Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong.
Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri.
Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa.
Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya.
Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis dalam pangkuannya itu. Namun, sebagai seorang istri dia juga tak bisa berbuat apa-apa.
"Pa, kenapa harus begini? Bukankah apa yang Papa katakan sama saja dengan melanggar hak asasi manusia?" tanya Zelin ditengah isak tangisnya.
Wajah gadis cantik itu memerah. Air mata terus membasahi pipi mulusnya. Tak hanya tubuh yang terguncang karena menangis, tapi juga hatinya.
"Maafkan, Papa," ucap Zoy lirih. "Kita tidak bisa melanggar apa yang telah dibuat! Papa yakin Yhosan pasti akan mengerti dengan semua ini. Usia kalian juga baru dua puluh lima tahun. Tak masalah jika menunda pernikahan," lanjut Zoy.
Mendengar ucapan Zoy membuat tangis Zelin semakin menjadi-jadi. Sakit di hatinya bertambah parah kala sang Papa tidak mau mengerti.
"Berdoalah supaya Abangmu cepat mendapatkan jodoh. Kalau tahun ini dia bisa menikah, maka tahun depan giliranmu dan Yhosan."
Tak mampu melihat putrinya menangis membuat Zoy pergi. Meninggal Zelin yang masih terisak dalam pangkuan Sisil. Sebagai kepala keluarga membuatnya harus banyak berfikir dan mempertimbangkan apa yang terbaik untuk mereka.
"Sebaiknya aku bicarakan saja hal ini pada Bang Arya," gumam Zoy sambil berjalan.
Keputusan ini dibuat mengingat anak tertua laki-lakinya tak kunjung membawa calon menantu kedalam rumah. Hingga Zoy dengan sangat terpaksa harus mengambil langkah agar putranya segera menikah.
Mengorbankan perasaan putri tunggal demi putra satu-satunya. Sebuah keputusan sulit saat melihat kedua buah hatinya terluka. Orang tua mana pun dibelahan dunia ini pasti tidak menginginkan hal itu terjadi.
Padahal sejak dulu, Zoy selalu berusaha untuk menjadi Papa terbaik. Mendukung apa pun yang dilakukan oleh anak-anaknya. Dia bahkan dengan gagahnya menjadi tameng saat sang istri sedang memarahi buah hatinya.
Namun, kali ini ... demi kepentingan bersama agar bisa melihat anak-anaknya bahagia ditengah umur yang semakin bertambah maka, Zoy harus melakukan ini.
Membuat peraturan bahwa anak bungsu perempuan tidak boleh melangkahi saudara laki-laki tertua dalam hal pernikahan. Peraturan itu memang ada sejak dulu, hanya saja sudah lama ditinggalkan sebab Arya dan Zoy tidak memiliki saudara perempuan. Pun generasi Ayah mereka.
Melihat Papanya yang telah meninggalkan ruang keluarga membuat Zelin juga turut menarik dirinya. Melepaskan dekapan Sisil dengan kasar dari tubuhnya.
"Zelin, kamu mau kemana, Sayang?" tanya Sisil saat melihat putrinya itu bangkit dan lari menuju lantai atas.
Zelin tidak menghiraukan panggilan sang Mama. Meski dia tahu bahwa Sisil tidak bisa berbuat apapun, tapi apa yang barusan terjadi membuatnya kecewa pada seluruh isi rumah.