Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Novelist story
5.0
Komentar
778
Penayangan
5
Bab

Menjadi seorang editor di sebuah penerbit besar ternyata tidak segampang yang saya kira. Selain menjadi editor naskah, saya juga seorang novelis. Namun, saya sempat mengalami masa haitus karena tulisan saya sendiri tidak dapat mencapai standar yang saya inginkan. Dahulu, saya adalah seorang penulis novel romantis, namun sekarang saya justru menulis novel-novel horor. Hal yang unik dari saya adalah saya memiliki seorang sahabat hantu bernama Kelvin. Dia selalu menemaniku saat saya menulis, dan inspirasi cerita horor saya berasal dari sumbernya sendiri, yaitu Kelvin.

Bab 1 Editor penerbit

Jika tidak bisa menyampaikan sesuatu lewat ucapan maka kamu bisa menyampaikannya lewat tulisan.

~Rizka hinayah safitri hutapea.

Malam hari telah tiba. Seorang wanita duduk sendiri di ruangan yang penuh laptop yang telah mati, namun hanya laptopnya sendiri yang masih menyala.

Sedari beberapa jam lalu ia menulis di Microsoft word, bahkan meja tempat kerjanya masih penuh dengan beberapa buku, stabilo, dan pembatas buku.

Gluk... gluk... gluk... Ka meneguk secangkir kopi hangat. Ia kembali mengetik di laptop itu.

"Loh, Ka. Kamu belum pulang? Udah tengah malam begini masih di kantor," ujar Bang Ardir saat itu yang juga mau pulang.

"Belum, Bang. Paling bentar lagi, masih ngerjain deadline," sahutku yang masih fokus mengerjakan pekerjaanku. Aku bahkan tidak berkontak mata atau melihat Bang Ardit.

"Selesai Bang Ardit menanyakan itu, ia pun berpamitan pulang.

"Ka, kalau pulang jangan malam-malam loh, apalagi kamu kan cewek gitu, tidak baik perempuan pulang larut malam," ujarnya.

"Ia, Bang. Ini juga bentar lagi mau siap deadline aku," jawabku sambil mengecek tanda baca dari setiap paragraf di cerita itu.

Setelah itu, Bang Ardit baru benar-benar pergi. Aku melihat jam dinding kantor sudah jam 21.09.

"Masih jam segitu, tepat jam 10 nanti aku pulang deh," ujarku kembali fokus ke laptop.

Waktu terus berjalan dan aku semakin larut malam di kantor. Namun, aku harus menyelesaikan pekerjaanku agar bisa naskah novelku selesai tepat waktu. Meskipun begitu, aku merasa sedikit takut karena kantor yang sepi dan gelap, hanya lampu led satu satunya yang menyala menyinari di tempatku menulis. Namun, aku berusaha untuk tetap fokus dan menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat.

"Aduh, narasinya malah kurang pas, terutama dalam percakapan tokohnya," ucapku berdiskusi dengan diriku sendiri.

Aku kembali menghapus beberapa bagian narasi dalam cerita tersebut dan membuat yang baru, serta mengedit beberapa kata yang tidak perlu dan hanya membuat cerita terasa berlebihan.

Sebenarnya, aku sedikit bingung dalam membuat cerita fiksi remaja mengenai percintaan, terutama dalam tema novel yang aku buat yang romantis. Karena aku sendiri belum pernah merasakan pengalaman pacaran, maka aku harus berpikir panjang untuk menciptakan cerita yang pas. Aku melakukan riset dari novel-novel dan buku-buku online, serta menonton banyak film dan drama romantis.

Namun, tetap saja, penyampaian tulisanku tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan."

Karena terlalu asik menulis aku sampai lupa waktu bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul 11 san, sial naskah ini masih selesai setengah yang aku edit.

"Tret... tret..." Ponsel yang ada di dekat setumpuk kertas HVS berbunyi beruntun. Aku melihat panggilan masuk dari Bang Ardit.

"Halo, Bang," ujarku mengangkat teleponnya.

"Ya ampun, Ka. Abang lupa kalau laptop abang ketinggalan di kantor, di ruangan abang. Soalnya, abang buru-buru pulang sore tadi," ujar Ardit.

"Bang?" aku diam sejenak.

"Ada apa, Ka? Kira-kira laptop abang aman ga ya di kantor? Emang posisi laptopnya sudah mati sih," jelas Ardit.

"Aku memastikan, Bang. Kapan abang pulang tadi?" tanyaku kembali, memastikan apakah aku salah dengar.

"Abang tadi pulang sore, Ka. Jam lima-an abang sudah pulang, soalnya ada urusan," jelas Ardit kembali.

"Abang serius? Abang pulang sore tadi?" aku mengerutkan keningku seakan tak percaya. Padahal sekitar jam sembilan-an, Bang Ardit masih berada di kantor dan bahkan sempat berbicara denganku serta memperingatkan agar aku tidak pulang terlalu larut malam.

"Emangnya kenapa, Ka? Kok kamu seakan tidak percaya dengan saya?" tanya Ardit. Ia heran melihat sikap karyawannya yang tampak aneh.

"Tidak apa-apa, Bang. Saya kebetulan masih di kantor. Laptop abang mau saya bawakan ga? Biar sekalian," cetusku.

"Yah, abang tidak meninggalkan kunci serepnya. Kedua kuncinya abang bawa," jelas Ardit.

"Oke lah, bang."

"Ka, kamu masih di kantor? Kok kamu pulangnya larut malam begini sih? Ka, kamu pulang sekarang deh. Kerjaan kamu bisa diselesaikan besok," perintah Ardit agar aku segera pulang.

"Baik, Bang," aku menyimpan file yang sudah ku buat tersebut, lalu aku cepat cepat mematikan laptop itu.

***

"Laras," beberapa kali aku berteriak memanggil Laras.

Laras merupakan teman satu kosan denganku, ia juga merupakan seorang karyawan di sebuah toko roti.

"Ras, buka pintunya," teriakku lagi.

Aku mengetuk-ngetuk pintu sekencang-kencangnya. Akhirnya, Laras membukakan pintu.

"Berisik lo, Ka, orang udah tidur juga. Ga ingat waktu, bangat jadi orang," ujar Laras geram.

"Hehe maaf, maaf," kami berdua pun serentak masuk ke dalam.

"Lo udah makan belum?" tanya Laras saat aku menyimpan tas dan sepatuku.

"Belum nih, laper banget aku Ras," ujarku cengengesan.

"Yaudah makan dulu, gw udah beliin makanan buat elu," aku dan Laras sama-sama ke meja makan.

Laras menemaniku makan sambil ia main hp.

"Ras, elu tau ga?" ucapku membuka obrolan di antara kami.

"Lo, ngajak gw menggibah? Sok aing jabanin dah," Laras mematikan ponselnya ia meletakkannya di tengah meja.

"Jadi gini Ras, pas di kantor tadi atasan gw itu mau pulang, jadi dia bilang gini ke gw Ka, pulangnya jangan terlalu malam kamu kan perempuan, pokoknya ngingetin gitu," ujarku separuh cerita.

"Terus, lo bilang apa? Perhatian amat atasanmu," sahut laras.

"Ya aku bilang ia Bang, nanti jam sepuluh-an lewat aku pulang, tapi pas aku mau beres-beres pulang kemari, Bang Ardit nelpon nih-" ucapanku terpotong oleh crocosan Laras.

"Dia bilang apa? Segitu perhatiannya ya sama lo?"

"Makanya kalau orang ngomong jangan memotong-motong dulu, Laras!"

"Ya maaf, udah lanjut."

"Dia bilang lewat telepon kalau laptopnya ketinggalan karena sore tadi dia sudah pulang. Sumpah, Ras, gw nanya Bang Ardit dong kalau dia serius pulang sore. Gw ngotot banget ga yakin gitu."

"Lah, aneh?"

"Itu dia, gw ga bilang kalau gw barusan jam sembilan-an Bang Ardit ngobrol sama gw. Setelah dia ngasih tau gitu, gw langsung cepat-cepat beresin semua barang-barang gw."

"Halah, lo halu kali. Makanya jangan buat cerita-cerita horor," sanggah Laras seakan tidak percaya dengan apa yang aku rasakan tadi.

"Laras, gw serius. Mana ada gw halu kalau kejadian itu benaran."

"Udahlah, halu lo. Gini ya, penulis bawaannya suka halu sampai ke dunia nyata. Cukup di fiksi aja lo halu, Ka," Laras mengambil kembali ponselnya.

"Ih, lo ga percaya sama gw?"

"Ga! Sama sekali. Ga ada yang percaya sama cerita halu lo."

"Iss, jahat lo Ras. Mending temanin gw mandi lah."

"Malas, lo mandi sendiri sana."

"Aelaaah, ayolah Ras. Gw ga berani mandi sendiri. Mending lo nemenin gw mandi tadi dari pada nemenin gw makan."

"Udahlah, gw mau tidur. Selamat malam, nona yang suka halu," ejek Laras.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku