Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ternyata Aku Istri Kedua

Ternyata Aku Istri Kedua

Elyna Nandar

5.0
Komentar
7.2K
Penayangan
32
Bab

Rania, membuntuti suaminya, ketika berpamitan untuk bertugas, namun nyatanya, bukan tugas kerja yang ia jalankan, melainkan, ia pergi kerumah perempuan lain. Rania menyaksikan sendiri, bagaimana hangatnya pertemuan mereka, tampak dari sorot matanya, begitu memancarkan kebahagiaan. Siapa wanita dan anak laki-laki itu? Apa hubungannya dengan Arya suaminya.

Bab 1 Foto Mas Arya dengan perempuan lain

Foto Mas Arya dengan perempuan lain bab 1

[Rania, bukankah itu suamimu] whatsapp masuk dari sahabatku Intan. Alisku bertaut, apa maksudnya ia berkata demikian. Belum sempat aku mengetik balasan untuknya, ia sudah lebih dulu mengirimkan sebuah pesan lagi, tapi kali ini ia mengirimkan sebuah foto.

Ia mengirimkan sebuah foto seorang laki-laki, tengah bersama seorang perempuan cantik, dan anak laki-laki berusia sekitar sembilan tahunan, sedang merayakan ulangtahun. Aku amati dengan seksama ketiga orang yang berada difoto tersebut.

Deg.. Detak jantungku berpacu begitu cepat, dengan napas yang memburu, rongga dada serasa begitu sesak, sebisa mungkin aku tidak menangis. Namun nihil pertahananku tidak kuat, akhirnya airmata itu lolos begitu saja menggenangi pipi.

Aku terisak cukup lama, aku pandangi lamat-lamat foto tersebut, laki-laki yang ada dalam foto tersebut adalah suamiku Mas Arya. Apakah ia telah berkhianat dibelakangku.

Ponselku terus berdering, rupanya Intan yang sedari tadi menghubungiku. Dengan sangat terpaksa aku mencoba menjawab panggilannya.

"Rania kamu baik-baik saja?" tanyanya dari seberang telepon, tampak sekali jika ia khawatir padaku.

"Aku baik-baik saja, kamu dapat foto itu darimana?" tanyaku, sambil menahan isak tangis.

"Dari temanku, tapi jangan salah paham dulu Rania, tanyakan baik-baik pada suamimu, jangan gegabah." pesannya. Aku mengangguk mengiyakan perkataan Intan, namun kutahu ia tidak melihat itu. Telepon pun aku putus secara sepihak, aku tidak kuat lagi menahan sesak yang menghimpit dada ini.

Tringg.. Ponselku kembali berbunyi, itu tandanya ada pesan masuk, ah Intan kamu mau apalagi, ungkapku sambil mengangkat ponsel tersebut.

Namun bukan Intan yang tengah mengirim pesan, melainkan Mas Arya suamiku.

[Lagi apa sayang, sudah makan, Mas kangen banget sama kamu, pengen cepet-cepet pulang] diakhir kalimat, ia membubuhkan emoji cium.

Pesan manis itu sudah biasa ia kirimkan, ketika kami berjauhan, ia sosok suami yang begitu baik, lembut, dan penyayang, tidak pernah terlintas di pikiranku, ia akan melakukan pengkhianatan di belakangku. Biasanya aku akan merasa senang, ketika menerima pesan itu, namun sekarang, kenapa aku begitu sakit membacanya. Kamu memang pandai bersandiwara Mas. Ketika kamu sudah melakukan kesalahan, namun masih sempat-sempatnya memberikan aku kata-kata itu. Pedih, sakit, perih, aku menekan dada ini kuat-kuat seraya menahan isak tangis.

Alasan apa yang telah melatarbelakangi kamu, untuk melakukan pengkhianatan ini. Apa aku bukan istri yang baik, atau aku pernah membuat kesalahan, hingga membuat kamu berpaling pada wanita lain. Aku terus bertanya pada diriku sendiri. Aku merutuki diri ini, yang telah gagal sebagai seorang istri.

Tringg... Ponselku kembali berbunyi, kembali ada pesan yang masuk, bisa kutebak itu pasti dari Mas Arya.

[Kenapa tidak dibalas sayang, apa kamu baik-baik saja, mas akan pulang cepat, tunggu dirumah ya]

Aku tunggu mas, kamu harus menjelaskan ini semua padaku, aku berucap lirih.

*****

Terdengar deru suara mobil memasuki halaman rumahku, tidak lain dan tidak bukan, itu pasti Mas Arya suamiku. Gegas aku kedepan untuk menyambut kedatangannya. Aku mencoba menarik napas panjang, dan membuangnya perlahan, untuk menetralkan emosiku.

Kupegang gagang pintu, dan memutarnya perlahan, ceklek.. Suara pintu berbunyi, setelah pintu terbuka sempurna, didepan sana sudah berdiri seorang laki-laki, yang begitu tampan, ia begitu rapi, dengan stelan kemeja warna navy, yang dipadu padankan dengan celana warna hitam, dan dasi dengan warna serupa. Sosok inilah yang membuatku mabuk kepayang, namun sosok ini juga yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Ia tersenyum begitu manis, tidak bisa aku pungkiri, ia menatapku penuh cinta seperti biasanya, ia memeluk tubuhku, mencium keningku. Terlihat sekali, jika ia memendam rindu yang begitu berat.

Jika cintamu memang besar padaku, lantas apa alasan kamu mengkhianatiku Mas, ucapku dalam hati.

Aku mengusap ujung kelopak mata, karena tetesan airmata, yang lolos begitu saja. Aku sedikit terisak, seraya tersenyum kecil.

"Lho kok nangis?, gak seneng Mas pulang?" tanyanya menatapku lekat.

"Ah tidak-tidak, aku terharu aja, Mas bisa pulang lebih cepat," jawabku, tersenyum kecil. Ia menghapus airmataku. sentuhan itu begitu lembut. Namun tidak bisa aku pungkiri, semakin aku menerima perlakuan semanis ini. hati ini semakin sakit rasanya.

Aku mengambil alih tas kerja yang sebelumnya ia tenteng, aku mengajaknya untuk makan terlebih dahulu.

"Naura mana sayang?" tanyanya celingukan melihat keseluruh penjuru ruangan.

"Dirumah mama Mas, sudah dua hari ia menginap disana," jawabku, sembari menyiapkan piring untuk makan. Naura adalah putriku, berusia tiga tahun, ia memang dekat sekali dengan neneknya, yaitu mamaku, ia sering menginap disana, kadang bisa sampai satu minggu lamanya.

"Mas belum lapar," ungkapnya, seraya mendekatiku yang tengah menyendokan nasi kedalam piring, ia memelukku dari belakang dengan begitu erat, ia menghembuskan napas tepat di tengkuk leher, yang membuat dada ini berdesir hebat.

"Nanti saja Mas, kita makan dulu ya," aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun, Mas Arya tidak mengindahkan ajakanku. Ia malah menggendong tubuhku dan membawanya masuk kedalam kamar kami.

Ia meletakan tubuhku diatas ranjang, tatapan itu tidak pernah lepas dariku. Ia mulai menjalankan aksinya, aku tidak berkutik dibuatnya. Namun sesaat sebelum hal itu dilakukan, aku mencoba meraih ponsel yang berada didekatku, aku arahkan ponsel itu padanya, dengan sebuah foto yang tadi Intan kirimkan.

"Dia siapa Mas?" tanyaku menatapnya.

Ia berhenti dari aktivitasnya, tampak sekali dari raut wajahnya, ia begitu panik. Sorot matanya penuh kecemasan. Ia bangkit, dan kembali duduk disebelahku.

"I.. Itu aku bisa jelaskan sayang," ia meraih tanganku, tatapannya begitu sendu.

"Kamu mengkhianatiku Mas?" tatapanku mengintimidasi.

"Tidak seperti itu sayang," ia menggenggam tanganku erat.

"Lantas?" ujarku penuh penekanan.

"Dia bukan siapa-siapa sayang, percaya padaku," tatapannya penuh iba.

"Kamu bohong," aku bangkit lantas berdiri membelakanginya.

"Rania, percaya padaku, itu bukan siapa-siapa," ia kembali ingin meraih tanganku, namun dengan sigap aku menepisnya.

"Jujur Mas," bentakku keras. Seketika ia mengangkat wajahnya menatapku.

"Baik, tapi kalau aku jujur, aku minta tolong, kamu jangan pernah tinggalin aku." ucapnya penuh iba. Aku mengangguk mengiyakan ucapannya.

"Dia mantan istriku," pungkasnya seraya menunduk.

Bersambung.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku