Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Satu-satunya teman yang pernah kumiliki terbunuh.
Orang lain mungkin berpikir bahwa aku akan mengingat kematiannya dengan jelas, tetapi ternyata tidak. Setidaknya, tidak secara sadar. Ahli terapiku mengatakan bahwa itu adalah cara kita untuk mengatasi rasa kehilangan.
Namun aku ingat hari dimana aku bertemu dengannya. Seperti tato yang memudar, detail hari itu telah membekas secara permanen di otakku, meskipun samar.
Pertemuan kami bisa disamakan dengan sebuah dongeng. Ada seorang anak perempuan dan laki-laki, seorang ksatria dan seorang anak yang ketakutan. Tapi, di sinilah cerita kami berbeda dari kebanyakan cerita lainnya: dia lemah, dan aku kuat. Aku tidak pernah menjadi tipe gadis gadis dalam kesusahan, dan dia tidak pernah menjadi tipe pria ksatria berbaju zirah. Masa lalu kami terlalu tidak biasa untuk menciptakan stereotip seperti itu.
Pada hari aku bertemu dengannya, cuaca sangat dingin tidak seperti biasanya. Pepohonan tampak kering, cabang-cabangnya tidak berdaun. Bahkan, saat itu lebih terlihat seperti musim gugur dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Ayah dan Ibu bertengkar lagi. Aku ingat detailnya, tapi aku tidak ingat apa maksud pertengkaran itu. Aku ingat, Ayah memanggilnya dengan banyak nama panggilan buruk, dan Ibu membalas dengan nama pria lain, menyatakan bahwa pria-pria itu lebih baik daripada ayah.
Mataku berkedip-kedip gugup memandang Ibu dan Ayah, tanganku yang kecil memegang Dolly, boneka kesayanganku dalam genggaman maut. Aku mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh pengasuhku, pakaian putih yang mengembang dengan pita merah yang kontras. Dia juga mengepang rambutku menjadi dua kepang, dan saat itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa cantik.
Yang kuinginkan hanyalah menjadi gadis kecil yang ibu dan ayahku cintai dan inginkan.
"Mama! Ayah!" Aku memohon, suara kecilku bergetar. “Tolong berhenti berkelahi.”
Ayah menatapku seolah dia baru menyadari aku ada di kamar bersama mereka. Alih-alih meminta maaf seperti yang kuduga jika terjebak dalam pertengkaran yang disaksikan bocah kecilnya, dia malah tampak hampir mengamuk. Bahkan saat itu, dia tidak suka aku menyelanya. Dia sebenarnya tidak suka aku melakukan apa pun, selain tersenyum seperti boneka cantik yang dia inginkan saat aku dilahirkan.
Sebelum aku sempat berpikir untuk berteriak, dia sudah meraih salah satu kepanganku dan menarikku keluar.
Lututku terseret di rumput, batu-batu kecil dan benda-benda tidak sedap lainnya masuk menempel ke kulitku saat gaunku terangkat. Gaun malang itu sendiri kini berwarna merah tua atau hampir coklat tua.
Darah, aku menyadarinya dengan kaku. Darahku dan juga Dolly, ayah tidak bersikap lembut pada Dolly. Isian Dolly, boneka malangku menutupi rerumputan, berceceran dan bercampur dengan aliran darah dari kakiku.
Aku menatap bonekaku cukup lama, hampir tidak mendengar kata-kata makian dan ancaman ayahku yang ditujukan kepada putrinya yang berusia enam tahun. Aku bahkan tidak merespon ketika dia menampar wajahku.
Tidak! Mataku tetap tertuju pada Dolly. Dolly tidak boleh pergi. Siapa yang mau mengadakan pesta teh denganku atau berpelukan denganku saat aku ketakutan di malam hari?
Aku tidak menangis saat menatap tubuh Dolly yang cacat. Aku terlalu mati rasa untuk itu, dan tetap saja, entah bagaimana aku tahu bahwa dia tidak nyata. Kita tidak mungkin meratapi benda mati.
Aku perlu beberapa tahun lagi, setidaknya sampai aku berusia tiga belas tahun, untuk memahami apa arti berkabung. Namun aku bukanlah penyelamat pada saat itu. Aku adalah pembunuhnya, aku yang menyebabkan dia cacat.
Mengingat kembali interaksiku dengan Dolly, aku merasa ironis karena aku kehilangan sesuatu yang penting bagiku di hari yang sama ketika aku mendapatkan sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
Sambil terisak, aku melihat punggung ayahku masuk ke dalam rumah sampai pintu terbanting menutup, dia meninggalkanku sendirian berada di luar seolah-olah aku tak lebih dari sampah yang dibuang. Mungkin hanya itu saja hal berkesan yang pernah kualami bersamanya.
Aku perlu beberapa kali mencoba untuk bangkit berdiri. Tubuhku bergetar karena amukan tak terduga ayahku. Jika melihat ke belakang, aku kira kita dapat mengatakan bahwa kemarahan ayah adalah satu-satunya hal yang konstan dalam hidupku.
Tumpukan dedaunan berserakan di rerumputan dan trotoar, berderak di bawah kakiku yang berkaus kaki. Aku memeluk diriku sendiri, berusaha meringankan rasa perih di lenganku. Dinginnya angin menderu membuat bulu kudukku merinding.
Tanpa memikirkan tujuan, aku berjalan. Yang aku tahu hanyalah aku ingin menjauh sejauh mungkin dari dua orang yang seharusnya memberiku cinta tanpa syarat. Tentu saja, pemikiran ini baru muncul di benakku ketika aku sudah dewasa. Yang kuingat saat itu hanyalah bertanya-tanya mengapa Ayah tidak mencintaiku. Kenapa dia memukulku? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Mengapa aku gagal sebagai seorang putri, meski aku sudah mengenakan gaun baruku yang cantik?
Aku tidak menyadari seberapa jauh aku telah berjalan sampai aku menemukan taman bermain yang terjaga keamanannya.
Sebuah sekolah, aku terlambat menyadarinya. Seperti tempat ke mana perginya anak-anak di TV.
Aku belum pernah ke sekolah sebelumnya. Sepanjang ingatanku, Ayah sengaja mengurungku, dan karena itu aku bersekolah di rumah. Dia tidak ingin aku punya teman.
Anak-anak memanjat hutan buatan, bermain kejar-kejaran di lapangan, dan berayun di ayunan. Pemandangan itu tampak nyaris tidak nyata, dan otak kecilku berusaha memproses semuanya sekaligus.
Untuk sesaat, rasa cemburu menusuk dadaku. Aku adalah gadis yang memiliki segalanya, namun ironisnya, keterasinganku semakin terasa saat berada di hadapan orang-orang, setidaknya dengan orang yang diizinkan oleh orang tuaku untuk bergaul denganku, yaitu anak-anak eksekutif bisnis yang tengil.
Aku hanya menatap anak-anak di sekolah itu dengan kagum. Aku tidak hanya ingin bersama dengan mereka, aku ingin menjadi mereka.
Mataku melihat sekitar dan tertuju pada sosok yang berada di tengah-tengah kotak pasir. Dia membungkuk di atas truk mainan, rambut hitamnya tergerai sampai ke lutut. Dia tampak mungil bila dibandingkan dengan anak laki-laki di sekitarnya, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya.
Aku bergerak di sepanjang garis pagar sekolah itu dan menempatkan diriku di depan kotak pasir. Kini hanya pagar yang memisahkanku dari sosok peri mungil itu.
Aku menangkap akhir pidato dari anak laki-laki yang lebih tinggi di sana.
"…orang aneh. Mengapa kamu tidak mati dan tersedak pasir saja?” Anak laki-laki itu berseru pada si peri mungil.
"Hai!" Aku berteriak sebelum sempat memikirkan kembali keputusanku. Karena, memang aku tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan keputusanku...