Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Kedua
4.9
Komentar
50.5K
Penayangan
100
Bab

Indira, sangat bahagia karena akhirnya dia diterima bekerja di perusahaan terbesar di ibu kota. Walaupun dia hanya bekerja sebagai sekretaris pengganti, tapi dia bertekad akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Suatu hari, Indira, hendak mengantarkan berkas untuk ditandatangani oleh Edbert, CEO dari perusahaan tersebut. Tanpa dia duga, Indira malah melihat Edbert sedang bermesraan dengan Merry istrinya. Indira, kaget. Dia mendadak jadi gugup dan segera membalikan tubuh nya, Indira, pun hendak pergi. Namun, baru saja Indira, melangkahkan kakinya, Merry malah memanggil Indira. Indira, pun dengan cepat menghampiri Merry. "Duduklah, Indira." titah Merry, Indira pun menurut. Edbert nampak mengernyit heran saat mendengar ucapan Istrinya, "Kenapa malah menyuruh Indira, duduk?" "Honey, menikahlah dengan Indira." Duar!!!! Bagai tersambar petir di siang hari, Edbert, benar-benar tak menyangka dengan apa yang di ucapan istrinya. Akankah Edbert menikahi Indira? Apakah Indira mau menjadi istri kedua? Apa alasan Merry meminta suaminya untuk menikah lagi? Yuk akh, kepoin kisahnya..

Bab 1 Pegawai Pengganti

"Jalan perniagaan nomer 52, dateng dan elu harus langsung masuk ke kantor. Tanya di mana ruangan tuan Edbert, elu udah ditunggu sama dia."

Indira membaca pesan chat yang dikirimkan oleh Melly, sahabatnya. Setelah satu minggu berkeliling di ibu kota untuk mencari pekerjaan, akhirnya dia bisa mendapatkan kabar bahagia.

"Alhamdulillah, ini beneran ada kerjaan buat gue?"

Indira membalas pesan dari sahabat terbaiknya, tidak lama kemudian Indira mendapatkan pesan balasan dari Melly.

"Iya, buruan datang. Harus sampai dalam waktu tiga puluh menit, kalau nggak cepet datang tuh kerjaan langsung angus."

Indira tersenyum senang, walaupun memang ada rasa takut tidak bisa sampai tepat waktu karena dia harus mencegat taksi atau ojek terlebih dahulu.

"Di mana ojeknya? Oh ya ampun, taksi juga ngga ada!" keluh Indira setelah 5 menit berdiri di pinggir jalan.

Tidak lama kemudian, dia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari dirinya. Seorang pria tampan keluar dari dalam mobil itu, dia membuang sebuket bunga ke tong sampah, lalu kembali masuk ke dalam mobil itu.

Sebelum pria itu menutup pintu mobilnya, Indira dengan cepat menahannya. Dia tersenyum canggung lalu berkata.

"Ehm! Maaf, Tuan. Saya boleh numpang, ngga?" tanya Indira.

Pria tampan itu nampak mengernyitkan dahinya, dia merasa heran karena bisa-bisanya wanita itu meminta tumpangan kepada dirinya.

Apakah wanita itu tidak tahu jika dirinya adalah pria terkaya di tanah air, pemilik sebuah perusahaan ternama yang menjadi incaran banyak orang agar bisa bekerja di sana.

Bahkan, tanpa bertanya terlebih dahulu pun seharusnya wanita itu tahu jika dirinya adalah keturunan keluarga kaya. Karena dia dan seluruh keluarganya menggunakan plat khusus untuk mobil yang mereka gunakan.

"Ayolah, Tuan. Saya mau interview di perusahaan Law, kalau telat nanti saya hilang pekerjaan. Tidak tahukah anda jika mencari--"

"Masuklah! Jangan bicara apa pun lagi!" ucap pria itu.

"Terima kasih, Tuan!" pekik Indira.

Gadis berhijab itu langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang, pria tampan itu langsung mendengkus sebal.

''Pindah!" perintah pria itu.

"Eh? Pindah ke mana?" tanya Indira kebingungan.

"Saya bukan sopir, silakan anda pindah ke depan!" seru pria itu dengan kekesalan di dalam hatinya.

Indira merasa tidak enak hati mendengar apa yang dikatakan oleh pria itu, tetapi sungguh dia tidak menganggap pria itu sebagai sopir. Dia hanya takut jika pria itu tidak mau duduk dekat dirinya.

"Maaf, Tuan. Iya, saya akan pindah." Indira langsung pindah ke depan dan duduk dengan canggung.

Pria tampan itu langsung melajukan mobilnya menuju perusahaan Law, sesekali dia memperhatikan penampilan Indira dengan ekor matanya. Dia juga memperhatikan wajah cantik wanita itu.

'Cantik! Tapi sayang tertutup,' ucapnya dalam hati.

Tidak lama kemudian, mobil yang Indira tumpangi berhenti tepat di perusahaan Law. Dengan cepat dia berterima kasih dan turun dari mobil mewah itu. Dia bahkan berlari dengan cepat agar bisa segera masuk ke dalam ruangan tuan Edbert.

"Wanita aneh,'' ucap pria itu.

Indira yang merasa waktunya hampir habis langsung masuk ke dalam ruangan Edbert, tentunya setelah dia bertanya terlebih dahulu kepada resepsionis yang ada di sana.

"Maaf karena saya telat satu menit," ucap Indira dengan napas terengah-engah saat tiba di dalam ruangan tersebut.

Seorang wanita cantik dengan perut yang sudah membuncit menghampiri Indira, dia tersenyum hangat lalu mempersilakan Indira untuk duduk.

"Duduklah terlebih dulu, Indira. Tuan Edbert belum datang, kamu beruntung," ucap Shanty sekretaris dari Edbert.

Melly tentunya sudah memberikan keterangan terlebih dahulu kepada Shanty tentang siapa nama temannya, dia juga memberitahukan kepada Shanty jika sahabatnya pernah bekerja di perusahaan ternama di daerah asal mereka.

"Alhamdulillah, iya, Kak." Indira langsung duduk sesuai dengan titah dari Shanty.

Baru saja dia duduk di samping Shanty, pintu ruangan tersebut nampak terbuka. Jantung Indira seakan berpacu dengan cepat ketika dia melihat siapa yang datang.

'Apakah itu tuan Edbert? Kalau iya, mampus gue. Mana tadi gue minta tumpangan lagi sama dia,' gerutu Indira dalam hati.

Indira langsung bangun, lalu dia membungkuk hormat ke arah Edbert. Dia terus saja menunduk karena malu dan juga takut, belum juga bekerja dia sudah merasa kurang ajar meminta tumpangan kepada calon atasannya sendiri.

Edbert tersenyum tipis saat melihat kelakuan Indira, lalu dia duduk di kursi kebesarannya. Lalu memperhatikan penampilan Indira dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wajah yang cantik, tubuh yang indah tetapi tertutup dengan baju panjang dan juga hijab.

"Siapa nama kamu?"

"Indira, Tuan." Indira menjawab pertanyaan dari Edbert dengan begitu gugup, dia bahkan terlihat meremat kedua tangannya secara bergantian.

"Mau apa kamu ke sini? Mau ngaji?" tanya Edbert lagi. Menurut Edbert penampilan Indira yang tertutup seperti itu lebih pantas untuk masuk ke dalam masjid daripada pergi bekerja.

"Eh? Mau kerja, Tuan. Ini surat lamarannya," ucap Indira.

Indira memberanikan diri untuk menatap wajah Edbert, lalu dia memberikan surat lamarannya kepada pria tampan itu. Setelah itu, dia kembali menunduk karena tidak berani menatap lama-lama wajah dari calon atasannya itu.

"Hem! Bagus, sesuai dengan kriteria saya. Tapi, bisakah kamu melepas hijab kamu dan berpakaian menarik agar bisa bekerja dengan saya?" tanya Edbert setelah dia membaca surat lamaran kerja dari Indira.

Edbert merasa jika Indira memiliki tubuh yang indah, dia merasa kesal ketika Indira memakai baju tertutup seperti itu. Karena itu artinya dia tidak bisa melihat keindahan lekuk tubuh wanita yang selalu membuatnya otaknya ber-travelling kemana-mana.

Indira dan Shanty terlihat begitu kaget mendengar apa yang dikatakan oleh Edbert, terlebih lagi dengan Indira. Dia bahkan langsung memberanikan diri untuk menatap wajah Edbert.

"Saya tidak bisa melepas hijab saya, Tuan." Indira menatap Edbert dengan begitu sedih, dia takut jika Edbert tidak akan menerima dirinya untuk bekerja di sana.

"Oke! Tidak masalah, yang penting kamu harus memakai baju yang modis dan tidak membosankan. Jangan pake kain menjuntai panjang kaya gini, sakit mata saya liatnya," ucap Edbert.

"Iya, Tuan," jawab Indira gugup.

"Hem! Sekarang pergilah dengan Shanty, belajar yang benar sebelum dia cuti. Saya tidak mau ada kesalahan sedikit pun," perintah Edbert.

"Baik, Tuan. Saya akan berusaha untuk belajar dengan baik, saya akan berusaha untuk tersenyum bekerja dengan baik." Gadis berhijab itu berkata dengan penuh semangat.

Edbert menolehkan wajahnya ke arah Shanty, dia meminta Shanty agar bisa segera keluar dari ruangan kerja miliknya. Shanty yang paham langsung mengajak Indira untuk pergi dari sana.

"Ya ampun, Kak. Dia itu judes banget, aku sampai takut dibuatnya." Indira mengutarakan isi hatinya setelah dia sampai di ruangan Shanty.

"Dia itu tidak judes, tetapi pencinta wanita. Elu harus hati-hati sama dia, karena dia itu casanova kelas kakap." Shanty mengingatkan Indira seraya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

Dia sudah sangat lelah, pinggangnya bahkan sering terasa panas. Perut bagian bawahnya juga sering terasa sakit, beruntung Melly mengatakan jika dia punya teman yang butuh pekerjaan.

"Ya ampun, pantas saja dia meminta aku untuk memakai baju yang menarik dan melepas hijab," ucap Indira lirih.

"Gue harap elu bisa lebih hati-hati saat bekerja dengan si bos, jangan sampai elu bunting. Karena dia ngga bakal nikahin elu," ingat Shanty.

''Ya ampun, sepertinya aku harus waspada."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Cucu Suliani

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku