Istri Kedua Pak Kades
u, hawa dingin yang sebelumnya terasa kini berubah menjadi panas mencekik. Tangan Pak Kades semakin kuat menggenggam
akku dengan suara parau, air
k terkendali. Tatapannya liar, tak ada lagi jejak pria ramah yang selama ini aku kenal. Seperti bukan dirinya, seperti dia tel
memaksa. Aku berteriak, memanggil siapa pun yang bisa mendengar, tapi tak ad
tapi suaraku seakan tenggelam dal
rusaha merangkak pergi, tapi setiap gerakanku dibalas dengan tarikan yang lebih kuat. Aku menendang, meronta
lalu kubanggakan, kini lenyap dalam sekejap kebrutalan yang tidak pernah kubayangkan. Ai
an tangisanku yang semakin lama semakin teredam oleh rasa putus asa yang mencekam. Di setiap desah napasnya, aku merasakan kehancuran diriku. Ak
yang paling mencolok adalah tatapan di matanya. Dia terdiam, seolah baru saja tersadar dari sesuatu ya
yang sudah kulakukan...?" suaranya terdengar seras, air mataku terus mengalir, sementara Pak Kades jatuh terduduk di sudut ruangan. Dia menangis, meraung-raung dengan kepedihan
, suaranya penuh dengan penyesalan. Tapi itu semua terasa sia-sia bagiku. Kata-kata it
ng biasanya menyertai fajar tidak kurasakan. Yang ada hanyalah kehampaan dan rasa dingin yang merasuk hingga tu
a menyentuh bahuku, seolah mencari pengampunan. Tapi aku langsung menmataku semakin deras mengalir. "J
ar dari ruangan ini, menjauh darinya, menjauh dari rasa sakit ini. Tapi aku tidak tahu harus ke mana, apa yang harus kulakukan. Bagaima
ng selama ini kujaga dengan penuh kebanggaan, kini telah hancur. Hanya
tidak bisa berlama-lama di sini. Dengan gemetar, aku mengenakan pakaian yang telah tercabik-cabik, men
..." katanya dengan suara
endengarnya lagi
, tapi akhirnya aku berhasil membukanya. Udara pagi yang dingin menyambutku, seakan-akan mencobkah terasa seperti membawa beban yang tidak akan pernah hilang. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. D
lam cahaya itu, hanya kekosongan yang semakin dalam. Aku terus berjalan, tanpa arah,
it, aku tahu satu hal: hidupk
Bercak itu, yang baginya adalah bukti nyata dari kesalahan fatal yang baru saja dia lakukan, menghantam kesadarannya. Dia mesemakin menjauh dari ruangan. Dia berlari tergesa-gesa, berusaha meraihku, tapi aku tak pedu
entikanku sekarang. Aku harus keluar dari tempat ini, menjauh dari semua keburukan yang baru saja menimpaku. Aku ingin lari
Aku bisa merasakan napasnya yang terengah-engah di belakangku. T
olong dengarkan aku!" ucapnya panik, suaranya semakin put
ua terdengar begitu kosong, seperti janji yang tak mungkin bisa menutupi luka yang telah dia torehkan di tubuh dan jiwaku
saikan dengan pernikahan?" tanyaku dengan suara yang penuh kemarahan dan kesedihan. "Kamu
yang telah kurawat dengan begitu hati-hati, semua hilang begitu saja dalam malam yang mengerikan ini. Air mata
Raya, tolong! Aku akan menebus ini semua, aku akan mengurus se
ara tentang tanggung jawab, tapi kamu tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang dariku." Suaraku terd
i. Udara pagi yang dingin menyambutku, namun tidak cukup untuk menenangkan hatiku yang hancu
ghadapi teman-temanku, keluargaku, atau diriku sendiri setelah ini. Ak
di belakangku. Matahari mulai terbit di ufuk timur, tapi sinarnya tidak membawa harapan bagi
an membekas selamanya. Tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit i
u terus berjalan menuju kehidupan yang
h air mata yang tak kunjung berhenti. Rasanya seperti aku ingin berlari sejauh mungkin, tapi tubuhku terlalu lemah. Perasaan hampa dan jijik menyeli
dapi mereka? Bagaimana aku bisa menatap mata teman-temanku? Mereka pasti akan tahu ada yang berubah. Aku tak akan bisa berbohong, tak
Dari sini, aku bisa melihat hamparan sawah yang luas, desa yang tenang, dan langit yang perlahan berubah warna seir
yang lalu berputar kembali di kepalaku. Tatapan liar Pak Kades, sentuhannya yang memaksaku, dan suara-suara memuakkan yang terus menghantui telingaku.
yang terasa begitu kotor. Mahkotaku, kehormatanku, te
tau lambat, aku harus menghadapi kenyataan. Tapi kenyataan apa yang bisa kuterima? Apakah aku harus berbicara? Apakah aku harus melaporkannya? Siapa yang akan percaya? Aku tak
es, pria yang seharusnya dihormati dan menjadi teladan bagi kami, telah menghancurkan semua itu. Dia, dengan posisinya, deng
idak, aku tidak ingin pernikahan itu. Aku tidak ingin hidup bersama orang yang telah merenggut segalanya dariku. Bagai
Pak Kades muncul, wajahnya penuh dengan keputusasaan dan rasa bersalah. Dia mendekatiku dengan langkah
h terengah-engah setelah berlari menc
ingin kamu katakan?" tanyaku dengan suara bergetar, penuh amarah dan rasa sakit. Sek
adaku... Aku sudah gila... Aku... aku minta maaf... Aku benar-benar minta maaf..." Dia jatuh berlutut, memohon ampun de
uanya? Kamu pikir pernikahan akan menghapus semua ini? Kamu pikir aku akan baik-bai
kesalahanku... Tolong beri aku kesempatan... Aku akan melakukan apa saj
id
dah menghancurkan segalanya. Kamu telah mengambil sesuatu yang tak bisa dikemb
ya tidak lagi berarti. Aku tahu dia menyesal, tapi penyesalannya tidak akan pernah menghapus apa yang tela
hampir seperti bisikan. "Aku t
elangkah menjauh darinya, meninggalkan tangisannya yang semakin lirih di belakangku. Aku tida
yang tak kukenal, menatap masa depan yang gelap dan tak pasti. Tapi aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa apa pun yang terjadi, aku
rus pulang. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan di desa ini. Setiap sudut tempat ini kini hanya menyimpan kenangan buruk yang menghantu
k kami, berharap itu cukup untuk menjadi ala
uga kebingungan. "Lu yakin, Raya? Mending istirahat dulu di sin
n. "Enggak, gue har
mun, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan aku tidak punya kekuatan untuk menceritakannya. Tubuhku lelah, tidak hanya secara fisik, tetap
keputusanku. Mungkin dari luar, penampilanku memang tampak lemah, tapi itu belum seberapa dibandingkan r
argaku sudah dalam perjalanan untuk menjemputku. Waktu yang tersisa terasa begitu lama. Aku duduk di sudut rua
anku menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca-mungkin heran, mungkin
sedikit ragu, bertanya, "Lu serius
pir pecah, tapi aku menahannya, berusaha agar tidak ada yang melihatku menangis. Aku tidak mau mereka tahu ap
ama ini menjadi tempatku mengabdi, yang awalnya kurasa penuh dengan kebaikan dan harapan, kini me
g mulai tampak kecil di kejauhan. Setiap kilometer yang kutinggalkan dari tempat itu, aku berharap rasa sakit di
a fokus pada pemandangan yang berlalu, tapi pikiranku terus kembali ke malam yang mengerikan itu. Air mata yang kutahan akhi
u kotor, begitu terasing dari diriku sendiri. Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan Pak Kades muncul, mengingatkan pa
engapa aku pulang lebih awal, mengapa aku terlihat begitu lelah dan hancur. Tapi aku belum siap memberi
n yang sama: aku sakit. Aku memohon izin untuk pulang lebih awal dari masa KKN. Dosenku, yang biasanya sangat tegas, tampaknya mengerti bahwa aku tida
l dari masa penyembuhan yang panjang. Aku tahu, butuh waktu lama untuk bisa bangkit dari apa y
umah, keluargaku menungguku. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, dan untuk sekarang, mungkin biar
kelam itu masih mengikutiku, menempel erat di setiap sudut pikiranku. Tapi aku tahu, suatu hari nanti,
at melihatku masuk ke ruang tengah, aku berusaha setenang mungk