang disalahkan nantinya.
"Kalau dia marah, hadapi sama-sama." Kaivan menenangkan Hani yang masih ketakutan. "Ada aku."
"T-tapi Mas?"
"Percaya sama Mas, kan?" tanya Kaivan yang mendapat anggukan dari Hani. "Kita jalani bersama. Toh, kita sudah resmi secara agama. Kita tidak berzina, tidak selingkuh walau cara kita salah."
"Aku percaya," ujar Hani menundukkan kepalanya. Kaivan tersenyum hangat lalu mengusap kepala dan perut istrinya yang masih rata.
"Aku sayang kamu."
Bab 1 Awal kehancuran
12/07/2022
Bab 2 Tertunduk minta maaf
12/07/2022
Bab 3 Menemui si penganggu
12/07/2022
Bab 4 Menuju satu rumah
15/07/2022
Bab 5 Ancaman Sarah
15/07/2022
Bab 6 Sakit hati Sarah
16/07/2022
Bab 7 Awal pembalasan
16/07/2022
Bab 8 Hujatan
17/07/2022
Bab 9 Cemburu keduanya
17/07/2022
Buku lain oleh Rachel bee
Selebihnya