Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Sudah hampir dua jam Ella mendengar ocehan sahabatnya yang hanya berputar pada itu-itu saja. Ia bahkan tak sempat mencela untuk membagikan pendapatnya pada gadis itu. Saking cepatnya gadis itu dalam berbicara. Ella bahkan sudah menandaskan dua gelas kopi untuk berjaga-jaga apabila kantuk menyerang.
"Jadi menurut lo, gue harus bawa masalah ini ke hukum atau nggak?"
"Dua jam lo ngoceh cuma mau tanya itu?" Ella nampak kesal bukan main.
"La, lo tahu sendiri kalau kita selesain masalah lewat hukum pasti ribet deh. Makanya gue nanya pendapat lo, perlu atau nggak?" Dara kembali duduk ke kursi dihadapan Ella. Mereka kini berada di ruang kerja Ella.
"Ya menurut lo sendiri gimana? Kan, lo yang dirugiin."
Masuk akal. Dara kembali berpikir berapa kerugian yang ia terima ketika dirinya mendapatkan fakta bahwa ibu tirinya berselingkuh oleh orang perusahaannya sendiri lalu menyuruh selingkuhannya untuk menggelapkan uang perusahaan. Pikirannya buntu. Sudah terlalu banyak uang yang diambil ibu tirinya tersebut.
"Banyak banget. Bisa beli rumah baru gue," ujar Dara, kala mengira-ngira totalan kerugian yang ia terima.
Ella memijit pelipisnya. "Jadi?"
Dara hanya menghela napas. Ayahnya sedang sakit. Dia tidak ingin ayahnya menjadi tambah khawatir karena masalah ini.
"Kalau lo mau selesain lewat jalur hukum, gue punya kenalan lawyer. Dia yang nangani kasus Mas Ares waktu cerai sama mantan istrinya," kata Ella membuat mata Dara berbinar.
"Serius? Lawyer yang menangin hak asuh anak buat Mas Ares, waktu itu?"
Ella mengangguk.
"Gue minta kartu nama atau nomor teleponnya dong," pinta Dara.
"Besok gue kasih tahu. Gue harus nanya Mas Ares dulu."
Dara mengangguk-angguk paham. Kemudian suasana hatinya menjadi sedih lagi. Bagaimana kalau ayahnya menolak untuk pisah dengan ibu tirinya? Bagaimanapun ayahnya sudah termakan berbagai rayuan dari wanita itu.
"Gue khawatir Papa nolak pas gue paksa buat dia cerai sama si Mak Lampir. Gue khawatir kalau Papa tahu semua ini jantungnya kumat lagi. Gue nggak mau kehilangan Papa. Dia satu-satunya yang gue punya."
Dara menggenggam liotin dari kalung yang ia pakai. Itu adalah pemberian ayahnya saat ia ulang tahun ke 17, tujuh tahun yang lalu.
"Bokap lo pasti ngerti, Dar."
10 tahun yang lalu waktu Ibunya meninggal dunia, Ayahnya terkena serangan jantung dan nyaris kehilangan nyawa. Hal itu membuat Dara takut jika sewaktu-waktu jantung Ayahnya kumat lagi ketika harus diminta berpisah dengan istri keduanya ini.
Mau beribu kalimat Dara jelaskan, dimata Ayahnya orang itu akan terlihat baik. Istrinya. Dara tahu ayahnya sangat mencintai wanita yang ia sebut Mak Lampir tersebut.
"Gue balik duluan, ya, Ra. Nyokap minta jemput nih."
Ella membuyarkan lamunan Dara. Gadis itu mengangguk dan membiarkan Ella pergi.
Pikirannya terus berkutat akan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi akibat rencananya ini. Walau ia takut ini untuk kebaikan semua, tetapi tetap saja akan ada yang melihat dari sisi pandang yang berbeda.
***
Seorang pria yang sudah memasuki usia senja itu langsung membukakan pintu rumahnya ketika mendengar suara mobil tiba di halaman. Instingnya kuat, dia selalu kapan putri semata wayangnya pulang.
"Kok Papa belum tidur?" tanya Adara, kemudian mencium punggung tangan Ayahnya.
"Mana bisa tidur kalau gadis Papa belum pulang," sahutnya, membuat Adara tersenyum.
"Ayo masuk. Papa udah makan?" Adara berjalan sambil menggadeng lengan Ayahnya.
"Udah. Kamu udah makan? Kelihatan lemas banget, Nduk," kata Ayah Dara, sembari memegang pipi anaknya.
"Udah kok. Pa, Adara mau ngomong sesuatu yang penting sama Papa," kata Dara. Ia sendiri pun tidak yakin untuk mengatakan masalah itu saat ini. Tetapi baginya lebih cepat lebih baik.
"Apa, Nak?"
Ayah dan anak itu tengah duduk di sofa ruang keluarga.
"Sebenarnya karyawan Papa yang korupsi di kantor itu ... Selingkuhan Mama Wulan." Dara memelankan suaranya ketika menyebut nama ibu tirinya.
"Selingkuhan?" kata Ayahnya tak percaya, bahkan suaranya nyaris tak ada.
"Iya, Pa. Mama Wulan udah selingkuh sejak setahun yang lalu," ujar Dara, melanjutkan.
Dara tidak tega untuk melanjutkan lebih jauh ceritanya. Raut wajah Ayahnya berubah sendu. Raut wajah yang ia lihat 10 tahun yang lalu ketika acara pemakaman Ibu kandung dirinya.
"Papa mau, ya, bercerai sama dia. Ini buat kebaikan kita, Pa. Buat Papa dan aku," ujar Dara, sambil menggenggam kedua tangan Ayahnya.
Samar-samar Dara gelengan dari Ayahnya. Hatinya terasa pedih, bahkan ketika dikhianati sekalipun Ayahnya masih tetap ingin mempertahankan pernikahan ini.
"Dara mohon, Pa ..."