Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Love and Virus
5.0
Komentar
6.7K
Penayangan
75
Bab

"Mereka bukan zombie! Mereka hanyalah penderita SES! Mereka bisa sembuh!" Wizard, Alvaro, dan Emma yang terlibat dalam satu tim untuk menuntaskan kasus Salistic Summer Virus, virus baru yang sedang melanda hampir seluruh belahan dunia, mengalami banyak rintangan dalam perjalanan penelitiannya. Penderita Summer Erithropenia Syndrome (SES) memang berperilaku layaknya zombie. Tetapi Wizard telah menemukan obatnya. Namun, sayang obat itu tak pernah sempat diproduksi secara massal. Perjalanan waktu juga telah menggiring Emma, Alvaro, dan Wizard berada dalam kisah cinta segitiga mereka. Mereka bertiga harus bisa tetap bersikap profesional. Bagaimanakah akhir dari perjalanan kisah cinta segitiga Alvaro, Emma, dan Wizard? Dan apakah virus baru itu berhasil ditumbangkan?

Bab 1 Virus Baru

Inokulasi virus itu telah berhasil. Beberapa embrio ayam yang menjadi medianya, nampak makin gelap karena pengaruh penggumpalan darah yang terjadi pada embrio tersebut. Sekilas secara kasat mata, terlihat serabut halus yang menyelubungi embrio yang sudah mati itu.

Dokter pria bertubuh tinggi kurus dan berkaca mata itu tersenyum melihat apa yang didapatnya pagi itu. Delapan jam dari penanamannya pada embrio ayam itu, telah memperlihatkan hasil yang sempurna.

Namun, suara pintu berderit nyaring itu menghapuskan senyumnya seketika. Dia melihat rekan sejawatnya yang baru datang itu dengan lirikan tajam dan sinis. Sungguh, dia tidak menyukai keberadaan dokter perempuan yang selalu ingin tahu dengan apa yang dilakukannya.

Dan seperti yang sudah diduganya, dokter perempuan itu berjalan mendekatinya dan menegur dengan sapaan yang membosankan. Kalimat yang itu-itu saja tanpa ada variasi sedikit pun.

Emma Windsor.

"Morning, Sir. Terlihat serius sekali. Apa yang sedang Anda amati pagi ini, Dokter Alvaro?" Emma Windsor menyapa dokter pria bertubuh tinggi kurus itu dengan ramah.

Alvaro Anderson. Dokter pria bertubuh tinggi kurus dengan kaca mata bulat menghiasi wajah tirusnya, merupakan rekan sejawat Emma Windsor. Mereka berdua berada dalam satu bagian yang sama. Bagian Biologi Molekuler. Berkutat dengan aneka riset melalui penelitian yang seringkali mengacak-acak RNA berbagai macam mikroorganisme.

Okelah, selanjutnya kita sebut mereka berdua dengan penggalan nama kecilnya saja. Alvaro dan Emma.

"Untuk apa kamu menanyakan hal itu? Kita memiliki area pribadi masing-masing," jawab Alvaro diiringi dengusan kesal. Sedikit memutar tubuh agar Emma tak mampu melihat ekspresi wajahnya.

"Ups. Hanya sekedar bertanya, Dok. Not more." Penuh kekesalan, Emma menjawab pertanyaan ketus Alvaro.

"Sumpah! Aku tak ingin menyapamu lagi, setelah selama tiga bulan aku selalu merendahkan diriku di hadapanmu!" ujar Emma dalam hati. Dia berlalu dari samping Alvaro dengan wajah ditekuk. "Lelaki tak tahu diri!" Masih dalam hati, Emma mengumpat.

Emma baru tiga bulan bergabung bersama rekan-rekannya yang berada dalam sebuah lembaga penelitian milik Professor Rudolf. Sebuah lembaga penelitian yang bergerak dalam bidang pengembangan penelitian untuk penyakit-penyakit tropik atau mereka menyebutnya tropical disease.

"Dokter Emma, saya membaca dan mempelajari penelitian terakhirmu dari jurnal internasional. It's amazing. Kamu sangat menguasai mengenai ilmu virologi dan segala hal mengenal ribosom RNA-nya. Saya harap kamu mau bergabung bersama lembaga kami." Kala itu Professor Rudolf memanggilnya melalui surat elektronik yang resmi.

Siapa yang tidak bangga mendapat panggilan untuk bergabung di lembaga ternama dan terhormat itu? Sebuah lembaga yang diimpikan banyak kalangan dokter yang memiliki minat di bidang penelitian medis untuk bergabung dan menangguk nama besar di sana.

Tanpa berpikir panjang, Emma segera menyambut tawaran itu. Dan sejak itu dia bergabung dan menjalani hari-harinya di sini.

Emma mendapat tempat yang cukup luas di bagian Biologi Molekuler. Terbagi atas tiga ruangan, di mana masing-masing ruang memiliki privasi yang benar-benar terlindungi. Berikut peralatan canggih yang belum ada di negara lain, di belahan bumi mana pun.

Alvaro, Emma, dan Andrew. Mereka bertiga adalah pekerja riset di bagian tersebut. Andrew sebagai pemegang kendali segala keputusan. Dia adalah orang penting, nomer satu, dalam laboratorium Biologi Molekuler itu.

Sebenarnya Emma membutuhkan kehadiran Andrew cukup sering berada di ruangannya, karena sebagai karyawan baru, dia membutuhkan banyak bimbingan. Namun, Andrew terlalu sibuk dengan tugas-tugas sampingannya yang memang dipahami Emma sangat memakan waktu dan pikiran. Yaitu sebagai wakil Dokter Rudolf, wakil pemimpin lembaga ini.

Alvaro sebagai senior, sangat tidak bisa diharapkan. Mungkin sifatnya yang sangat introvert, ambisius, dan egois, membuat dia enggan berinteraksi dengan manusia lainnya. Selama ini dia sudah telanjur nyaman dengan kesendiriannya selama tiga tahun lebih dalam bagian Biologi Molekuler ini.

Ibarat seorang bayi yang merangkak tanpa ada pendampingan orang tua, itulah yang terjadi pada Emma. Selama tiga bulan bergabung, dia mempelajari semuanya sendirian saja. Itulah sebabnya dia selalu menyapa Alvaro setiap kali berada dalam ruangan ini. Bukan karena basic keramahan sikap, tapi karena dia ingin memperhatikan cara kerja dan mekanisme kerja yang harus dipatuhinya saat berada dalam laboratorium.

Namun, kali ini Emma sudah merasa letih. Dia tidak ingin lagi menyapa Alvaro. Tidak ada gunanya juga. Toh usahanya selama ini tidak membuahkan hasil. Alvaro terlalu angkuh.

"Morning, Dok!" Suara keras itu mengagetkan Emma yang tengah memperhatikan setiap kata dalam jurnal penelitian seorang profesor mengenai rantai RNA sebuah virus yang menginfeksi bakteri. Dia menoleh cepat seraya memegang dadanya.

"Eits, morning juga, Prof," jawab Emma tergeragap. Kaca mata minusnya yang telah bergerak di angka 7 mulai melorot karena hanya disangkutkan di hidungnya yang mungil. Bentuk hidung yang lain daripada yang lain, berbeda dari bentuk hidung nenek moyangnya.

Andrew tergelak. Lelaki paruh baya dengan rambut yang sudah memutih sebagian itu menghampiri Emma dan duduk begitu saja di kursi di depan meja kerja Emma.

"Ada hal penting yang harus kita selesaikan. Butuh waktu cepat. Butuh kerja keras. Dan membutuhkan dedikasi yang tinggi pada profesi." Seperti biasanya, Andrew selalu mengatakan sesuatu hal tanpa tedeng aling-aling. Langsung saja pada intinya. "Ada penyakit baru menyerang negara Salistic. Diduga disebabkan karena virus. Baru berjalan dua minggu, tapi sudah memakan korban lebih kurang 20% dari total penduduknya."

Emma mengerutkan dahi. Mengernyit begitu kuat. Kerutan-kerutan di dahinya terbentuk menjadi lima baris. "Salistic? Negara di mana itu? Saya tidak pernah mendengarnya."

"Negara baru yang terbentuk lebih kurang lima tahun yang lalu. Pecahan dari negara Nigreos. Negara kecil yang belum terpetakan dalam ordinat globe dunia. Abaikan tentang histori negrinya. Kita fokus pada penyakitnya." Andrew mengibaskan tangan. Pandangannya mengarah tajam pada Emma.

"Bagaimana patogenesa-nya, Prof?" tanya Emma. Ketegangan mulai melingkupi dirinya. Dia sangat berharap bahwa perjalanan penyakit itu tidaklah terlalu rumit, hingga tidak perlu banyak menguras pikirannya.

"Saya masih menunggu info selengkapnya mengenai patogenesa penyakitnya". Karena data yang semalam saya dapatkan masih simpang siur. Antara peneliti satu dengan lainnya di negara itu, saling berbeda pendapat. Tapi yang jelas, masa inkubasi berlangsung sangat cepat. Di bawah 24 jam. Well, kita harus bergerak cepat. Korban meningkat terus setiap menitnya." Masih dengan tatapan tajam yang mengarah ke manik mata Emma, Andrew berkata lugas.

"Isolasi secepatnya. Apakah itu sudah dilakukan?" tanya Emma. Isolasi atau karantina adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh jika penyebab penyakit masih belum diketahui dengan pasti.

"Sudah. Pemerintah Salistic sudah melakukan isolasi total pada seluruh warganya mulai hari ini. Lockdown." Andrew merapikan berkas-berkas yang tadi dibawa dan diletakkan di atas pangkuannya.

"What can I do, Prof?" Emma terlihat kebingungan ketika Andrew berdiri dan hendak beranjak keluar ruangan.

"Satu jam lagi isolat virus itu akan datang. Siagakan seluruh staf untuk menerima pengiriman itu sesuai dengan SOP. Koordinasikan dengan Dokter Alvaro mengenai pengerjaan virus baru ini. Saya harus menemui Menteri Kesehatan untuk kasus ini di departemen, sekarang. Lakukan tugasmu dengan sebaik-baiknya." Tanpa menunggu jawaban dari Emma, Andrew berlalu begitu saja.

"Damn it!" Emma mengumpat.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Kacabening

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku