"Pak, aku mohon jangan!" tangis Raya pecah saat Pak Kades mendekat dengan tatapan tajam. "Kamu seharusnya tidak di sini Ray, " ucapnya kacau, namun sorot matanya kosong. Pria itu kacau balau dan pengaruh sakau. Tanpa sadar Pak Kades menarik Raya dengan Kasar lalu melucuti tubuhnya, " Pak, aku mohon jangan lakukan ini." Raya berteriak meminta tolong namun tak ada satu orang pun yang menolongnya karena warga masih terlelap. dan saat itu pula Pak Kades merenggut kesucian Raya, gadis yang sedang KKN di desa tersebut. bagaimana kisah selanjutnya? Padahal Kades tersebut sudah memilki istri dan Anak. lalu bagaimana Nasib Raya kedepannya?
Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang keemasan memantul lembut di jendela Balai Desa. Hari Minggu itu suasana desa sangat lengang. Biasanya ramai dengan warga yang berkumpul untuk rapat atau sekadar berbincang, namun kali ini, tak ada satu pun yang terlihat. Hanya suara angin yang sesekali meniup dedaunan di pohon-pohon yang mengelilingi halaman balai.
Aku baru saja selesai mengirimkan pesan kepada salah satu pegawai desa, meminta izin untuk mengambil buku profil desa yang diperlukan oleh kelompok kami. Kami sedang KKN di sini, di sebuah desa kecil yang indah namun penuh misteri. Pegawai tersebut, Mas Adi, menyarankan agar aku mengambil buku itu di ruang kepala desa. Tidak ada yang bisa mengantarku karena hari libur, tapi dia bilang ruangan itu terbuka, jadi aku bisa masuk kapan saja.
Dengan hati sedikit ragu, aku melangkah menuju Balai Desa. Pintu depannya terbuka, memberikan kesan mengundang, namun entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Perasaan tak nyaman itu semakin kuat saat aku mulai berjalan di koridor yang mengarah ke ruang kepala desa. Cahaya lampu yang sedikit redup menambah kesan seram.
Di depan pintu ruangan kepala desa, aku berhenti sejenak. Dari dalam, samar-samar terdengar suara. Aku memiringkan kepala, mendengarkan lebih seksama. Lenguhan. Seperti suara seseorang yang menahan nafas atau mungkin... kesakitan? Jantungku berdebar. Apakah aku mendengar dengan benar?
Rasanya seperti dunia berhenti sesaat. Tanganku mulai gemetar, tapi aku harus menyelesaikan tugas ini. Kami butuh profil desa itu untuk presentasi besok, dan tak ada waktu lagi untuk menunda. Aku menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Mungkin hanya imajinasiku yang terlalu liar. Ya, itu pasti.
Aku mengetuk pintu pelan. "Permisi, Pak Kades?"
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang membentang setelah ketukan itu. Aku menelan ludah, kemudian mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
"Pak Kades, maaf saya mau mengambil buku profil desa," suaraku sedikit bergetar, mencoba terdengar tenang.
Tak ada balasan. Hanya suara lenguhan itu, kali ini terdengar lebih jelas. Ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba dorongan kuat muncul dalam hatiku, memaksaku untuk membuka pintu itu. Tanganku meraih gagang pintu, sedikit ragu, tapi aku tahu aku tak punya pilihan lain. Harus kulihat apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika pintu terbuka perlahan, suasana dingin menyambutku. Ruangan itu tampak kosong. Lampu di sudut ruangan menyala, memberikan cahaya temaram. Meja kerja Pak Kades tampak rapi, berkas-berkas tersusun dengan baik. Namun, tidak ada orang di sana. Tidak ada tanda-tanda apa pun yang menunjukkan kehadiran seseorang.
Aku melangkah lebih dalam. Di sebelah kanan, lemari besar yang penuh buku dan dokumen desa berdiri kokoh. Di situlah buku profil desa disimpan, menurut Mas Adi. Tapi pandanganku teralihkan oleh sesuatu di sudut ruangan.
Sebuah kursi besar menghadap ke jendela yang tertutup tirai tebal. Dari balik kursi itu, samar-samar aku mendengar lagi suara lenguhan. Suara itu seolah berasal dari balik kursi, atau mungkin dari bawahnya.
Dengan hati-hati aku mendekat. Setiap langkah yang kuambil membuat jantungku berdegup semakin kencang. Tanganku berkeringat, namun aku tetap melangkah. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.
"Pak Kades?" Aku memanggil lagi, kali ini lebih pelan.
Aku berhenti di depan kursi, menatapnya dengan hati-hati. Ada perasaan mencekam yang menyelimutiku, namun aku memaksakan diri untuk bergerak. Perlahan, aku berjalan ke samping kursi, berharap menemukan jawaban atas suara misterius itu.
Saat aku melihat ke balik kursi, pemandangan yang kulihat membuat darahku membeku. Di lantai, tergeletak seorang pria, mengenakan baju dinas desa, wajahnya penuh dengan keringat dan matanya tertutup rapat. Lenguhan yang kudengar ternyata berasal darinya. Pak Kades.
Dia terbaring tak berdaya, seolah baru saja melalui sesuatu yang sangat melelahkan. Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi?
Dalam kepanikanku, aku segera berjongkok di sampingnya. "Pak Kades! Apa yang terjadi?!" Aku mencoba mengguncang tubuhnya dengan pelan.
Pak Kades membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong, seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Dia berusaha bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Aku membantunya duduk di kursi, walau dengan susah payah.
"Tolong... air..." bisiknya dengan suara serak.
Aku segera bangkit dan mencari botol air yang ada di meja. Setelah memberikannya, dia meminumnya dengan tergesa-gesa, seolah-olah baru saja berjalan melewati gurun tanpa setetes air pun.
"Terima kasih..." katanya akhirnya, setelah berhasil menenangkan diri.
Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
"Apa Anda baik-baik saja, Pak Kades? Saya dengar suara... lenguhan tadi," tanyaku hati-hati.
Pak Kades menghela nafas panjang, matanya masih tampak lelah. "Aku... hanya kelelahan. Mungkin terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."
Jawaban itu terasa tidak memuaskan. Ada sesuatu yang disembunyikan, tapi aku tak berani bertanya lebih jauh.
Pak Kades tersenyum lemah. "Kau mau mengambil profil desa, kan? Lihat saja di lemari itu, ada di rak kedua dari atas."
Aku hanya mengangguk, masih terkejut dengan apa yang baru saja kulihat. Aku berjalan ke lemari dan menemukan buku yang kucari. Namun, rasa penasaran masih mengganggu pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi di ruangan ini sebelum aku datang?
Saat aku keluar dari ruangan itu, perasaan tak nyaman masih menyelimuti. Aku tidak tahu apa yang baru saja kulihat, tapi satu hal yang pasti: ada rahasia yang tersimpan di balik pintu ruang kepala desa. Rahasia yang mungkin lebih gelap dari yang kubayangkan.
Langkahku terasa berat saat keluar dari ruang kepala desa. Buku profil desa yang kubawa di tangan terasa lebih berat dari yang seharusnya. Bukan karena bobot fisiknya, tetapi karena beban pikiran yang kini memenuhi benakku. Ada sesuatu yang aneh di balik pintu itu, sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Suara lenguhan, tatapan kosong Pak Kades, dan sikapnya yang seolah menutupi sesuatu membuatku gelisah.
Balai desa yang sepi menambah aura misterius, setiap langkah kaki terasa menggema di ruangan yang kosong. Aku berjalan cepat, ingin segera keluar dari tempat itu, tetapi setiap bayangan yang melekat di dinding seolah memperhatikanku. Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir, terlalu banyak terjebak dalam imajinasiku sendiri. Namun, bisikan kecil di sudut pikiranku terus mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang salah.
Sesampainya di luar, angin sore menyambut dengan lembut, tapi udara sejuk itu tidak mampu menghilangkan rasa dingin di tengkukku. Jalanan desa yang biasanya penuh dengan suara anak-anak bermain kini sunyi. Aku melihat ke sekitar, tak ada siapa pun. Bahkan angin yang meniup dedaunan pun terdengar lebih jelas dari biasanya.
Aku mempercepat langkah menuju posko KKN kami. Tempat itu tidak jauh, hanya beberapa ratus meter dari Balai Desa, tapi perjalanan pulang kali ini terasa seperti berkilo-kilometer jauhnya. Setiap bunyi ranting patah atau hembusan angin membuatku menoleh, seolah-olah ada sesuatu yang mengikutiku. Namun, saat kulihat ke belakang, tidak ada apa-apa selain jalanan yang kosong.
Ketika akhirnya tiba di posko, teman-temanku sudah menunggu. Rina, salah satu anggota kelompokku, yang sejak tadi sudah gelisah, segera menghampiriku.
"Gimana, Ra? Sudah dapat bukunya?" tanyanya dengan nada cemas, seakan-akan merasakan kegelisahan yang sama seperti yang kurasakan.
Aku mengangguk pelan dan menyerahkan buku itu kepadanya. "Sudah. Tapi ada sesuatu yang aneh," jawabku sambil menatap matanya, berharap dia bisa merasakan kekhawatiranku.
Rina memandangku dengan alis terangkat. "Aneh gimana?"
Aku menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menceritakan apa yang baru saja terjadi. "Saat aku masuk ke ruang kepala desa, aku dengar suara aneh, kayak suara orang mengerang. Pas aku cek, Pak Kades tergeletak di lantai. Dia bilang dia cuma kelelahan, tapi aku merasa ada yang gak beres. Dia terlihat aneh, seperti habis melewati sesuatu yang berat."
Rina terdiam sejenak, mencerna ceritaku. "Apa mungkin dia memang sakit atau kecapekan karena kerjaan?"
"Mungkin," jawabku, meskipun dalam hatiku aku tidak yakin. Pak Kades adalah sosok yang selalu terlihat energik, setidaknya selama kami berada di sini untuk KKN. Sejak pertama kali bertemu, dia selalu ramah dan terlihat tegas. Tapi yang kulihat tadi, dia seperti orang yang benar-benar kehabisan tenaga-bukan sekadar kelelahan biasa.
Malam itu, saat semua orang sudah sibuk dengan tugas mereka masing-masing, aku duduk sendirian di depan posko, menatap langit yang dipenuhi bintang. Suara malam di desa ini biasanya menenangkan, tapi kali ini, ada rasa asing yang menyusup ke dalam pikiranku. Pikiran tentang apa yang terjadi di balik pintu ruang kepala desa tadi tak kunjung hilang.
Tiba-tiba, suara pesan masuk terdengar dari ponselku. Sebuah pesan dari Mas Adi, pegawai desa yang tadi kusapa. Pesan itu singkat dan sederhana: "Sudah dapat bukunya? Gimana di Balai Desa tadi?"
Aku mengetik balasan, jari-jariku bergerak dengan cepat di atas layar. "Sudah. Tapi Pak Kades tadi kelihatan aneh. Aku dengar suara dari dalam ruangan sebelum masuk, pas kulihat ternyata dia tergeletak di lantai."
Tak lama setelah kukirimkan pesan itu, balasan datang lebih cepat dari yang kukira. "Aneh? Pak Kades jarang di kantor hari Minggu. Mungkin dia memang sedang kurang sehat. Besok aku cek, ya."
Jawaban Mas Adi terdengar biasa saja, tapi rasa penasaran di dalam diriku semakin kuat. Kenapa Pak Kades ada di sana sendirian pada hari Minggu, dan apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai itu?
Pikiranku terus berputar-putar sampai larut malam. Tidurku tidak nyenyak. Mimpi buruk menghantuiku-suara-suara lenguhan, bayangan gelap di balik kursi, dan tatapan kosong Pak Kades. Dalam mimpiku, aku kembali berdiri di depan pintu itu, mendengarkan suara-suara aneh yang lebih keras dan lebih jelas.
Ketika akhirnya aku terbangun dengan tubuh berkeringat, jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Suasana di posko sepi, semua orang sudah tertidur pulas. Aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke luar kamar, mencari udara segar. Namun, ketika aku membuka pintu, pemandangan yang kulihat membuatku terdiam.
Di halaman depan posko, bayangan seorang pria berdiri, menghadap ke arah Balai Desa. Tubuhnya tegap, namun sedikit goyah, seakan-akan dia sedang menahan sesuatu. Wajahnya tertutup oleh bayangan malam, tapi aku tahu pasti siapa itu. Pak Kades.
Aku terpaku. Kenapa dia ada di sini? Apa yang dia lakukan pada jam segini?
Aku mencoba memanggilnya, tapi suaraku terhenti di tenggorokan. Tubuhku seperti membeku di tempat. Pak Kades berdiri diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya perlahan berbalik dan berjalan menuju jalan desa yang gelap. Langkahnya lambat, namun pasti, seperti sedang mengejar sesuatu di kejauhan.
Jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba, keberanian muncul dari dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil jaket dan mengikuti langkahnya di kegelapan malam. Ada sesuatu yang harus kutemukan, sesuatu yang disembunyikan oleh pria itu. Pak Kades tidak hanya menyembunyikan lelahnya-dia menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap.
Langkahku semakin cepat, mengikuti jejak bayangan itu menuju Balai Desa yang kini tampak lebih suram daripada sebelumnya.
Malam semakin larut, udara terasa semakin dingin. Langkahku semakin cepat, mengikuti sosok Pak Kades yang menjauh ke arah Balai Desa. Jalanan yang biasanya terasa familiar kini dipenuhi dengan bayang-bayang yang tampak hidup. Jantungku berdegup kencang, namun rasa penasaran menuntunku untuk terus melangkah.
Sosok Pak Kades berjalan dengan langkah mantap, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Bayangannya menghilang di balik tikungan yang menuju Balai Desa, dan aku mempercepat langkahku. Saat tiba di tikungan itu, Pak Kades sudah berada di depan pintu Balai Desa, tapi kali ini dia tidak masuk. Dia berdiri diam di sana, seperti menunggu sesuatu.
Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Tubuhku terasa kaku, antara ingin mendekat atau berbalik dan lari. Tapi bayangan yang muncul di benakku tak membiarkanku pergi begitu saja. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang harus kutemukan.
Saat aku hendak melangkah lebih dekat, tiba-tiba Pak Kades membuka pintu Balai Desa perlahan. Suara engsel pintu yang berderit memecah keheningan malam. Suara itu, yang seharusnya biasa, kini terdengar begitu menakutkan. Cahaya dari dalam Balai Desa sangat redup, hanya menyorot sebagian ruangan seperti lampu yang hampir mati.
Pak Kades melangkah masuk, dan tanpa berpikir lebih jauh, aku mengikutinya. Aku masuk ke dalam Balai Desa dengan langkah pelan, berusaha agar tidak membuat suara yang bisa menarik perhatiannya. Ketika aku melintasi pintu, aroma ruangan itu terasa aneh-seperti bau lembap yang bercampur dengan wangi dupa.
Aku menyelinap di balik pintu, bersembunyi di sudut ruangan. Pak Kades berjalan menuju ruangannya di ujung koridor, yang tadi siang menjadi tempat aneh yang kutemui. Jantungku semakin berdegup cepat, ketakutan mulai merambat ke seluruh tubuhku. Namun, rasa penasaran yang kuat mendorongku untuk tetap tinggal dan melihat apa yang terjadi.
Setelah beberapa langkah, Pak Kades berhenti di depan pintu ruangannya. Aku bisa melihat dari jarak jauh bahwa dia tampak berbeda. Gerak-geriknya lambat, seolah-olah dia sedang terbebani oleh sesuatu yang berat. Tangan kanannya terangkat dan mendorong pintu ruangannya hingga terbuka, dan lagi-lagi, derit pintu itu membuat suasana semakin mencekam.
Aku mengambil posisi di balik tiang penyangga, memperhatikan dari kejauhan. Pak Kades masuk ke dalam ruangan, dan untuk beberapa saat, aku tidak mendengar apa-apa. Hanya keheningan yang sunyi. Aku harus melihat lebih dekat. Dengan napas tertahan, aku berjalan pelan menuju ruangannya, setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya.
Ketika aku mendekati pintu ruangan, suara lenguhan yang sama seperti tadi siang kembali terdengar. Suara itu membuat bulu kudukku berdiri. Lenguhan panjang dan pelan, seperti suara orang yang berjuang untuk bernapas.
Aku mengintip dari celah pintu, dan apa yang kulihat membuat tubuhku membeku. Pak Kades berdiri membelakangi jendela, dan di hadapannya terdapat sebuah meja dengan sebuah cermin besar di atasnya. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Pria itu sudah membuka pakaian yang melekat ditubuhnya.
Pak Kades berdiri diam, memandang cermin dengan tatapan kosong, seperti sedang berbicara meski bibirnya tak bergerak. Suara lenguhan itu semakin keras, semakin menyiksa, seolah berasal dari dalam dirinya. Aku menahan napas, berusaha memahami apa yang sedang kulihat. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Tiba-tiba, tubuh Pak Kades bergetar, dan aku bisa melihat dia semakin lemah. Tangannya bergetar, kakinya goyah, dan lenguhannya berubah menjadi suara rintihan kesakitan.
Dalam kepanikan, aku mengambil langkah mundur, namun kakiku mengenai kursi kecil di belakangku. Kursi itu jatuh dan menimbulkan suara yang nyaring. Pak Kades menoleh cepat, matanya langsung menatap ke arahku. Tatapannya kosong, namun penuh dengan ketakutan. Aku terpaku, tak mampu bergerak.
"Siapa di sana?" suaranya terdengar lemah, namun cukup tajam untuk menusuk perasaanku.
Aku tidak bisa bersembunyi lagi. Perlahan aku melangkah keluar menunjukkan diriku. Jantungku berdegup sangat cepat, seolah bisa terdengar di seluruh ruangan. "Pak Kades... saya, Rara. Saya... saya melihat..."
Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku Pak Kades mentap tajam ke arahku. "Kamu... kamu tidak seharusnya di sini..."
Aku mundur, panik, tidak tahu harus melakukan apa. Pak Kades mendekatiku sorot matanya tajam dan aku semakin ketakuta.
"Pak, apa yang akan Bapak Lakukan_"
Buku lain oleh Zigas!
Selebihnya