Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Faith, Hope, and, Love

Faith, Hope, and, Love

starwynter

5.0
Komentar
19
Penayangan
10
Bab

Alan Vijendra memiliki keahlian voli yang mengagumkan secara alami, tapi dia tidak bisa meneruskan bakatnya ketika permasalahan keluarganya terus membebaninya. Terlebih lagi pertengkaran yang terus terjadi dengan ayahnya membuatnya sangat membenci kehidupannya, tapi kemudian dia bertemu dengan murid pindahan yang merupakan teman satu kelompoknya yang bernama Utara Arkatama Fallas. Utara menyadarkan Alan untuk mau berdamai dengan ayahnya. Tapi Alan malah menemukan rahasia tergelap gadis itu. Dan Alan pun merasa dilema, karena dia menyukai Utara. Tapi kakak laki-laki gadis itu adalah seterunya di sekolah. Selatan tidak akan suka jika adiknya berteman dengan Alan, apalagi lebih dari itu.

Bab 1 Rival

Suasana di lapangan luas di sebuah sekolah di Ibukota itu sedang memanas. Bukan tanpa alasan, di tengah-tengah lapangan itu sedang terjadi pertandingan sengit antara murid kelas 11 dan 12 SMA Rajawali 1.

Jika dilihat-lihat, sungguh tidak terduga ketika murid kelas 11 mampu memberi perlawanan sengit, mengingat lawan mereka punya skill yang bukan kaleng-kaleng karena sudah sering memenangkan pertandingan di luar sekolah.

"Jika begini, sekolah kita tidak akan kekurangan pemain hebat!" seru pemuda yang memakai jaket kuning itu pada teman perempuannya yang duduk di sebelahnya di bangku suporter.

Melihat pemuda itu begitu bersemangat, gadis itu mendesah pelan. "Terbaik apanya? Sekolah kita masa cuma bisa mengandalkan voli? Yang lain juga dong," dengkus perempuan berambut hitam pendek itu.

"Kayak kau punya prestasi yang lebih bagus aja, Mir."

"Sialan kau, Gam," geram Mira sambil memukul pemuda di dekatnya itu dengan botol mineral yang sudah kosong.

Gama meringis, tapi kemudian mengabaikan pukulan ringan pada lengannya dan kembali fokus pada jalannya pertandingan. Meski pemenang dari pertandingan ini tidak akan mendapat piala karena ini cuma salah satu dari jadwal latihan bersama yang kali ini diadakan sepulang sekolah untuk bekal latihan bagi para pemain kelas 12 yang akan mengikuti pertandingan yang lebih bergengsi lagi minggu depan, tapi tetap saja, para pemain di lapangan tidak ada yang mau mengalah.

Mereka ngotot ingin menang karena ada ego yang dipertaruhkan. Tekanan paling berat dirasakan para pemain dari kelas 12 ketika adik kelasnya berhasil mendapatkan match point lebih dulu di babak keempat.

Alan Vijendra menyeringai ketika kemenangan hampir di depan mata. Dia yang akan melakukan servis, dan jika berhasil mencetak poin, itu artinya dia baru saja mengalahkan para seniornya yang belagu, apalagi kaptennya yang memakai wristband merah.

Para penonton menahan napas menunggu servis yang akan dilakukan Alan. Meskipun ini bukan lah pertandingan antar sekolah, tapi bau persaingan sangat pekat. Bukan hanya dari pemainnya saja, tapi persaingan yang kental juga terjadi pada para penyokong dari kedua tim yang sedang bertanding.

Mereka saling membalas yel-yel. Sehingga meskipun kegiatan belajar mengajar di sekolah telah berakhir satu jam yang lalu, lapangan yang terletak di belakang sekolah itu masih dihuni oleh para muridnya yang tumben-tumbenan masih pada betah di sekolah. Bahkan dilihat dari seragamnya, ada juga murid dari sekolah lain yang rela datang menyaksikan pertandingan sore itu yang makin memanas.

Ini membuktikan bahwa pertandingan hari ini sangat layak untuk ditonton karena mempertunjukkan kehebatan para pemain voli terbaik yang dipunyai sekolah Rajawali 1.

"Lan, kemenangan di depan mata, nih!" seru Gama,

menyemangati Alan yang hendak melakukan servis. "Jangan sampai lengah! Kau ingin mengalahkan musuh bebuyutanmu yang tinggal di gang yang sama denganmu itu, kan!"

Teriakan Gama pasti sangat keras, karena Alan bisa mendengar suaranya di tengah sorakan melengking dari para suporter yang terbagi jadi dua kubu.

Dia heran, kenapa teriakan Gama bisa sampai ke tengah lapangan padahal situasinya sangat berisik? Dia jadi malu dengan perkataannya yang asal ucap itu. Tapi mengesalkannya, ucapannya itu adalah fakta.

Alan melambungkan bolanya bertepatan dengan peluit yang dibunyikan. Dia melakukan servis keras yang menukik tajam. Sayang, dia tidak berhasil cetak poin karena servisnya yang kuat itu berhasil diredam oleh pemain belakang lawan yang segera memberi umpan bola pada bagian depan.

Selatan Arkatama Fallas yang biasa dipanggil Atan mendapatkan posisi bola bagus dari tosser. Dia melakukan smash dari sisi kiri, dan smashnya yang keras itu tidak tertebak oleh pihak lawan. Alhasil, bola menyentuh lapangan. Skor bertambah untuk kelas 12 dari sang kapten yang berhasil memperpanjang napas untuk timnya. Satu poin lagi, maka skor akan deuce.

Alan hanya butuh satu poin lagi untuk menang. Jika timnya sampai kehilangan poin lagi di match point, mental pemain akan jatuh dan keadaan bisa saja dibalikkan. Kekalahan seperti itu lebih sulit diterima dibandingkan sudah tahu kalah dari awal.

Para suporter yang terbelah menjadi dua kubu itu terus memberikan semangat bagi tim yang didukungnya, tapi ketika Atan hendak melakukan servis, semuanya mendadak diam karena inilah babak penentuan apakah tim yang terdiri dari murid-murid kelas 12 itu berhasil menyamakan kedudukan, lalu membalikkan keadaan dan berhasil meraih kemenangan?

Semua pendukung saling menahan napas, muka mereka tegang. Pertandingan ini sangat sengit, jadi tidak ada yang bisa menebak siapa yang akan keluar jadi pemenang.

Wajah para penonton terlihat begitu tersiksa ketika servis berhasil dikembalikkan. Rally-rally menajubkan terjadi, bola berulang kali berhasil dikembalikan dengan brilian.

Gama naik ke bangku penonton dan tanpa sadar meremas botol mineralnya saking gemasnya. Mira yang sejak tadi tidak terlalu mengikuti jalannya pertandingan karena perhatiannya hanya tertuju pada para pemain cowok tampan, tiba-tiba saja ikut tegang menunggu akhir dari pertandingan.

Ini sungguh aneh. Mira tidak menyukai voli, tapi sekarang dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari tengah lapangan. Matanya terus memperhatikan kemanapun bola bergerak. Para pendukung yang lain pun bersikap sama sepertinya. Yang tidak dimengerti adalah, mengapa para pemain itu sangat ngotot tidak mau kalah? Rasanya seperti kedua tim sedang memperebutkan medali olimpiade saja.

Setelah sepuluh menit yang rasanya sangat lama, Alan berhasil membawa timnya menjadi juara ketika berhasil melakukan smash kencang ke seberang lapangan. Tadinya Atan sempat menyentuh bola itu, tapi tidak bisa mengembalikannya dengan benar karena posisinya tidak tepat.

Bola malah terpental mengenai pipinya, membuat rasa panas menjalar di kulitnya yang memerah. Rasa gengsi karena kalah semakin tinggi ketika poin terakhir didapatkan lawan karena kesalahannya.

Atan cemberut, tapi segera mengubah ekspresi wajah saat anggota timnya mendekatinya. Atan memberikan teman-temannya itu tepukan di bahu sebagai penyemangat.

"Ini bukan akhir. Kita masih bisa berjuang lagi di pertandingan sesungguhnya," kata Atan, tapi suasana hatinya yang sedikit membaik itu langsung terjun bebas saat matanya bersitatap dengan bocah ingusan yang baru saja mengalahkannya di set 4.

Alan menunjuk pipi Atan yang memerah karena terkena bola dari smash yang dilakukannya barusan. "Aku tidak bermaksud memberikanmu hadiah kenang-kenangan. Itu tidak disengaja."

Atan mengernyit, lalu mendengkus. Alan pasti berucap begitu hanya untuk mengingatkannya bahwa adik kelasnya yang songong itu baru saja berhasil mengalahkan timnya, dan mengejeknya karena wajahnya terkena bola. Karena pikirannya itu, dia menggerutu tidak jelas dan hendak berlalu pergi. Tapi sebelum pergi, dia sempat menyeringai kecil dan berkata.

"Sesekali sepertinya aku harus memberikan adik tingkatku kemenangan agar kepercayaan dirinya meningkat, karena akhir-akhir ini timnya selalu kalah."

Sekarang ini, gantian Alan yang berwajah jengkel. Jika bisa mengulang peristiwa yang lalu, dia ingin mengulang kejadian di pertandingan tadi, karena sepertinya bola yang mengenai wajah seniornya itu belum terlalu kencang. Tapi apapun itu, Alan tidak peduli. Dia tidak mengejar kemenangan apalagi prestasi, tapi kali ini dia puas bisa mengalahkannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku