Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jovanca Sang Penggoda

Jovanca Sang Penggoda

Az Zidan

5.0
Komentar
33.1K
Penayangan
111
Bab

Jovanca Wanita badung, bar-bar dan juga ayam kampus. Pesonanya sangat menakjubkan hingga sangat mudah baginya untuk memikat seorang lelaki. Namun, nasib tidak semulus wajahnya. Dia terlahir sebagai yatim piatu dan tergolong dalam ekonomi rendah. Sehingga selama hidupnya dia harus banting tulang untuk memenuhi seluruh biaya hidupnya sehari-hari. Semakin lama dia merasa bosan dengan hidup yang dia habiskan dengan bekerja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencoba hal baru dengan memanfaatkan kecantikannya. Sehingga atas keisengannya menggoda pria justru membuat wanita itu terjebakdalam permainannya sendiri. Jovanca dikejar-kejar oleh para lelaki beristri, sementara dia mencintai lelaki lain. Ikuti terus kisah Jovanca... Selamat membaca bagi para reader yang khilaf mampir dilapak ini, jangan lupa tinggalkan jejak, like dan komen kalian...

Bab 1 Prolog

Bab 1 Prolog.

Seorang wanita dengan perut yang membuncit, dengan rambut yang dikucir kuda, membawa tongkat bisbol. Berjalan dengan kencang, tidak peduli dengan kondisi perutnya. Dia menggedor pintu rumah seorang wanita.

"Keluar kamu! Hei! Dasar jalang sialan! Aku akan mendobrak pintumu dan menghancurkan rumahmu jika kamu tidak segera membuka pintunya!" Wanita itu berteriak hingga otot lehernya terlihat.

Dari dalam gadis anggun itu berjalan degan malas dan membuka pintu.

"Ap..." Belum sempat dia selesai menyelesaikan ucapannya tongkat bisbol itu sudah melayang dikepalanya.

"Akh!" Gadis itu kesakitan dan terhuyung. Wanita bunting itu tetap ingin menyerangnya. Hingga pria yang diduga suaminya itu merebut tongkat bisbol tersebut dan membuangnya.

Sementara itu, gadis yang menjadi korban memegangi kepalanya yang terasa pening.

"Sialan! Bawa pergi wanitamu! Dasar, gila!" umpatnya.

Meski mulutnya tetap menteriaki gadis yang terluka itu, tetapi pria disampingnya berhasil membawa istrinya pergi dari rumah bercat putih itu.

Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Sepasang heels dan tas beserta isinya berserakan di atas lantai. Suara gebrakan pintu tertutup dengan kasar memenuhi ruangan berukuran enam kali enam meter itu.

Seorang gadis berpostur tinggi dan memiliki kulit putih meremas rambut lurusnya yang kini berantakan akibat ulah perempuan baru saja keluar dari kamarnya tadi. Sebab, menganggap dia, Jovanca. Telah merebut kekasihnya yang sebentar lagi akan dinikahinya.

Dia menghempaskan tubuhnya pada kursi bulat diatas lantai. Penampilannya yang tidak karuan membuatnya terlihat mengerikan.

"Sial! Kenapa harus aku? Tidak bisakah, meminta mahasiswa lain? Gila!" umpatnya.

Wanita itu menatap sekeliling kamar sempit, sangat berantakan, dan tidak layak disebut dengan kamar. Dia bangkit, dan menghampiri koper yang ia letakkan di sudut ruangan.

Bersiap untuk mengikuti tour tahunan yang selalu diadakan di kampusnya. Dengan dalih mengadakan bazar amal. Namun, yang sebenarnya terjadi, adalah semua mahasiswa harus membayar uang berjumlah fantastis. Entah, ke mana perginya uang itu nantinya.

Bukan dia tidak mampu membayar, tetapi dia hanya malas harus berkumpul dengan banyak orang. Jovanca adalah tipe wanita yang suka menyendiri, dan bertindak seenaknya sendiri.

Dia tidak mau diatur, dan tidak akan bisa diatur. Hidup sendiri, di kota besar, bergaul dengan siapapun yang dia sukai. Meninggalkan mereka sesuka hatinya pula.

Beberapa barang telah siap dia kemas. Masih dengan baju yang sebelumnya, dia kenakan. Dia berkelit, untuk mengumpulkan, donasi, uang pembayaran, bus, dan juga jatah makan siang. Mengetuk kamar demi kamar asrama.

Namun, bukannya mengetuk, Jovanca, lebih pantas disebut, dengan menggedor, bak seorang rentenir yang menagih hutang.

Brak! Brak!

"Woy Buka!" teriakanya.

Wanita berkacamata, dengan rambut panjang, membuka pintu, salah satu mahasiswa, yang paling cupu dengan dandanan seperti anak TK. Rambutnya tidak pernah lepas dari kepangan.

"Bayar!" Jovanca, mengulurkan tangannya, meminta bayaran untuk tour dadakan itu. Ah– apa pantas disebut rekreasi, jika hanya sehari, semalam?

"Ehm– say– saya...." Gadis itu, tergagap, dia terlalu takut untuk menjawab pertanyaan, Jovanca.

"Apa?! Ikut tidak?! Tunggu– tidak ada yang boleh tinggal! Semua harus ikut, dan bayar padaku, cepat!"

Pinky, dia berlarian masuk ke kamarnya, dan mencari dompetnya dia mengambil beberapa lembar uang kertas, dan memberikan lima puluh dolar pada Jovanca. Tangannya masih sangat bergetar.

"Nice, cepat berkemas, dan turunlah!" Jovanca menyeringai, dan pergi. Menggedor pintu disebelah kamar Pinky.

Satu persatu dari mereka membayar. Benar benar tidak ada yang tertinggal karena Jovanca memaksa. Dia tidak mau mengeluarkan uang sendirian. Sementara salah dari mereka tidak dipungut biaya apapun.

Sebagai wanita yang mandiri ini sangat tidak adil untuk Jovanca. Jika, dia tidak diperintahkan untuk hal itu tadi. Gadis itu akan memilih untuk pergi ke kafe, dan bekerja.

Tepat, di kamar paling ujung, dan ditempati, oleh pria bertubuh gemuk. Jovanca bersiap mengangkat tangan, dan mengayun untuk mengetuk tetapi sesuatu terdengar dari balik pintu itu.

Jovanca mengurungkan niatnya untuk mengetuk ia memilih untuk memiringkan kepalanya, dan menempelkan telinga. Berniat menguping aktivitas di dalam kamar tersebut.

Bunyi keciplukan terdengar dengan jelas, bahkan napas yang memburu, sangat jelas didengar oleh gadis berambut merah itu. Jovanca, memicingkan matanya menajamkan pendengarannya guna mengetahui aktivitas apa yang dilakukan pria gendut.

Hah– Sialan! Terdengar lelaki itu menghembuskan napas lega disusul dengan umpatan. Jovanca semakin penasaran dia tanpa mengetuk pintu nekat langsung membukanya.

Begitu memasuki kamar itu betapa terkejutnya gadis badung itu. Mark berdiri di balik pintu kamar mandi, dan memegang sebuah cairan berwarna, putih. Celananya telah basah, dan pria itu pun berkeringat dengan hebat.

"Woy!" teriak, Jovanca.

Apa yang dilakukan oleh Mark si pria gendut?

Jovanca menerobos masuk kamar milik Mark, gadis itu berhasil mengejutkan pemilik kamar mereka saling tatap beberapa saat. Tatapan Jovanca tertuju pada benda yang dipegang oleh Mark.

"Sedang apa kamu?! Oh– aku tahu kamu– astaga! Fix. Aku akan sebar, bahwa kamu sering bermain main dengan sabun!" Jovanca membelalakkan matanya guna untuk menakut-nakuti Mark.

"Jo?! Sedang apa kamu di sini?" Mark terkejut dengan keberadaan wanita brutal itu.

Jovanca masih tertawa pikiran liarnya mulai menguasai diri. Matanya sampai berair karena tawanya tidak bisa dia hentikan.

"Wait! What do you think?! Jo? Ini tidak seperti yang kamu kira. Ak– aku...." Jovanca memotong ucapan pria gentong itu.

"Stop, semua sudah terbukti. Aku kira kamu sangat polos." Jovanca sama sekali tidak mau mendengar penjelasan lelaki itu.

Mulutnya masih terus mengejek tanpa mau mendengar apa yang lawan bicaranya ucapkan. "Jo, listen! Aku membersihkan kamar mandiku yang sudah sebulan tidak aku bersihkan. Keraknya membandel, dan– ini? Ini sabun yang aku gunakan untuk membersihkan lantainya. Aku terpeleset! Shit! Ini menyebalkan bukan? Buang pikiran burukmu itu!" sungut Mark.

Pria itu melemparkan sikat lantai juga sabunnya begitu saja. Acara membersihkan kamar mandi telah usai dia merasa begitu lelah. Tidak peduli dengan celana atau baju yang basah. Ia menghempaskan tubuhnya pada ranjang sempit miliknya.

Namun, Jovanca masih asyik tertawa dengan pikirannya apakah wanita seperti itu? Selalu tidak jauh pikirannya dari seks? Memalukan!

"Terserah! Apa yang kamu lakukan dikamarku?" Pertanyaan itu menyadarkan tujuan Jovanca akan tujuannya.

"Ups! Right! Bayar. Aku bertugas menarik semua uang tour buta' yang diadakan kampus ini," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Mark menatap telapak tangan gadis itu, dan mendengus dia baru saja membayar kelas private bahasanya. Kini laki laki itu harus kembali mengeluarkan uang lagi.

"Bolehkah aku tidak ikut? Please?" pinta Mark memelas. Meski dia tahu jawabannya adalah tidak. Jovanca tidak akan membiarkan temannya kaya sendirian.

"No!" Ia menjawab dengan singkat, dan menggeleng.

"Ck, come on Jo. Please, aku tahu kamu baik Please," bujuknya. Tanpa menyerah.

"No!" Jovanca kembali menolak. "Bayar sekarang atau aku akan mencari sendiri di tasmu?" Jovanca menoleh di mana tas Mark berada.

"Oh– menyebalkan." Pria itu bangkit, dan mendekati tasnya. Dia terpaksa membayar untuk hal yang tidak dia ketahui fungsinya.

"Memang, apakah kamu baru menyadari bahwa kuliah di sini sangat menyebalkan." Jovanca menyahut selembar uang kertas seratus dolar itu dan berlalu.

"Jo! Kembalian!" teriak Mark. Jovanca menoleh, dan hanya menyunggingkan senyum misterius yang entah apa artinya.

"Nanti!" balasnya kemudian. Semua itu membuat lelaki obesitas semakin merengut kesal.

***

Semua mahasiswa telah siap. Mereka membutuhkan dua bus untuk pergi ke tempat tujuan. Sebuah kota di ujung provinsi. Kota Mayoral. Tujuannya hanya sebuah motel kecil, dan keesokan harinya mereka akan membuka bazar di sebuah taman.

Hal yang bagi sebagian orang itu sangat tidak berguna termasuk Jovanca. Bazar amal, mereka tidak harus melakukan itu untuk membantu sesama. Bisa dengan langsung menunjukan bantuan pada yang bersangkutan bukan? Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh, Jovanca.

Namun, dia juga harus ikut serta. Sambil menyelam minum susu. Dia berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan kebosanan dari acara itu nantinya.

Butuh sekitar tiga jam untuk mereka tiba di motel terpencil Mayoral. Benar, terpencil karena itu sebuah sudut kota bahkan bisa disebut dengan perkampungan desa terpencil. Jarang dimasuki wisatawan atau orang dari luar kota.

Apa yang akan didapatkan oleh Jovanca di sana?

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku