/0/28795/coverbig.jpg?v=bc9886bdf6a06f6c3f6f1537fdcf11fe&imageMogr2/format/webp)
Rafindra Mahardika adalah pewaris tunggal dari keluarga ningrat, selalu ditekan oleh ayahnya untuk segera memastikan kelanjutan garis keturunan setelah putri satu-satunya meninggal dunia, meninggalkan seorang cucu perempuan. Rafindra hanya memiliki satu putri karena istrinya tak mampu lagi memberinya anak. Nadira Azzahra, gadis muda berusia 19 tahun, terpaksa menikah di bawah ancaman pamannya yang bersikeras tidak akan membiayai pengobatan ibunya jika Nadira menolak. Padahal, Nadira telah memiliki kekasih, Farel, yang mencintainya dengan tulus. Di tengah pernikahan yang dipaksakan itu, Nadira harus menghadapi berbagai tekanan dan perlakuan buruk, terutama dari istri pertama suaminya, tanpa ada pembelaan dari Rafindra. Pertanyaannya: mampukah Nadira bertahan dan melindungi hatinya, atau akankah ia terseret dalam intrik keluarga yang kejam dan penuh rahasia?
Langit sore menutupi kota dengan warna oranye yang memudar, namun hati Nadira Azzahra sama sekali tidak merasakan ketenangan dari senja itu. Ia duduk di kursi kayu yang goyah, matanya menatap kosong ke luar jendela, sementara pikirannya bergelut dengan kebingungan dan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Suasana rumah pamannya yang megah terasa menekan, dingin, dan penuh bayangan yang membuatnya merasa seperti tawanan.
"Sudah kubilang, Nadira. Ini bukan permintaan, tapi keputusan. Kalau kau menolak, jangan harap aku akan membiayai pengobatan ibu. Kau tahu ibumu tidak akan bertahan tanpa biaya itu," suara pamannya, Herman, terdengar keras, memecah keheningan yang menyesakkan itu.
Nadira menundukkan kepala, bibirnya bergetar. Rasanya seperti seluruh dunia menekan dirinya dari segala arah. Ia tahu pamannya tidak akan pernah main-main, apalagi soal uang yang telah dipersiapkannya untuk pengobatan ibunya. Namun di hati kecilnya, ada rasa sakit yang membakar: ia memiliki Farel, kekasihnya yang telah lama mencintainya dengan tulus. Mereka berdua telah merencanakan masa depan bersama, bahkan bermimpi membangun keluarga kecil yang hangat. Tapi sekarang, semua rencana itu terasa hancur begitu saja.
"Aku... aku tidak ingin menikah lagi, Paman," Nadira mencoba suaranya terdengar tegar, tapi suara itu pecah di tengah kata-kata.
Herman menghela napas panjang, matanya yang tajam menatap Nadira seakan menilai kelemahan setiap serat tubuhnya. "Ini bukan soal keinginanmu, Nadira. Kau harus mengerti posisi keluarga ini. Aku tidak bisa membiarkan garis keturunan keluarga Mahardika terhenti begitu saja. Putri kita sudah meninggal, meninggalkan seorang cucu perempuan. Dan kau, Nadira... kau satu-satunya jalan untuk memastikan semuanya tetap berjalan. Rafindra Mahardika menunggu seorang istri yang bisa melanjutkan garis keturunan."
Rafindra Mahardika. Nama itu membuat dada Nadira sesak. Pemuda itu adalah pewaris tunggal keluarga besar Mahardika, dikenal dingin, tegas, dan memiliki aura yang membuat siapa pun takut untuk menentangnya. Ia bukan sekadar pria biasa; dia adalah simbol kekuasaan, kaya raya, dan menakutkan sekaligus memikat. Namun bagi Nadira, Rafindra hanyalah bayangan yang menakutkan - lelaki yang akan memaksanya menjadi sesuatu yang bukan dirinya, seorang pengantin tanpa cinta, tanpa pilihan.
"Aku mencintai Farel," bisiknya lirih, seolah kata-kata itu hanyalah mantra yang menempel pada hatinya.
Herman mengernyit. "Cinta? Jangan bermimpi. Cinta tidak akan mengubah fakta bahwa ini adalah keputusan keluarga. Kau mau ibu mati atau kau mau melakukan apa yang benar untuk keluarga ini?"
Air mata Nadira mulai menetes tanpa bisa ia tahan. Ia menutup wajahnya dengan tangan, merasakan dada yang sesak dan tubuh yang gemetar. Ia merasa dunia ini terlalu kejam, menuntutnya memilih antara cinta dan nyawa orang yang paling ia cintai: ibunya.
Sementara itu, di tempat lain, Rafindra Mahardika tengah duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi buku-buku tebal, lukisan-lukisan antik, dan jendela besar yang menghadap ke taman keluarga yang rapi. Ia menerima pesan dari asistennya tentang situasi terbaru. Dengan satu tatapan dingin, ia tahu bahwa ia harus segera bertindak. Ia telah mendengar tentang gadis muda bernama Nadira Azzahra, yang konon memiliki keberanian dan keteguhan hati, meskipun berusia baru sembilan belas tahun. Rafindra tidak tertarik pada cinta atau emosi; baginya, pernikahan ini adalah perintah keluarga, kewajiban yang harus dipenuhi.
Namun, di lubuk hatinya yang jarang terlihat orang, ada rasa penasaran. Apa yang membuat gadis itu begitu menolak? Apa yang membuatnya berbeda dari wanita lain yang mudah menyerah pada tekanan keluarga? Rafindra meneguk kopi panasnya, matanya menatap jauh ke kejauhan, sambil merencanakan strategi untuk menghadapi situasi yang segera akan menimpa mereka berdua.
Malam itu, Nadira dipanggil kembali ke ruang tamu, di mana pamannya sudah menunggu bersama seorang pengacara yang siap menyiapkan dokumen pernikahan. Hatinya berdebar kencang, setiap langkah terasa seperti menembus badai. Rafindra Mahardika muncul di pintu, tinggi, tegap, dan dengan wajah yang hampir tak menampakkan emosi apa pun. Pandangan mereka bertemu untuk sesaat, dan dalam sekejap Nadira merasakan sesuatu yang asing: takut sekaligus penasaran.
"Selamat malam, Nadira," suara Rafindra terdengar lembut tapi tegas, membuat seluruh tubuhnya menegang.
"Selamat malam, Tuan Mahardika," Nadira menjawab dengan suara serak, mencoba menyembunyikan getaran yang jelas terdengar.
Rafindra mengangguk, menatapnya dengan seksama. "Aku mendengar banyak tentangmu. Kau gadis yang kuat, meskipun berusia muda."
Nadira tidak tahu harus membalas apa. Ia hanya bisa menundukkan kepala, merasakan panas yang menyebar ke wajahnya. Ia tahu komentar itu bukanlah pujian hangat, melainkan penilaian yang dalam dan menusuk. Rafindra Mahardika selalu menilai orang dari cara mereka bertahan menghadapi tekanan, dan Nadira merasa setiap detik pertemuan itu adalah ujian.
Herman menyingkir, memberikan mereka ruang. "Mulailah. Aku tidak ingin membuang waktu lagi," katanya singkat.
Rafindra melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari Nadira. "Ini akan sulit bagimu. Tapi kau harus mengerti posisiku juga. Aku memiliki tanggung jawab besar pada keluarga. Aku tidak bisa menolak perintah ayahku, sama seperti kau tidak bisa menolak pamannmu."
Nadira menelan ludah, hatinya bergolak. "Aku... aku hanya ingin... kebahagiaan sederhana. Aku tidak ingin menikah karena paksaan."
Rafindra menghela napas, seolah mencoba memahami perasaan gadis itu. "Kebahagiaan? Kadang hidup tidak memberikan kita pilihan. Tanggung jawab keluarga, kewajiban terhadap garis keturunan... semua itu lebih penting daripada keinginan pribadi. Itu dunia nyata."
Air mata Nadira menetes lagi, tapi kali ini ada sedikit keberanian yang muncul. "Kalau begitu, Tuan Mahardika, jangan berharap aku akan menyerah begitu saja. Aku mungkin lemah karena usiaku, tapi aku tidak akan menjadi boneka yang mudah dikendalikan."
Rafindra tersentak sedikit. Ia belum pernah mendengar wanita muda berbicara dengan keberanian seperti itu padanya. Namun ia segera menyembunyikan rasa kagumnya di balik wajah dinginnya. "Kau akan belajar cepat, Nadira. Aku tidak akan menjadi suami yang manis dan lembut. Tapi aku akan menuntutmu memahami satu hal: pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang tanggung jawab."
Malam itu terasa panjang bagi Nadira. Ia kembali ke kamar, duduk di tepi tempat tidur sambil menatap langit-langit. Hatinya penuh kebingungan, tapi satu hal jelas: ia tidak akan menyerah pada tekanan, meskipun seluruh dunia menentangnya. Ia merindukan Farel, rindu akan pelukan hangatnya, dan rindu suara lembutnya yang selalu menenangkan. Namun semuanya terasa jauh sekarang, seakan dunia membentang antara dirinya dan cinta sejatinya.
Di sisi lain kota, Rafindra menatap langit malam dari jendela ruang kerjanya, pikirannya juga tidak tenang. Gadis muda itu menimbulkan konflik batin yang jarang ia rasakan. Ia bukan tipe pria yang mudah terpengaruh, tapi ada sesuatu pada Nadira yang membuatnya ingin mengerti lebih jauh, ingin mengetahui apa yang membuat gadis itu begitu gigih. Namun ia menepis perasaan itu, mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tidak boleh terjebak pada emosi.
Keesokan harinya, Nadira mulai merasakan perubahan drastis dalam hidupnya. Para pelayan yang biasanya ramah, kini bersikap dingin dan penuh rasa menilai. Istri pertama Rafindra, Clarissa, muncul dengan senyum tipis yang penuh sindiran. "Selamat datang, Nadira. Semoga kau kuat menghadapi semua ini. Dunia Rafindra tidak mudah bagi wanita muda sepertimu."
Nadira menelan ludah, mencoba tersenyum tipis. "Terima kasih, Bu Clarissa."
Clarissa mencondongkan tubuh sedikit, matanya tajam menatap Nadira dari atas ke bawah. "Kau akan belajar cepat bahwa di sini, aku adalah wanita yang berpengaruh. Jangan membuat kesalahan."
Rasa takut dan kebingungan Nadira muncul lagi. Ia menyadari bahwa pernikahan ini bukan hanya soal Rafindra dan dirinya, tetapi juga soal dinamika keluarga yang kompleks, intrik yang tersembunyi di balik senyum dan ucapan manis, serta tekanan yang datang dari semua arah.
Hari demi hari, Nadira mulai merasakan beratnya hidup baru ini. Tugas-tugas rumah tangga, aturan ketat, dan perlakuan dingin Clarissa membuatnya hampir menyerah. Tapi di dalam hatinya, satu hal tetap menyala: cintanya pada Farel, dan tekadnya untuk tidak membiarkan ibu tercinta menjadi korban dari pengorbanan yang tidak adil.
Dan di sinilah mereka memulai babak baru dalam hidup masing-masing. Nadira, gadis muda penuh keberanian, dan Rafindra, pewaris tunggal keluarga Mahardika yang dingin dan berwibawa, kini terikat dalam pernikahan yang dipaksakan, di mana cinta, pengorbanan, dan konflik tak terelakkan akan segera menghancurkan atau memperkuat mereka.
Siapa yang akan menang dalam permainan ini? Apakah Nadira mampu bertahan menghadapi tekanan, atau Rafindra akan menemukan cara untuk menaklukkan hati gadis itu? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Pagi itu udara di rumah keluarga Mahardika terasa berat, meski matahari bersinar terang di luar. Nadira Azzahra menatap cermin di kamar barunya, wajahnya pucat, mata sembab akibat air mata semalam. Rambutnya yang panjang diikat sederhana, pakaian yang ia kenakan terlihat rapi, tapi ia merasa seperti boneka dalam dunia yang tidak ia kenal.
Di luar kamar, langkah Clarissa terdengar jelas, memecah keheningan. Suara heels-nya yang berderap di lantai marmer seolah menandai bahwa hari Nadira akan penuh ujian.
"Selamat pagi, Nadira," suara Clarissa terdengar manis, tapi penuh sindiran. "Aku harap kau sudah terbiasa dengan rumah ini. Semua di sini berbeda dari tempat asalmu. Kau harus cepat belajar, kalau tidak..."
Nadira menelan ludah, berusaha menatap Clarissa dengan tenang. "Aku akan berusaha, Bu Clarissa."
Clarissa tersenyum tipis, matanya menyipit. "Berusaha saja kadang tidak cukup. Di sini, aku yang mengatur segalanya. Kau hanya tamu yang harus menyesuaikan diri."
Nadira merasakan ketakutan yang menusuk. Ia tahu Clarissa bukan sekadar istri pertama yang menjaga posisi; wanita itu memiliki pengaruh besar dalam keluarga Mahardika. Setiap langkah Nadira akan diawasi, setiap kata akan dinilai.
Di ruang makan, Rafindra sudah menunggu, duduk tegap di kursi kepala. Pagi itu wajahnya serius, tapi tatapannya tak lepas dari Nadira saat ia masuk. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tapi karena campuran rasa penasaran dan ketegangan yang ia sendiri jarang rasakan.
"Selamat pagi," Nadira menyapa pelan.
Rafindra mengangguk singkat. "Pagi." Suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang menembus udara di sekelilingnya. "Sarapan sudah tersedia. Pastikan kau tidak membuat kesalahan."
Nadira mengangguk, meskipun hatinya merasa tertekan. Ia duduk di kursi, mencoba menenangkan diri. Tapi di sudut pikirannya, bayangan Farel terus menghantui. Ia rindu suara lembutnya, senyumannya yang selalu membuat dunia terasa lebih ringan, dan pelukan hangat yang seakan melindunginya dari semua bahaya.
Clarissa masuk, menatap Nadira dengan dingin. "Rafindra, jangan terlalu banyak menatapnya. Gadis itu harus belajar bahwa posisinya tidak lebih dari seorang menantu, bukan ratu rumah ini."
Rafindra menatap Clarissa sebentar, kemudian mengalihkan pandangan ke piringnya. Suasana menjadi tegang, Nadira merasakan getaran di udara, seakan semua orang menunggu kesalahannya.
Hari itu, Nadira diperkenalkan pada seluruh staf rumah, mulai dari kepala pelayan hingga tukang kebun. Setiap orang tampak sopan, tapi matanya penuh rasa menilai. Nadira sadar, ia tidak boleh membuat kesalahan kecil, karena setiap hal akan menjadi bahan gosip atau sindiran, baik dari staf maupun Clarissa.
Di tengah kesibukan itu, Rafindra berdiri dan mendekati Nadira. "Aku akan menjelaskan aturan rumah ini. Kau harus mengikutinya tanpa pertanyaan," katanya tegas.
Nadira mengangguk, meski hatinya memberontak. "Aku akan mencoba, Tuan Mahardika."
Rafindra menatapnya tajam, seakan menilai keteguhan gadis itu. "Mencoba tidak cukup. Aku ingin hasil, bukan niat. Kau harus terbiasa dengan jadwal, tugas, dan cara hidup di sini. Jika tidak, kau akan cepat merasa tersingkir."
Setelah itu, Rafindra meninggalkan ruangan, meninggalkan Nadira yang merasakan beban baru di pundaknya. Ia menatap jendela, mencoba mencari udara segar, tapi hanya menemukan rasa cemas yang semakin menekan.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat dan melelahkan. Nadira harus mengikuti aturan ketat rumah Mahardika: bangun pagi, mengatur kamar, berlatih sopan santun ala keluarga ningrat, dan menghadapi setiap perkataan Clarissa yang menusuk hati. Clarissa selalu mencari celah untuk menjatuhkannya, baik dengan komentar sindiran maupun perbandingan dengan wanita lain yang pernah tinggal di rumah itu.
Suatu sore, ketika Nadira sedang merapikan buku-buku di ruang perpustakaan, Clarissa muncul tiba-tiba. "Apa yang kau lakukan di sini? Buku-buku itu bukan untukmu. Kau harus tahu batasanmu," katanya dingin.
Nadira menunduk, mencoba menahan emosi. "Maaf, Bu Clarissa. Aku hanya ingin membantu merapikan."
Clarissa tersenyum tipis, tapi matanya menyipit. "Membantu? Jangan berpura-pura. Kau pikir ini rumahmu? Di sini, kau harus belajar bahwa setiap langkahmu akan diawasi."
Nadira menarik napas dalam, hatinya bergejolak. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi ingatannya tentang Farel membuatnya menahan diri. Ia tahu, jika ia membuat masalah sekarang, ia akan semakin terpojok.
Malam itu, saat sendirian di kamar, Nadira membuka pesan di ponselnya. Pesan dari Farel membuat hatinya sedikit hangat:
"Nadira, aku tahu ini berat. Tapi kau harus kuat. Aku akan menunggu, tidak peduli berapa lama. Jangan menyerah pada mereka. Cinta kita akan bertahan."
Air mata Nadira jatuh lagi, tapi kali ini disertai rasa haru. Ia merasa bahwa meski dunia menekannya, masih ada seseorang yang memahaminya, yang mencintainya tanpa syarat.
Namun, tekanan di rumah Mahardika semakin nyata. Rafindra mulai memperhatikan sikap Nadira lebih intens. Ia menuntut kesopanan, ketelitian, dan ketundukan. Setiap kali Nadira melakukan kesalahan kecil, Rafindra menegur dengan ketegasan yang menusuk hati, meski tidak pernah kasar.
Di sisi lain, Clarissa semakin lihai menanamkan rasa takut di hati Nadira. Ia kerap membicarakan masa lalu keluarga, membandingkan Nadira dengan wanita lain, dan menekankan bahwa Nadira harus membuktikan dirinya layak menjadi bagian dari keluarga Mahardika.
Suatu hari, saat Nadira mencoba belajar mengatur jadwal rumah tangga, ia tanpa sengaja menjatuhkan cangkir antik milik Rafindra. Cangkir itu pecah berkeping-keping, dan suara benturan itu seperti alarm bagi seluruh rumah.
Rafindra muncul seketika, wajahnya tegang. Nadira menunduk, jantungnya berdebar kencang. "Maaf, Tuan Mahardika. Aku tidak sengaja."
Rafindra menatap pecahan cangkir, kemudian menatap Nadira. "Aku harap ini menjadi pelajaran. Di rumah ini, setiap tindakan memiliki konsekuensi. Kau harus lebih berhati-hati. Tidak ada toleransi untuk kelalaian."
Nadira menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Ia merasa dunia semakin menekan, tapi ia menolak menyerah. Di hatinya, satu hal jelas: ia harus bertahan, demi dirinya, demi ibunya, dan demi cintanya pada Farel.
Malam itu, Rafindra duduk sendiri di ruang kerja, memikirkan Nadira. Ia tidak pernah menyangka seorang gadis muda bisa membuatnya begitu penasaran. Ia tidak tertarik pada cinta, tapi ada rasa ingin tahu yang aneh mengenai keberanian dan keteguhan hati Nadira. Ia mulai menyadari bahwa gadis itu bukan sekadar tamu atau pengantin yang dipaksakan; ada sesuatu pada dirinya yang membuat Rafindra ingin memahami lebih jauh, ingin melihat sampai seberapa kuat Nadira bisa bertahan.
Di saat yang sama, Nadira menulis surat untuk Farel, mencurahkan isi hatinya yang penuh kebingungan dan ketakutan. Ia menulis tentang hari-hari yang berat, tentang Rafindra yang tegas dan Clarissa yang menusuk, tentang rasa rindu yang terus membara pada Farel. Tapi ia juga menulis tentang tekadnya untuk tetap kuat, untuk tidak menyerah pada tekanan yang datang dari segala arah.
Hari-hari berlalu, dan setiap pertemuan dengan Rafindra membuat Nadira semakin belajar tentang dunia baru ini. Ia mulai memahami bahwa pernikahan ini bukan sekadar tentang cinta, tapi tentang kekuasaan, tanggung jawab, dan strategi bertahan hidup. Ia belajar menahan emosi, merencanakan langkah, dan berpikir cepat setiap kali Clarissa mencoba menjatuhkannya.
Di sisi lain, Rafindra mulai melihat Nadira dengan mata berbeda. Gadis itu bukan sekadar pengantin muda yang lemah. Ia memiliki keberanian, keteguhan hati, dan kecerdikan yang membuat Rafindra sulit mengabaikannya. Ia mulai menyadari bahwa pernikahan yang dipaksakan ini mungkin tidak seburuk yang ia bayangkan. Bahkan, dalam diam, ia merasa tertarik pada keteguhan hati Nadira, meski ia tidak akan mengakuinya.
Namun, dunia mereka masih penuh rintangan. Pamannya Nadira selalu menekan, Clarissa selalu mengintai setiap kesalahan, dan Rafindra selalu menuntut kesempurnaan. Nadira tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Ia harus tetap kuat, tetap cerdas, dan tidak membiarkan tekanan menghancurkan semangatnya.
Malam itu, sebelum tidur, Nadira menatap jendela kamarnya, menatap bintang yang berkilau di langit. Ia berbisik pelan, "Aku tidak akan menyerah. Aku harus bertahan, demi ibu... dan demi cintaku pada Farel."
Dan di luar, Rafindra berdiri di balkon, memandang kota yang tenang, pikirannya bergumul. Ia tahu bahwa gadis muda itu akan menguji kesabarannya, kekuasaannya, bahkan hatinya. Tapi satu hal pasti: hidup mereka kini saling terkait, dalam pernikahan yang dipaksakan, namun penuh intrik, tantangan, dan kemungkinan tak terduga.
Bab 1 Siapa yang akan menang
20/10/2025
Bab 2 mulai menyadari bahwa gadis itu bukan sekadar pengantin
20/10/2025
Bab 3 hatinya tetap resah
20/10/2025
Bab 4 menemukan kekuatannya sendiri
20/10/2025
Bab 5 gadis ini mampu menembus dinding hatinya yang dingin
20/10/2025
Bab 6 rencananya
20/10/2025
Bab 7 mereka terasa semakin rumit
20/10/2025
Bab 8 pilihan bisa mengubah masa depan
20/10/2025
Bab 9 cinta yang mulai tumbuh
20/10/2025
Bab 10 kembali menjadi satu
20/10/2025
Bab 11 hingga menimbulkan suara
20/10/2025
Bab 12 melupakan semuanya
20/10/2025
Bab 13 rahasia keluarga
20/10/2025
Bab 14 lebih kejam
20/10/2025
Bab 15 takut mengusik ketenangan
20/10/2025
Bab 16 awal dari penyelidikan
20/10/2025
Bab 17 sekalipun nyawa mereka terancam
20/10/2025
Bab 18 tidak akan kalah
20/10/2025
Bab 19 menentukan nasib keluarga
20/10/2025
Bab 20 Jangan panik
20/10/2025
Bab 21 Nadira tidur dengan satu tekad
20/10/2025
Bab 22 Beberapa jam mengamati
20/10/2025
Bab 23 Nadira diuji pada satu malam ini
20/10/2025
Bab 24 berdegup kencang
20/10/2025
Buku lain oleh Faisal Akhmad
Selebihnya