Istri Kedua Pak Kades
yangi. Aku berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja, tapi jauh di dalam hatiku, hidupku sedang berada di ambang kehancuran. Perasaan itu semakin menyesakkan dada setiap hari.
k tidak melihat ada yang berbeda. Saat kami makan siang di kantin, aku tahu dia pasti akan bertanya.
il menatapku dengan penuh perhatian. "Seja
a tugas kampus, itu aja," jawabku berbohong. Aku tak mungkin menceritakan yang sebenarnya. Bagaiman
ayar ponselnya sebentar sebelum menatapku dengan ekspresi yang aneh. Tangannya yang lenti
iba-tiba, suaranya terdengar santai, seolah itu tidak b
seketika kacau. Aku berusaha keras menenangkan diri, menc
k kasih. Dia bilang kalau ke kota, mungkin bisa mampir ke salah satu anggota KKN kita,"
ri tahu tentang diriku. Aku menahan perasaan takut dan cemas yang tiba-tiba muncul, berusaha untuk tetap t
kan untuk pulang lebih awal. Namun, begitu aku bangkit dari kursi, kepalaku te
ihat wajahku yang pucat. Dia langsung menopang tub
lemah. "Gak apa-apa, mun
nik?" Dinda
apku, meski kepalaku semakin berat, dan mataku berkunang
tiba-tiba mual dan aku berlari ke kamar mandi, muntah dengan hebat. Semua yang ada di dalam perutku keluar
biasanya aku lingkari setiap bulannya ternyata tidak lagi kulingkari. Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat kapan terakhir
yang tadi kurasakan semakin membuatku takut. Apakah ini semua ada hubungannya dengan kejadian di desa? Pikiran buruk mula
ng? Bagaimana jika yang aku takutkan benar-benar terjadi? Aku tidak siap menghadapi kemungkinan ini. Aku baahu aku harus memastikan semuanya, tapi aku belum tahu bagaimana caranya.
giku. Seketika, aku merasakan ketakutan yang sama seperti saat pertama kali Pak Kades menghubungiku. Aku tidak berani men
jadi, aku harus menghadapi ini sendiri. Aku tidak bisa bergantung pada orang
enyataan. Aku harus mencari tahu apa yang sedang terjadi denga
enghantui pikiranku makin menggila. Aku tahu aku tidak bisa terus menunda ini. Ada sesuatu yang salah, dan aku harus mencari tahu
kapan terakhir kali aku mendapat haid. Bulan lalu, siklusku terasa normal, tapi kali ini-tidak ada. Tidak ada tandlam mimpi buruk saat aku melangkahkan kaki ke sana. Setiap langkah terasa berat, dan napasku terasa sesak. Ketakutan akan hasilnya menambah beban di dadaku, te
apa
ya mau kelu
apa? Muntah-m
gupku pada Mbok Inem yang mungki
suk angin,tapi enggak apa-
etika petugas apotek memberikan barang yang kupesan, aku merasa malu, seolah-olah mereka
buka bungkus test pack itu dan melanjutkan prosedurnya. Detik-detik menunggu hasil terasa seperti seabad. Dadaku berdebar kan, hasiln
ga
menggenggam alat kecil itu erat-erat, jantungku hampir berhenti berdetak. D
i lantai kamar mandi, air mata mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan. Ini tak mungkin. Aku mas
Dan yang lebih menakutkan, bagaimana dengan Pak Kades? Dia mungkin tidak tahu, tetapi aku tahu. Bagaimana jika dia men
mengatakan kepada seseorang? Apakah aku harus menyembunyikan ini selamanya? Rasa takut dan bingung terus
epat. Semua ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Aku belum siap menerima kenyataan ini. Apa yang akan te
mustahil, aku harus memikirkan langkah selanjutnya. Aku tahu ini bukan hal yang bisa kuab
mbil, tapi aku tahu aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini selamanya. Apapun hasil dari pertemuan itu, aku ha
orang, tetapi rasanya seperti hanya ada aku di sana, sendirian menghadapi ketakutan yang kian menumpuk. Ketika n
er dengan senyum ramah. "Bagaim
rasa berat, seolah aku mengeluarkan beban yang selama ini tertahan di dadaku. Dokter mendengarkan dengan
anya pada orang tua kamu Ray? P
lihat dia juga sudah punya anak, saya
pikir dia akan bertanggung jawab, hamil sendirian dan
sa sendi
a, dia pun memberikan nomor ponselnya, agar aku beb
membuat keputusan tentang masa depanku, meskipun aku belum tahu bagaimana caranya. Dokter memberiku beberapa opsi dan memberikan na
Aku masih harus menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan ini. Perasaan cemas dan takut terus menghantui pikiranku.
pa yang harus kulakukan terus berputar. Hanya aku yang tahu masalah ini, dan aku tak tahu harus memulai dari
atakan ini pada mama atau keluargaku. Mereka pasti akan kecewa, dan aku tak sanggup melihat tatapan penuh penilaian dari orang-orang yang paling aku cin
ia bisa saja menggunakan ini sebagai alasan untuk mendekatiku lagi. Pikiran itu membuatku merinding. Aku tidak bisa m
bahwa tidak ada keputusan yang mudah dalam situasi seperti ini, tetapi yang terpenting adalah aku
asa takut dan cemas tanpa tahu langkah apa yang akan kuambil. Aku memutuskan untuk tidur lebih awal da
membuka pintu kamarku, namun aku tahu mungkin s
sayang? Sakit? Kam
enak badan aja,
makan ma
nafsu makanku kali ini sete
dan sarapan, aku duduk di meja belajar, mencoba berpikir jernih. Aku membuka laptop dan mulai mencari informasi tentang berbagai opsi y
r tak dikenal. Aku terdiam sejenak, takut bahwa itu adalah Pak Ka
n terdengar sangat familiar.
kai nomor baru"
Dia bilang dia mau bertanggung jawab kalo ada masalah," Dinda berbicara dengan nada netral, mungkin dia belum tahu ap
k. Dia tidak tahu betapa besar luka yang dia timbulkan, dan sekarang dia mengaku ingin bertanggung
ekarang," kataku, mencoba menahan air mat
pat lo kalo lo butuh temen buat cerita," suara Din
h. "Gue... gue gak tahu harus gimana, Din," kataku dengan
erasa seputus asa ini dalam hidupku, tapi saat itu, aku sadar bahwa aku tidak bisa men
erbisik, tapi kata-kata itu terdengar jelas di telingaku sendiri. Ada keleg
dia mungkin terkejut. Namun, ketika dia akhirnya berbica
buat lo. Kita cari jalan keluar sama-sa
Meski jalan yang ada di depanku masih panjang dan penuh tantangan, setidaknya aku tahu bahwa aku memiliki seseorang yang akan
a aku tahu bahwa ada seseorang yang bisa kuandalkan. Malam itu aku bisa tidur sedikit lebih nyenyak, tapi kecemasan tetap
langsung memelukku erat. Aku tak bisa menahan air mata, semuanya terasa begitu berat. Dal
angan diem aja. Gue selalu ada di
karena dia sedang kuliah di Jogja dan sedang mengurus skrip
irnya aku mulai bicara, suaraku bergetar, tapi aku tahu aku harus melakukannya. Dia begitu syok mendengar ceritaku apalagi ada sangkut pautan dengan p
gan suara lemah. "Semua ini... semuanya terjadi begitu cepa
lah lo. Jangan pernah berpikir kayak gitu. Yang lo alami itu bukan s
ahwa apa yang Dinda katakan benar, perasaan bersalah dan malu itu tet
an kecewa banget sama gue," lanjutku, air mata mulai mengalir lagi. "Gue juga nggak tahu a
uin jalan hidup lo sendiri. Gue tahu situasinya berat banget, tapi apapun yang lo pilih nanti, g
idaknya, aku punya waktu untuk memikirkan semuanya dengan lebih tenang. T
"Tapi lo juga harus inget kalau lo nggak sendirian. Gue ada di s
asaan hangat yang mulai muncul di tengah kegelapan. Dinda benar, aku tidak harus menjalani
duduk di bangku, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyapu waja
pain? Maksud gue, setelah semua
ar dan sulit dijawab. Tapi setelah semua yang kulalui, a
e nggak mau terus hidup dalam ketakutan. Gue tahu ini nggak akan mudah, tapi gu
ng bagus, Ray. Gue tahu lo kuat. Lo udah bisa sampai
aik memilih yang mana? berterus teran
h pilihan mana y