Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
"Ibuk, Ibuk, jangan tinggalin Sasa!" jerit Marisa, bocah berusia empat tahun di gendongan ayahnya.
Hati Maryati terasa remuk mendengar tangisan Marisa dan tatapan nanar sang suami. Tubuh gadis cilik itu terus meronta. Kedua tangan Marisa menggapai-gapai kaca jendela bus yang akan membawa Maryati dan rombongan ke Surabaya.
Ya, malam itu, Maryati bersama rombongan dari sebuah PJTKI, harus berangkat ke Surabaya. Bersama dua belas calon tenaga kerja wanita, mereka menuju ke Bandara Juanda.
Marisa terus menangis. Sementara ayah gadis kecil itu berusaha menenangkan sembari sesekali mengusap air mata di kulit pipinya yang kecoklatan.
Begitu juga, air mata Maryati membanjiri kedua belah pipi. Sayup terdengar suara Marisa yang masih menangis, ketika bus mulai bergerak pelan meninggalkan tempat parkir PJTKI. Maryati dan mungkin juga teman-teman senasib merasakan lara yang sama. Berat berpisah dengan anak, suami, dan keluarga di tanah air. Apalagi Maryati meninggalkan Marisa, putri semata wayangnya yang baru berusia empat tahun.
"Kita harus berani berkorban, Mbak. Ditungguin saja juga ndak cukup." Begitu ujar teman sebangku dalam bus, yang sudah beberapa tahun bekerja di Taiwan.
Wanita berusia mendekati paruh baya itu, antusias menceritakan tentang kesuksesannya menyekolahkan anak-anaknya sampai bangku kuliah. Bahkan ada salah satu anaknya yang menjadi anggota kepolisian. Sangat membanggakan tentunya.
Maryati mengangguk sembari berharap. "Nggih, Mbak. InshaAllah, saya bisa seperti Njenengan," ucapnya menanggapi.
Terbayang di pelupuk mata Maryati, kelak dia pulang dari Taiwan, rumahnya sudah bagus, punya usaha, dan berkecukupan materi. Memang dia harus berkorban untuk sementara waktu. Maryati tidak bisa berharap banyak pada gaji suaminya sebagai pesuruh di sekolah dasar, yang hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Maka dari itu, tekad Maryati sudah bulat meskipun harus berpisah dengan putrinya.
**
Prang!
"Apa lagi yang kamu pecahkan, Ria?" tanya seorang wanita cantik sembari mendekat.
Wanita itu melongo ketika melihat cangkir porselen mahal merek Italia itu pecah berantakan. Maryati pucat pasi dengan wajah menunduk dalam. Dia memilin jari-jarinya, kemudian bergerak mencari vacum cleaner.
"Ambil dulu pecahan kacanya, kalau semua masuk mesin, nanti mesinnya rusak! Cepat!" seru wanita itu dengan nada tinggi.
Maryati mengangguk kaku, kemudian mengambil kantong plastik dan memunguti pecahan kaca tersebut.
"Tue pu ci, Thai-thai," (maaf, Nyonya) ucap Maryati sangat lirih.
Wanita yang berdiri di sampingnya itu menggeleng-gelengkan kepala sembari berkacak pinggang. "Pekerjaan kamu bagus sebenarnya, tapi ceroboh, Ria. Saya tidak mau jika kamu melakukan kecerobohan pada ibu saya! Paham?" ucapnya masih dengan nada tinggi.
Maryati mengangguk. Dia melirik sekilas pada bosnya yang melangkah menjauh. Maryati menarik napas lega. Namun, beberapa detik kemudian, sang bos membalikkan langkah.
"Oh, ya, Ria. Saya akan ke Paris selama seminggu. Kamu jaga Ama baik-baik. Sebelum berangkat libur, kamu tunggu adikku datang dulu!" ucap wanita dengan dandanan elegan itu.
Maryati kembali mengangguk pelan. "Baik, Nyonya," jawabnya.
Setelah selesai membersihkan pecahan gelas, Maryati kembali ke kamar Nenek. Wanita itu memiringkan tubuh Nenek dan menepuk punggungnya. Selanjutnya, memindahkan Nenek dari brankar ke kursi roda dengan hati-hati.
Tring!
Handphone berdenting. Sambil memijat kaki Nenek dengan sebelah tangan, Maryati me-scroll sosial media. Dia sempat mengomentari unggahan foto teman satu PT di akun tersebut.
Bersamaan dengan itu, sebuah pesan masuk dari aplikasi hijau.
[ "Marya, hari Minggu jadi libur, kan? Sudah dapat izin dari bos?"] tanya Lina.