/0/28799/coverbig.jpg?v=e7af3833ba6d68284e5eaeb3f44242e3&imageMogr2/format/webp)
Sera merasa kelelahan menghadapi perubahan sikap Darren, yang tiba-tiba mulai menunjukkan perhatian berlebihan padanya. Pria itu tampak semakin terobsesi sejak mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan Sera-bahwa ia tidak pernah menyerah pada godaan Darren di hotel tiga tahun lalu. Namun, sayangnya bagi Darren, waktu sudah tidak berpihak padanya. Kehadiran seorang pria baru, Alvin, yang dulu pernah menolong Sera di saat paling rapuhnya, mulai membuka pintu hatinya. Kehangatan yang diberikan Alvin bukan sekadar perhatian biasa, tapi cinta tulus yang selama ini dicari Sera. Perlahan, Sera mulai menyadari bahwa cinta sejati bukan tentang obsesi atau penyesalan, melainkan tentang rasa aman, dihargai, dan dicintai sepenuh hati. Kini, Sera berdiri di persimpangan pilihan: mengejar Darren yang kini menyesal, atau membiarkan hatinya terbuka untuk Alvin, pria yang membawa kehangatan sejati dan rasa aman yang selama ini ia dambakan.
Sera menatap layar ponselnya dengan mata yang berat. Notifikasi dari Darren berulang kali muncul, menandakan bahwa pria itu kembali mencoba memasuki kehidupannya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Nada pesannya bukan lagi dingin dan arogan seperti dulu, melainkan hangat, penuh perhatian, bahkan... sedikit memaksa.
"Sera... apakah kamu baik-baik saja hari ini?"
Sera menarik napas panjang, menekan tombol delete tanpa membalas. Entah kenapa, setiap kali melihat nama Darren, hatinya selalu berdebar, antara marah, kecewa, dan sedikit rasa nostalgia yang tak diinginkan. Tiga tahun lalu, di sebuah hotel mewah yang sama tempat mereka pernah bertemu, Sera nyaris menyerah pada tekanan Darren, tapi ia menolak dengan tegas. Rahasia itu hanya diketahui Darren, dan sekarang ia tampaknya menggunakan informasi itu untuk mencoba mempengaruhi Sera kembali.
Dia menutup mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. "Tidak, Sera. Jangan terpengaruh," bisiknya sendiri. "Dia hanya menyesal sekarang. Jangan beri ruang sedikit pun."
Namun, meski hatinya berusaha keras menolak, tubuhnya tetap terasa lelah. Perubahan sikap Darren yang tiba-tiba menjadi perhatian dan hangat membuatnya bingung. Bagaimana bisa seorang pria yang selama ini dingin dan manipulatif tiba-tiba menjadi pria yang peduli? Apakah benar ia berubah, atau hanya ingin mendapatkan apa yang dulu gagal ia raih?
Sera menegakkan punggungnya dan berjalan ke balkon apartemennya. Malam itu kota dipenuhi cahaya lampu dan suara kendaraan, namun hatinya lebih gelap daripada langit malam. Ia menatap jauh ke jalanan di bawah, mencoba menenangkan diri, ketika suara langkah kaki di belakangnya membuat tubuhnya menegang.
"Sera."
Sebuah suara hangat memanggil, dan Sera menoleh. Di sana berdiri Alvin, pria yang pernah menolongnya tiga tahun lalu ketika ia berada di titik terendah. Sosoknya tampak familiar, namun kini ada aura tenang dan kuat yang membuat Sera merasa aman.
"Alvin... kau di sini?" Sera terkejut.
"Ya," jawabnya dengan senyum lembut. "Aku mendengar kabar tentangmu... dan aku ingin memastikan kau baik-baik saja."
Sera merasa campuran antara lega dan canggung. Sudah lama ia tidak melihat Alvin, dan kehadirannya kini begitu berbeda dengan Darren. Ia membawa rasa aman, bukan tekanan. "Aku... baik. Terima kasih sudah peduli," katanya, suaranya sedikit gemetar.
Alvin melangkah lebih dekat, menatap matanya dengan penuh ketulusan. "Sera, aku tahu kau telah melalui banyak hal. Aku hanya ingin kau tahu... ada orang yang tulus ingin melihatmu bahagia, bukan sekadar menyesal atau memaksamu."
Sera menunduk, hatinya bergetar. Kata-kata itu seperti menampar hatinya dengan lembut, mengingatkannya pada kenyamanan yang ia rindukan selama ini. Darren mungkin menyesal, tapi kata-kata Darren selalu meninggalkan bekas luka, sementara Alvin... hanya membawa kehangatan.
Malam itu, mereka berdiri di balkon, hanya ditemani suara angin dan cahaya kota yang berkelap-kelip. Sera merasakan sebuah dilema besar dalam hatinya. Ia sadar, cinta sejati bukan tentang penyesalan atau obsesi, tapi tentang rasa aman, dihargai, dan dicintai dengan tulus.
Kenangan yang Menghantui
Sera duduk di sofa, menatap langit-langit apartemen. Kenangan tiga tahun lalu kembali menghantui pikirannya. Hotel mewah itu, Darren yang memaksanya, rasa takut yang hampir membuatnya menyerah... semua itu masih terasa jelas. Namun kini, ada bayangan baru yang hadir: Alvin yang menolongnya, yang memberinya pilihan dan tidak pernah menekan hatinya.
Ia mengingat bagaimana Alvin datang di saat ia menangis tanpa daya, mengusap rambutnya, dan mengatakan, "Aku akan selalu ada untukmu, Sera. Tidak ada yang boleh menyakitimu."
Sera menutup mata, merasakan hangatnya kenangan itu. Darren mungkin tahu rahasianya, tapi Alvin adalah pria yang menunjukkan arti cinta sebenarnya. Ia menyadari bahwa perasaan yang muncul terhadap Alvin bukan sekadar rasa terima kasih, tapi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatinya berdegup lebih kencang setiap kali melihat senyumannya.
Ponsel Sera bergetar lagi. Notifikasi Darren muncul, kali ini dengan pesan panjang:
"Sera... aku tahu aku salah dulu. Tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa berubah. Aku mencintaimu."
Sera menatap pesan itu, tangannya gemetar. Perasaan campur aduk muncul-marah, terluka, dan sedikit tergoda. Tapi ia menolak untuk membiarkan dirinya terjebak lagi. Ia menekan tombol delete, lalu menatap Alvin yang kini duduk di kursi dekatnya, menunggu tanpa memaksa.
"Tidak semua orang bisa berubah, Sera," Alvin berkata lembut, seolah membaca pikirannya. "Kadang yang terbaik adalah melangkah maju dan memilih kebahagiaanmu sendiri."
Sera mengangguk pelan. Kata-kata itu menenangkan hatinya. Ia merasa untuk pertama kali dalam tiga tahun terakhir, hatinya bisa bernapas lega.
Kehadiran yang Menguatkan
Hari-hari berikutnya, Alvin terus hadir dalam hidup Sera dengan cara yang sederhana namun konsisten. Ia mengajak Sera minum kopi di pagi hari, mendengarkan keluh kesahnya tanpa menghakimi, dan selalu ada ketika Sera membutuhkan teman bicara. Darren, di sisi lain, semakin frustrasi karena usahanya mendapatkan perhatian Sera selalu diabaikan.
Suatu sore, saat hujan turun di luar, Sera dan Alvin duduk di dekat jendela. Hujan menetes pelan di kaca, menciptakan ritme yang menenangkan.
"Kau tidak takut, ya?" tanya Sera tiba-tiba.
"Tidak," jawab Alvin, menatap matanya. "Aku tahu kau kuat, tapi aku juga tahu kita semua butuh seseorang untuk menopang kita. Aku hanya ingin menjadi itu untukmu."
Sera menunduk, merasa hatinya hangat. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa perasaannya mulai condong ke Alvin. Bukan karena Darren menyesal atau mencoba memikatnya kembali, tapi karena Alvin adalah sosok yang benar-benar peduli dan mencintainya tanpa syarat.
Malam itu, ketika hujan mereda, Sera menatap langit yang mulai cerah. Ia menyadari satu hal: cinta sejati tidak datang dari penyesalan atau obsesi, tapi dari ketulusan dan rasa aman. Darren bisa saja menyesal, tapi hatinya kini mulai terbuka untuk Alvin, pria yang selama ini menjadi bayangan hangat di setiap kesepian Sera.
Sera menatap secangkir kopi yang mulai dingin di tangannya. Aroma kopi itu seharusnya menenangkan, tapi pikirannya kacau. Darren terus muncul dalam pikirannya, meski ia sudah bertekad untuk menjauh. Ia tahu pria itu menyesal, tapi cara Darren mencoba mendekatinya justru membuat hatinya semakin resah.
Sementara itu, Alvin duduk di seberangnya, menatapnya dengan lembut tanpa kata-kata. Kehadiran pria itu seakan memberi ketenangan tersendiri. Hanya dengan diam dan menatap, Alvin mampu membuat Sera merasa aman.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Sera," Alvin berkata akhirnya, suaranya hangat, penuh perhatian.
Sera menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Aku... hanya memikirkan masa lalu," jawabnya singkat. Ia tak ingin Alvin mengetahui semua komplikasi yang Darren ciptakan.
Alvin mengangguk, seolah mengerti lebih dari sekadar kata-kata. "Masa lalu memang sulit dihapus. Tapi kau tidak harus membiarkannya menguasai hari-harimu sekarang."
Sera menunduk, menyadari kebenaran itu. Masa lalu tiga tahun lalu selalu menjadi bayangan gelap yang mengekangnya, namun sekarang ada cahaya yang mulai masuk. Cahaya itu bernama Alvin.
Kejutan yang Tidak Terduga
Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Darren muncul, kali ini lebih emosional dan memohon.
"Sera... aku tahu kau mungkin marah, tapi tolong dengarkan aku. Aku menyesal telah menyakitimu. Aku... aku ingin memperbaikinya."
Sera menatap pesan itu, hatinya bergetar. Ia tahu Darren tidak akan menyerah begitu saja, tapi ia juga tahu ia tidak bisa lagi jatuh ke dalam lingkaran emosinya. Hanya Alvin yang memberinya rasa aman.
Tanpa sadar, ia mengetik pesan singkat, tapi tidak mengirimnya. "Tidak... tidak kali ini," bisiknya.
Alvin yang memperhatikan hal itu menepuk lembut tangannya. "Bagus. Kau membuat pilihan yang tepat, Sera."
Sera tersenyum samar, merasa hatinya sedikit lega. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Darren mungkin akan terus mencoba.
Pertemuan Tak Terduga
Beberapa hari kemudian, Sera memutuskan untuk pergi ke sebuah taman kota untuk menenangkan pikirannya. Cuaca cerah membuat suasana hati sedikit lebih ringan, meski hatinya tetap gelisah. Saat sedang duduk di bangku taman, ia melihat seseorang duduk di ujung bangku, membaca buku. Sosok itu tampak familiar.
Alvin.
"Alvin!" serunya, setengah terkejut, setengah lega.
Alvin menoleh dan tersenyum. "Sera... aku baru saja lewat dan melihatmu. Apa kabar?"
Sera merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Aku... baik," jawabnya pelan. "Hanya ingin berjalan-jalan sebentar."
Mereka berjalan bersama di jalan setapak yang dipenuhi bunga, suasana menjadi nyaman meski Sera masih merasakan kegelisahan kecil. Ia mulai menyadari bahwa setiap kali bersama Alvin, kekhawatirannya perlahan memudar. Tidak ada tekanan, tidak ada obsesi-hanya kehangatan yang nyata.
Bayangan Darren yang Mengintai
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Beberapa menit kemudian, Sera melihat sosok familiar yang duduk di bangku lain, menatapnya. Darren.
Sera merasakan tubuhnya tegang. Ia tidak ingin terlibat lagi, tapi ia juga tidak bisa menolak kenyataan bahwa Darren menyesal dan mencoba mendekatinya. Ia merasa dilematis, antara rasa marah dan sedikit rasa penasaran.
Alvin menatapnya, seolah membaca pikirannya. "Kau tidak harus menatapnya, Sera. Fokus pada dirimu sendiri."
Sera mengangguk, menarik napas dalam, dan mencoba menenangkan hatinya. Darren mungkin ada di sana, tapi ia tidak akan membiarkan masa lalunya mengendalikan hari ini.
Obrolan yang Membuka Hati
Setelah Darren pergi, Sera dan Alvin duduk di tepi danau kecil di taman. Alvin menatap air yang tenang, lalu menatap Sera.
"Sera, aku ingin kau tahu... aku tidak akan pernah memaksamu. Aku di sini hanya untuk mendukungmu, bukan untuk mengambil sesuatu darimu."
Sera tersenyum samar, merasa hangat. "Aku... aku tahu, Alvin. Terima kasih."
Mereka diam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman. Sera merasa hatinya mulai terbuka. Ia sadar bahwa cinta sejati bukan tentang obsesi atau penyesalan, tapi tentang ketulusan. Dan Alvin adalah sosok yang menunjukkan cinta itu padanya.
Konflik Batin yang Meningkat
Meski begitu, konflik batin Sera belum selesai. Malam itu, saat berada di apartemennya, Darren mengirim pesan panjang lagi, kali ini lebih emosional.
"Sera... aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Tolong beri aku kesempatan. Aku bersumpah akan berubah."
Sera menatap layar, hatinya bergetar. Ia tahu Darren benar-benar menyesal, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa lagi jatuh ke dalam lingkaran emosional itu.
Ia memutuskan untuk menulis jawaban di catatannya, bukan di ponsel:
"Darren, aku menghargai penyesalanmu. Tapi aku tidak bisa lagi membuka hatiku untukmu. Hatiku sudah menemukan ketenangan di tempat lain."
Menulis itu membuat hatinya lega. Ia sadar bahwa keputusan ini bukan tentang membenci Darren, tapi tentang mencintai dirinya sendiri.
Keputusan Awal
Hari-hari berikutnya, Sera semakin sering menghabiskan waktu dengan Alvin. Mereka pergi ke kafe kecil, berjalan di taman, dan berbagi cerita tentang masa lalu, mimpi, dan harapan. Alvin selalu mendengarkan tanpa menghakimi, memberinya rasa aman yang selama ini Sera dambakan.
Sera mulai menyadari satu hal: hatinya perlahan mulai condong ke Alvin. Bukan karena Darren menyesal, tapi karena Alvin benar-benar peduli, mencintai, dan memberinya ruang untuk bernapas.
Suatu malam, ketika mereka duduk di balkon apartemen Sera, menatap lampu kota yang berkelap-kelip, Alvin berkata lembut:
"Sera... aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku ingin kau tahu, aku akan selalu ada untukmu. Kau tidak harus takut jatuh cinta lagi. Aku ingin menjadi tempatmu merasa aman."
Sera menatapnya, merasakan hangat yang meresap ke dalam hatinya. Ia tersenyum, hati kecilnya bergetar. "Alvin... terima kasih. Aku... aku merasa aman bersamamu."
Malam itu, Sera menyadari satu hal yang penting: cinta sejati bukan tentang penyesalan atau obsesi, tapi tentang ketulusan dan kehangatan yang membuat hati tenang. Dan hatinya perlahan mulai memilih Alvin, pria yang selama ini menjadi bayangan hangat di setiap kesepian yang pernah ia rasakan.
Bab 1 menandakan bahwa pria itu kembali
20/10/2025
Bab 2 Ketika Hati Memilih
20/10/2025
Bab 3 masa lalu
20/10/2025
Bab 4 hatinya tetap tegas
20/10/2025
Bab 5 mengirim paket misterius
20/10/2025
Bab 6 menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan
20/10/2025
Bab 7 menghantui perlahan terangkat
20/10/2025
Bab 8 Hatinya terasa ringan
20/10/2025
Bab 9 ruangan yang hangat
20/10/2025
Bab 10 mendapatkan kebahagiaan
20/10/2025
Bab 11 Aku tahu kamu masih sayang aku
20/10/2025
Bab 12 Rasa yang dulu nyaris mustahil
20/10/2025
Bab 13 Semuanya tanpa izin
20/10/2025
Bab 14 bercampur menjadi satu
20/10/2025
Bab 15 kecemasan
20/10/2025
Bab 16 Sera tidur lelap di pelukan
20/10/2025
Bab 17 Hatinya sudah tidak tenang
20/10/2025
Bab 18 menggunakan segala cara
20/10/2025
Bab 19 apapun yang harus ia lakukan
20/10/2025
Bab 20 aku akan hentikan dia
20/10/2025
Bab 21 Napasnya tersengal-sengal
20/10/2025
Bab 22 dia salah besar
20/10/2025
Bab 23 kebebasan dari rasa takut
20/10/2025
Bab 24 menghantuinya
20/10/2025
Bab 25 Bukan hanya karena keberadaan
20/10/2025
Bab 26 belum bisa ia jelaskan
20/10/2025
Buku lain oleh Faisal Akhmad
Selebihnya