Syifa Aulia merupakan mahasiswa difabel satu-satunya yang masuk ke universitas ternama di kota J, ia memiliki keterbatasan pendengaran dan suara. Syifa sendiri tak pernah melepas dari doa, harapan memiliki lelaki seperti nabi Harun yang bisa menjadi penafsirnya. Kemudian, semesta berpihak padanya. Lelaki bernama Azka Halindra datang mengisi kehampaan Syifa dan menjadi penafsirnya. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Ikuti terus alurnya.
Sinar matahari datang menyapa memberikan kandungan ultraviolet yang baik bagi kesehatan tubuh. Sebuah roda sepeda berputar seiring kaki mengayuhnya, suara kendaraan berlalu lalang menusuk gendang telinga indah seseorang tanpa alat bantu dengar. Aroma pagi memberikan semangat tinggi kepada seorang wanita berdarah Korea-Indonesia,Aceh. Jilbab panjang menutupi dada dan gamis berwarna mocca serasi dengan kerudung yang dikenakan.
Duhai pagi, kenapa engkau tidak datang memberikan sinar keceriaanmu untuknya. Sebab pagi itu, mentari hanya memberikan sedikit sinar kedamaiannya. Kini sang surya bersembunyi di balik awan mendung. Kurang lebih lima belas menit gadis bermata cokelat itu mengayuh sepeda kini telah tiba di kampus Universitas A yang terkenal di kota J.
Wanita itu memarkirkan sepedanya di tempat khusus sepeda. Kampus itu benar-benar baik dan bagus bahkan tampak asri dan indah dipandang. Kaki panjangnya berjalan menyusuri koridor kampus hingga akhirnya sampai juga di kelas jurusan Bahasa Indonesia.
"Assalamualaikum," sapa wanita itu tanpa mendapatkan jawaban salam dari dalam. Ah, itu sudah menjadi kebiasaan baginya setiap membuka suara.
"Eh kamu sudah datang, Syifa?" tanya Ainun, teman satu kampus wanita itu tanpa membalas salam.
Syifa Aulia Rahmah adalah nama lengkap wanita tadi, ia seorang mahasiswa semester lima yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran dan tidak memiliki suara indah seperti yang lain. Wanita itu menduduki pantatnya di bangku bersebelahan dengan Ainun.
"Tumben telat lima menit," celetuk Ainun.
Syifa hanya menyengir, ingin menjawab tapi takut. 'Aku anterin dulu mamah,' batin Syifa untuk menjawab pertanyaan Ainun, tapi tidak mungkin ia lontarkan.
"Kamu sekarang presentase sama si Risti yah? Wah, semangat!" seru Ainun menunjukan dua kepalan tangan menandakan memberikan semangat untuk Syifa.
Syifa hanya tersenyum, lalu menempelkan jari-jari telapak tangannya kedagu lalu melepaskannya. Isyarat indah kata ajaib, 'terima kasih' sebutannya. Ainun mengangguk paham.
"Ah, sekelompok lagi gue sama si Eposito! Padahal gue berharap gue enggak mau sama dia, eh si kosma sialan malahan nyuruh gue sekelompok sama dia," kata Risti tanpa malu karena ia tahu bahwa Syifa tidak mungkin mendengar perkataannya.
"Bukan salah gue, gue cuman ngikutin kocokan nama. Yah, muncullah nama lo, Adinda, dan juga si itu," bela kosma-Alfidoh.
Adinda yang satu kelompok dengan Risti dan Syifa hanya memutar bola mata malas, dari semester satu hingga semester sekarang dirinya selalu sekelompok dengan Syifa entah itu disengaja atau cuman kebetulan. "Sudahlah, bukannya nilai itu diberikan masing-masing? Ngapain repot?!"
"Eh, masalahnya ngaruh kekelompok juleha! Kalau dia enggak jawab, kita juga kena imbasnya! Gimana sih," cibir Risti menatap tajam Adinda.
"Yah enggak apa-apa dong! Yang penting kita jawab, dia mah biarin ngapain diurus sih," kesal Adinda.
"Serah lo ah! Lo enggak bakalan ngerti juga," gerutu Risti tak terima.
Para mahasiswa di dalam hanya menarik nafas panjang saat mendengar suara gaduh Risti, sudah menjadi kebiasaan jika Risti itu terkenal dengan sifat tidak terimanya apabila satu kelompok dengan wanita bisu dan tuli yang tak lain adalah Syifa. Sebab, wanita itu ketika berbicara semua rasanya ingin pulang begitu saja apalagi sifat dosen mata kuliah yang dibimbing tak kalah.
"Woi, ada berita heboh!" teriak Fina, teman satu jurusan Syifa yang selalu heboh dengan segala situasi membuat mahasiswa semester lima terkejut dan menoleh kearah Fina.
Kosma melihat tingkah teman satunya hanya mendengus kesal. "Pelan-pelan kek, lo pikir ini hutan?!"
"Maaf, habisnya gue semangat banget mau nyampaiin berita," kata Fina tak berdosa sembari menampilkan ekspresi klepek-klepeknya.
"Ada apa sih emang?" tanya Risti.
Fina kemudian menarik nafas panjang. "Di kampus kita ada dosen baru katanya bakalan ngajar di kelas ini sebagai pengganti dosen Rodiah. Tapi, lo semua tau nggak dosen pengganti itu?"
Semua mahasiswa itu menggeleng, kecuali Syifa perempuan itu fokus pada catatan yang akan dipresentasikan hari ini.
"Dia adalah dosen muda, mana tampan lagi! Ya gusti, hidungnya mancung alisnya tebel, pokoknya paket komplit kayak pangeran Saudi yang tampan itu," jelas Fina melenyot.
Mahasiswa mendengar itu saling melempar pandang, seakan tak percaya dengan ucapan seorang Fina. Karena, wanita itu terkenal dengan mulut gibahnya.
"Jangan ngaco deh!" cibir Adinda, pasalnya belum pernah melihat dosen muda yang ada adalah bapak-bapak bertua.
"Eh, ntar lo bakalan kaget! Tunggu aja jam terakhir," ucap Fina. "Ketampanannya mengalahkan kak presiden mahasiswa kita," sambungnya dengan nada angkuh.
Tak lama kemudian, dosen mata kuliah yang ditekuni oleh mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia pun datang membawa berkas yang berisi daftar hadir mahasiswa. Dosen perempuan mengucapkan salam tentunya mendapatkan balasan dari mereka.
"Masya Allah, Puji Tuhan! Kalian semua tampak semangat gitu, ada apa?" tanya Dosen Aisyah.
"Tentu saja, Bu Dosen! Kan masih pagi," jawab Alfidoh selaku kosma semester lima.
Aisyah manggut-manggut mengerti. Kemudian netranya bertemu dengan netra para mahasiswa, dan mulai membuka suara. "Apa saya terlambat?"
"Tidak, Bu Dosen!" jawab mereka serempak.
"Oke, kalau begitu kelompok presentasi minggu ini dipersilahkan maju ke depan untuk mempresentasikan amanah yang saya berikan," jelas Aisyah ramah.
Tiga orang maju kedepan termasuk Syifa, wanita berusia dua puluh tahun itu membawa kertas berisi materi yang akan disampaikan, Alfidoh selaku kosma mempersiapkan laptop berisi presentasi yang akan dipaparkan.
"Baiklah silahkan dimulai." Aisyah angkat suara usai Alfidoh selesai dengan urusan laptopnya dan tampilan layar presentasi pun jelas dibaca.
Adinda selaku pemateri pertama sekaligus moderator pun membuka suara dan memulai pembicaraan, sampai akhirnya pengenalan kelompok pun disebutkan kecuali Syifa membuat Alfidon mendelik tajam namun wanita memasang muka santai atas ucapannya. Toh, dia yakin Syifa tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh dirinya.
Syifa sibuk menatap layar laptop yang akan disampaikan, dan menekan tombol selanjutnya. Sesekali ia menulis sesuatu dalam sebuah buku diarynya.
'Ayo kita berjuang sekali lagi, maaf kalau hari ini mengecewakan,' tulisnya di dalam buku catatan hariannya dengan indah.
Adinda menyampaikan itu selama kurang lebih sepuluh menit kini terganti oleh Risti dan presentasinya berlangsung selama kurang lebih sepuluh menit pula. Kini waktunya giliran Syifa untuk membuka suara.
"Baiklah, saya akan melanjutkan pem-."
"Cukup sekian dari yang kami sampaikan, mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan. Saya harap bisa dimaklumi, dan saya membuka sesi pertanyaan dan penambahan materi," potong Adinda cepat sebab ia tidak mendengar apa yang disampaikan oleh Syifa, pikirnya adalah mahasiswa semester ini akan membaca bagian Syifa.
Syifa tersenyum paham dan mengangguk, netranya tertuju pada pemandangan langit cerah. Tatapan sendu tersirat jelas, rasa sakit kembali datang. Langit biru memberikan keindahan kepada pecintanya, Syifa mulai menenangkan diri dengan memejamkan matanya selama dua detik.
Dua mahasiswa mulai bertanya, tentunya sesuai dengan pemaparan materi yang disampaikan. Alfidoh si kosma kebanggaan dosen dan Erick si kutu buku dengan kacamata tebalnya. Syifa hanya menunduk pasrah, sesekali netranya melirik pertanyaan yang ditulis oleh Adinda.
'Pertanyaan Erick, aku ingin menjawabnya itu terlalu mudah,' batin Syifa melirik Erick dengan tatapan sendu.
"Baiklah, saya akan menjawab pertanyaan dari Erick. Bedanya tema dan judul?" tanya Adinda mengulang pertanyaan Erick, lelaki yang duduk dibarisan paling belakang itu mengangguk benar.
Adinda mulai menjelaskan perbedaan antara Tema dan Judul yang sering disalah artikan, bahkan terkadang ketika menulis judul sering disamakan dengan tema yang tertera. Syifa hanya diam menatap layar laptop dengan perih. Ah, sangat sakit!
Hati lembut Syifa membatin, duhai diri yang teramat kasihan sanggupkah engkau bertahan. Jangan kau lontarkan kalimat tak pantas, dirimu terlalu istimewa untuk dipandang. Diibaratkan tulisan indah yang banyak pembaca malas membacanya.
Hatinya teriris dan tercubit, hanya harapan dan doa yang teralirkan dengan khusyuk di setiap helaan nafas. Jika boleh jujur, dalam hatinya ingin seperti orang lain. Pandai berbicara tanpa hambatan apapun, mendengar tanpa terhambat.
Jiwanya menjerit, mata ikut terpejam untuk beberapa saat. Nafasnya terasa berat, pundaknya terasa berat. Kakinya kehilangan tulang belulang untuk berjalan, badai datang menerjang jiwa yang rapuh. Duhai kasih, tuntunlah dirinya.
'Duhai Kasih, aku terjatuh. Kakiku patah karena beban yang aku pikul. Maka kuatkanlah pundak untuk menanggung beban yang kupikul, dan kuatkanlah kakiku untuk melangkah. Duhai kasih, aku ketakutan di tengah badai kegelapan,' jerit Syifa menghela nafas.
Bab 1 Syifa Aulia Rahmah
20/07/2023
Bab 2 Memanfaatkan Situasi
20/07/2023
Bab 3 Periksalah telingamu ke dokter THT!
20/07/2023
Bab 4 Sifatmu terlalu iri
20/07/2023
Bab 5 Semuanya akan baik-baik saja!
20/07/2023
Bab 6 Makna di balik mawar merah
20/07/2023
Bab 7 Bunga Hortensia
20/07/2023
Bab 8 Tiga Isyarat Indah
20/07/2023
Bab 9 Buket bunga terakhir
20/07/2023
Bab 10 Malam bahagia
20/07/2023