Naratria Abiyaksa-Si tomboy yang mempunyai julukan preman pasar- saking gaharnya-baru saja memergoki pacarnya berselingkuh dengan Karina Winardi-calon kakak iparnya sendiri. Ternyata kata-kata Altan-sahabat oroknya telah terbukti, "Laki-laki ganteng itu kalo nggak gay ya, brengsek.Termasuk gue!" Itu adalah quotes favoritnya yang 100% benar! Sementara itu, Adzan Akbar Dewangga yang pernah kecewa akibat dikhianati kekasihnya, beranggapan bahwa wanita itu adalah makhluk yang egois dan manipulatif. Mengapa? Karena walaupun mereka salah, mereka akan tetap menyalahkan dunia. Saking muaknya berurusan dengan wanita, julukan gay pun kerap ditujukan padanya. "Gue heran ngeliat penampakan lo. Dibilang gembel ... ya, lo anak orang kaya. Tapi ngeliat celana bolong-bolong dan jaket penuh paku lo, kayak-kayaknya lo nggak pantes jadi anaknya Om Aksa dan Tante Lia. Lo ini lebih mirip landak dari pada manusia." -Adzan Akbar Dewangga "Gue malah lebih heran ngeliat lo. Ganteng-ganteng doyan batangan. Nggak sayang tuh, sama perabotan kalo terus dipake laga pedang?" - Naratria Abiyaksa
"Bar, kamu ini kapan menikahnya sih, Nak? Mama sudah kepingin sekali menggendong cucu dari kamu. Michellia saja anaknya sudah mau dua. Masa kamu kalah sama adikmu? Umur kamu sudah tiga puluh tahun, lho."
Oryza Sativa Dewangga menegur putranya yang sedang duduk santai menonton televisi. Sebagai seorang ibu, ia resah karena putranya ini sama sekali tidak menunjukkan niat ingin menikah. Padahal usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga.
"Mama kadang heran, papamu itu Don Juan sejati. Pacarnya tersebar merata di seluruh penjuru kota. Di setiap tikungan kompleks saja ada. Lah kamu, umur segini pacarannya cuma satu kali. Itu pun pada masa kuliah bertahun-tahun yang lalu. Perempuan di dunia ini tidak semuanya sama seperti Diandra, Nak. Nggak semuanya materialiatis seperti si Dian itu. Atau kamu mama jodohin saja ya?"
Ory yang duduk di seberang sofa mendekati putranya. Ia berusaha memudahkan jalan putranya untuk berumah tangga dengan cara menjodohkannya. Ia mempunyai banyak sahabat yang memiliki anak gadis cantik-cantik dengan akhlak yang baik-baik pula. Siapa tahu kelak ia bisa berbesanan dengan salah seorang dari sahabat-sahabat baiknya. Insya Allah.
Akbar pada masa kuliahnya dulu pernah berpacaran dengan Diandra Sasmita, teman sekampusnya selama hampir tiga tahun. Saat memasuki tahun ke tiga itulah, Diandra tiba-tiba saja meminta putus dari Akbar. Kabar terakhir Diandra menikah dengan seorang duda seusia ayahnya karena faktor harta. Semenjak kejadian itu Akbar menutup diri dari masalah asmara. Ia tidak bergeming walau didekati oleh wanita secantik apapun. Akbar seperti mati rasa. Ia dan suaminya sudah capek menasehati Akbar agar mau kembali membuka diri. Tetapi hasilnya tetap nihil. Akbar tetap teguh dengan pendiriannya.
"Menikah itu gampang kok, Ma. Yang susah itu cari jodohnya. Lagi pula menikah itu bukan masalah secepat-cepatnya Ma, tetapi setepat-tepatnya. Nikah kok main cepet-cepetan. Memangnya lomba lari?" Akbar menjawab santai pertanyaan ibunya sambil membuka laptop yang ada di samping sofa. Pekerjaannya menggunung sementara waktu satu hari dua puluh empat jam itu seakan-akan tidak cukup untuknya. Dan seperti biasa ia segera tenggelam dalam kesibukannya sendiri.
"Kalau kamu memang kesulitan mencari jodoh, Mama saja yang mengaturnya untuk kamu mau, Nak?" Akbar menghela nafas panjang. Kalau mamanya sudah mulai menambahkan kata Nak dalam kalimatnya, itu artinya ada permintaan yang tidak terbantahkan oleh wanita yang telah melahirkannya ke dunia tiga puluh tahun yang lalu ini.
"Ya sudah, Mama atur saja. Tetapi ingat, Mama tidak boleh memaksa kalau Akbar tidak sreg dengannya ya, Ma? Karena pernikahan itu kan sifatnya komitmen. Seumur hidup lagi. Jadi tidak mungkin Akbar menikah kalau Akbar merasa tidak cocok dengannya. Oke, Ma?" Akbar merasa sekali-sekali menyenangkan hati mamanya kan tidak salah? Masalah dia mau atau tidak menikah dengan wanita pilihan mamanya, itu kan bisa diatur. Yang penting telinganya selamat dulu dari nyanyian siang malam mamanya tentang jodohnya yang selalu tidak pernah terlihat hilalnya.
"Kamu itu sukanya wanita yang seperti apa, Nak?" Ory gembira sekali. Di kepala cantiknya sudah tersusun nama-nama kandidat wanita yang akan menjadi calon menantunya. Tinggal Akbar saja yang memilih salah satu di antara mereka.
"Akbar tidak ada type khusus, asal wanita itu bukan si Tria. Tidak lucu juga saat nanti Akbar minta dibikinin kopi atau sarapan pagi, kopinya malah diaduk pakai pisau dan nasi gorengnya dimasak dengan pedang alih-alih spatula. Akbar paling tidak suka wanita yang menyalahi kodratnya."
Akbar teringat dengan sosok gahar adik perempuan Tama, Naratria Abiyaksa yang sebenarnya dulu sempat ditaksirnya. Hanya saja selain Tria sudah memilih laki-laki lain, dandanan Tria juga kerap membuatnya sakit mata. Semakin dewasa Tria, penampilannya semakin gahar saja. Ia ilfeel melihatnya. Ngomong-ngomong soal Tama, setengah jam lalu sahabatnya itu baru saja curhat soal batalnya pernikahannya. Ternyata pacarnya berselingkuh dengan Raphael, pacar Tria, adik kandungnya. Double jack pot banget sakitnya kan? Itulah perempuan dengan segala keabsurbannya. Diberikan laki-laki yang baik, malah memilih bad boy. Apabila sudah tersakiti, baru lah mereka berkoar-koar mengatakan bahwa semua laki-laki sama saja. Aneh bukan?
"Lho kenapa dengan Tria, Bar? Anak Om Aksa dan Tante Lia itu kan cantik sekali?" Ory mengerutkan keningnya. Akbar sepertinya antipati sekali terhadap Tria. Padahal Tria itu anak yang baik dan cantik. Mirip sekali dengan ibunya. Termasuk juga hobbynya yang menggemari balap mobil dan ilmu bela diri.
"Cantik? Iya. Baik? Mungkin saja. Tapi Akbar sangat tidak suka melihat ketomboyannya. Tria itu tidak pernah sekalipun memakai rok kan, Ma? Sikapnya juga tidak ada manis-manisnya. Tria itu kasar seperti preman pasar. Akbar ilfeel dengan type wanita yang seperti itu. Akbar sampai merasa kalah gagah dari Tria."
Kalimat Akbar membuat Ory tertawa geli. Tria ia memang tomboy sampai ke partikel syarafnya. Tapi mau bagaimana lagi, si Lia juga seperti itu penampakannya. Tidak heran kalau putrinya menuruni sifatnya.
"Ya sudah. Kalau kamu tidak suka dengan yang type tomboy begitu, Mama akan mencari wanita yang lemah lembut seperti putri keraton. Duh Mama jadi tidak sabar ingin mengendong cucu dari kamu, Bar!" Mata Ory berbinar-binar saat membayangkan ia akan mendapatkan cucu-cucu yang lucu dari Akbar.
"Astaga Mama... Mama... jodohnya saja belum kelihatan hilalnya, ini Mama malah sudah membayangkan menggendong cucu segala." Akbar menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh Akbar keluar sebentar ya, Ma? Akbar mau ke rumah Benny. Ada beberapa berkas yang ketinggalan di rumahnya. Mungkin Akbar pulang agak malam. Soalnya Akbar harus membahas masalah pekerjaan di sana." Akbar meraih kunci mobil di meja buffet dan menyalami mamanya.
"Akbar berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam. Hati-hati di jalan, Bar. Ini sudah malam." Akbar menjawab pertanyaan mamanya dengan menunjukkan jempolnya. Akhirnya ia selamat dari topik perjodohan yang memusingkan kepalanya.
==================================
Tria mengendarai HONDA NSX GT3-nya dengan kecepatan maksimal. Ia galau dan depresi berat. Ia masih sulit mempercayai kalau Raphael sanggup menghianatinya seperti ini. Hatinya remuk saat memergoki Rahpael tengah bercumbu mesra dengan calon kakak iparnya sendiri, Karina Winardi. Padahal kurang dari sebulan lagi kakaknya, akan menikahinya.
Bayangan yang ia saksikan di apartemen tadi tidak bisa lepas dari kepalanya. Pemandangan saat Rapha dan Karina yang buru-buru mengenakan pakaian saat terciduk kembali mengait emosinya. Ia memukul stir mobil berkali-kali. Mencoba melampiaskan emosi yang tak kunjung reda. Tetapi bayangan itu tidak bisa hilang juga. Ia dan Raphael sudah berpacaran hampir setahun lamanya. Ia sudah terbiasa dengan kebersamaan mereka yang semakin hari sepertinya semakin serius. Raphael juga telah memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya.
Yang membuatnya berbesar hati adalah kedua orang tua Raphael tidak pernah mempersoalkan penampilan tomboynya. Mereka berdua wellcome-wellcome saja. Bu Miranti, ibu Rapha bahkan sudah sering menyinggung-nyinggung kapan ia bersedia dilamar. Bayangkan, seperti apa hancurnya perasaannya tadi saat melihat peristiwa yang setitik debu pun tidak pernah diduganya. Sebenarnya ia tadi hanya ingin mengambil bindernya yang tertinggal di apartemen Raphael. Ia memang sudah tahu password apartemen Rapha yang merupakan gabungan dari tanggal lahirnya sendiri. Makanya ia pun masuk ke dalam kamar begitu saja. Dulu Rapha mengatakan itu adalah sebagai tanda cintanya kepada dirinya. Cinta? Cinta taik kucing. Cuihh!
Walaupun tadi ia shock, untungnya ia masih sempat merekam aktifitas kedua penghianat menjijikkan itu walau hanya beberapa menit. Tetapi setidaknya ia sudah memiliki bukti. Saat itu juga ia mengirimkan video menjijikkan itu pada kakaknya.
Ia tahu kakaknya pasti mengamuk saat melihat video yang ia kirimkan. Karena ia melihat Karina tiba-tiba saja menerima panggilan telepon dan menghiba-hiba memohon maaf pada kakaknya. Ia yang tidak ingin melihat drama receh itu lebih lama lagi, segera meninggalkan apartemen. Ia menulikan telinganya dari Raphael yang terus saja berusaha meminta maaf dengan suara terbata-bata.
"Gue minta maaf Tri, gue khilaf. Gue terbawa suasana. Beri gue kesempatan untuk memperbaiki kesalahan gue, Tri. Gue berjanji nggak akan mengulanginya lagi." Raphael yang terus mengekori langkahnya di sepanjang lorong apartemen mulai berprilaku sama seperti Karin tadi. Menghiba-hiba memohon maaf. Seperti inilah kelakuan para pecundang. Mati-matian mencari alasan dan terus saja menyalahkan keadaan. Sampah!
"Lo bilang apa tadi Raph? Khilaf? Lo kira gue anak SD yang bisa lo kibulin mentah-mentah? Desahan uh ah oh yes oh no gitu lo bilang khilaf? Kalo mau ngibul all out dong, Raph. Jangan nanggung! Jadi keliatan banget kan gobloknya? Denger ya Raph, mulai hari ini kita putus! Dan inget, lo jangan deket-deket gue lagi kalo lo nggak kepengen junior lo gue bikin sate!"
Dan ia pun meninggalkan Raphael begitu saja. Mantan pacarnya itu masih terus memanggil-manggilnya walaupun ia telah masuk ke dalam lift. Saat Raphael menyusul dan bermaksud ikut masuk ke dalam lift, ia memberinya satu hook kanan sekuat tenaga. Rapha meringis kesakitan seraya memegangi hidungnya yang sepertinya patah. Emang enak!
Mulai saat ini, ia memutuskan bahwa ia tidak akan pernah lagi memberikan hatinya pada laki-laki mana pun juga di muka bumi ini. Laki-laki itu semua tidak ada yang setia dan tidak ada yang bisa dipercaya?
Lo inget-inget kata-kata gue ini ya, preman pasar. Jangan terlalu terpesona dengan laki-laki ganteng. Karena laki-laki ganteng itu kalo nggak gay ya brengsek, termasuk gue!
Ternyata sahabat oroknya itu seratus persen benar. Raphael sudah terbukti tadi bukan gay, tapi brengsek! Ponselnya bergetar. Saat melihat nama Raphael yang tertera di sana, seketika membuat emosinya kembali terkait. Dengan tangan kanan menahan stir mobil dan tangan kiri meraih ponsel, ia langsung saja melemparkan ponsel itu keluar melalui kaca mobilnya. Masih tidak puas juga, ia mundur lagi dan menggilas ponsel itu berkali-kali sampai remuk tak berbentuk. Barulah ia merasa puas. Setelah berhenti sejenak untuk menenangkan adrenalinnya yang up and down, ia kembali melanjutkan perjalanannya. Baru beberapa menit berkendara, gantian ponsel khususnya yang bergetar. Ia memang selalu menggunakan dua ponsel. Satu untuk umum dan satunya lagi khusus untuk orang-orang terdekatnya saja. Saat melihat nama Raphael yang meneleponnya. Ia membiarkannya saja. Kalau bosan, pasti si Rapha akan bosan sendiri.
Tetapi alam sepertinya mengujinya lagi. Seseorang tiba-tiba saja menyeberang jalan tanpa aba-aba. Ia kaget dan seketika menginjak rem dengan mendadak. Suara decitan ban yang di rem mendadak menggema cukup keras di malam yang semakin larut. Nyaris saja! Tria menarik nafas panjang seraya berkali-kali mengumankan kata alhamdullilah dalam hati. Setelah perasaannya sedikit tenang, ia membuka pintu mobil dan bersiap-siap untuk memaki orang hampir saja membuatnya masuk penjara tersebut.
"Hei brengsek! Lo mau mati?! Kalo lo emang pengen banget mati, noh lo terjun sana dari apertemen tingkat 20! Jangan malah bunuh diri dengan cara nabrakin badan lo yang segede gaban itu ke mobil gue dong, sialan!"
Tria memaki-maki seorang laki-laki yang nyelonong begitu saja saat menyeberang jalan dan nyaris saja tertabrak olehnya. Gelapnya jalan tanpa lampu penerangan membuatnya tidak bisa mengenali sosok pria yang nyaris diratakannya dengan aspal tersebut.
"Ck... ck... ck... Entah salah dan dosa apalah yang sudah diperbuat oleh Om Aksa dan Tante Lia sampai mereka mendapatkan putri dajjal kayak lo, Tri. Gue turut berduka cita atas matinya hati nurani lo ya? Udah lo yang salah, eh malah lo yang nyolot. Emang ya kebodohan lo itu ternyata tidak terbatas ?"
Tria mengenali suara tajam dan dingin itu, bahkan tanpa si empunya suara memperlihatkan wajahnya itu.
Adzan Akbar Dewangga!
Akbar menatap sinis wajah murka Tria yang kini semakin tampak seram saja di matanya. Gadis ini memang seperti preman saja kelakuannya. Lihat saja celana jeansnya yang sudah sobek-sobek dan tidak layak pakai. Belum lagi jaket kulitnya yang penuh dengan paku. Penampilan Tria ini sudah menyerupai seekor landak saja. Entah dari segi manalah penampilan yang seperti ini bisa disebut keren. Akbar sampai ngeri sendiri melihat gaharnya penampakan wujud putri teman baik mamanya ini.
"Lo bilang gue apa? Putri dajjal? Lah terus sebutan untuk lo sendiri itu apa? Pangeran gay penyuka batangan? Gitu? Dasar "pemain anggar" syaiton lo! Salah apalah Om Dewa yang laki abis dan Tante Ory yang cakep parah dapet anak laki "belok" kayak lo ini? Kesian, kesian, kesian!" Gantian Tria yang kini mencemooh anak teman baik ibunya ini. Banyak orang mengatakan bahwa Akbar yang laki abis ini gay, karena sama sekali tidak doyan perempuan. Secantik dan seseksi apapun perempuan itu, tidak ada yang pernah berhasil menaklukan hati si beruang kutub ini. Deket-deket dengan manusia ini bakalan kedinginan coeg! Kagak ada anget-angetnya sedikit pun! Sumvah, ane kagak bohong!
"Lo kesian sama ortu gue? Yang perlu dikasihanin di sini sebenarnya itu lo, Tri. Pacar lo main kuda-kudaan sama calon kakak ipar lo kan? Lo nggak usah ngelak, ini kakak lo baru aja curhat sama gue. Jadi yang seharusnya dikasihanin di sini itu siapa? Coba pikir pake otak lo yang cuma segede otak ayam itu?!"
Tria terpaku. Ada rasa malu, terhina dan tidak terima yang hadir secara bersamaan di hatinya. Ia sedih dan malu. Tanpa bisa ia tahan, air matanya mengalir begitu saja. Untuk pertama kalinya ia menangis di hadapan orang lain.
Akbar tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka kalau si preman pasar ini bisa tiba-tiba menangis sampai sesenggukan seperti ini. Tria terlihat menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang bergetar. Dadanya berombak-ombak menahan sedu sedan. Akbar menjadi tidak tega juga melihat keadaan Tria yang terpuruk seperti ini. Ia sudah kelewatan sepertinya.
"Sudahlah Tri. Untuk apa lo tangisin laki-laki nggak bermutu seperti si Raphael itu. Masih banyak laki-laki baik lainnya yang menunggu lo temuin. Lo tinggal tunggu waktu yang tepat aja."
Akbar maju dua langkah. Memeluk tubuh mungil Tria yang entah mengapa terasa begitu pas dalam pelukannya. Harum Tria juga unik. Ia tidak beraroma seperti bunga seperti umumnya para wanita. Tria beraroma buah. Ada rasa segar yang menguar dari tubuh hangatnya. Seperti campuran antara apple dan melon. Rasanya Tria ini begitu enak untuk di "makan".
"Emangnya di dunia ini masih ada laki-laki yang baik, Bar?" Tria balas memeluk erat tubuh Akbar dan diam-diam juga menghirup aroma pinus dan tembakau yang samar-samar menguar dari tubuhnya. Ia menganggap Akbar seperti Tama saat ini. Kakaknya itu selalu memeluknya di kala ia sedang bersedih. Aroma Akbar ini jantan sekali. Sayang sekali ia ini doyannya "pisang" dan bukan "apel".
"Ck! Ya ada dong, Tri. Contoh kongkritnya ya gue."
"Ah lo kan bukan laki, Bar. Lo itu gay, pecinta "batangan". Bukan pecinta perempuan. Lagi pu-"
Hemmmptttt!!!'
Tria kaget saat Akbar melumat ganas mulutnya dan mengobrak-abrik rasa manis bibirnya. Tria yang tidak mempunyai pengalaman dicium sepanas ini terbuai dan menggigil bersamaan. Tanpa sadar, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran berputar-putar yang membuainya dalam panasnya hasrat. Ia tidak bisa mendeskripsikan perasannya. Perlahan bibir mereka berpisah. Tria masih mematung. Ia seperti tidak mempercayai apa yang baru saja mereka berdua lakukan.
"Setelah semua yang gue lakukan ini, apa lo masih menganggap kalo gue ini gay, Tri?" Akbar berbisik dengan suara serak dan parau di telinga Tria.
"Gue-gue..."
Tria yang masih shock tidak sanggup berkata-kata. Setelah ingatannya terkumpul semua barulah ia bereaksi keras.
"Dasar bajingan pervert! Gue matiin lo sekarang!" Tria mengamuk.
Bab 1 Chapter 1
16/11/2021
Bab 2 Chapter 2
16/11/2021
Bab 3 Chapter 3
16/11/2021
Bab 4 Chapter 4
16/11/2021
Bab 5 Chapter 5
16/11/2021
Bab 6 Chapter
19/11/2021
Bab 7 Chapter 7
20/11/2021
Bab 8 Chapter 8
22/11/2021
Bab 9 Chapter 9
23/11/2021
Bab 10 Chapter 10
23/11/2021
Bab 11 Chapter 11
23/11/2021
Bab 12 Chapter
23/11/2021
Bab 13 Chapter 13
23/11/2021
Bab 14 Chapter 14
23/11/2021
Bab 15 Chapt 15
23/11/2021
Bab 16 Chapter 16
23/11/2021
Bab 17 Chapter 17
23/11/2021
Bab 18 Chapter 18
23/11/2021
Bab 19 Chapter 19
23/11/2021
Bab 20 Chapter 20
23/11/2021
Bab 21 Chapter 21
23/11/2021
Bab 22 Chapter 22
24/11/2021
Bab 23 Chapter 23
24/11/2021
Bab 24 Chapter 24
24/11/2021
Bab 25 Chapter 25
24/11/2021
Bab 26 Chapter 26
24/11/2021
Bab 27 Chapter 27
24/11/2021
Bab 28 Chapter 28
24/11/2021
Bab 29 Chapter 29
24/11/2021
Bab 30 Chapter 30
24/11/2021
Bab 31 Chapter 31
24/11/2021
Bab 32 Chapter 32
24/11/2021
Bab 33 Chapter 33
24/11/2021
Bab 34 Chapter 34
24/11/2021
Bab 35 Chapter 35
24/11/2021
Bab 36 Chapter 36
24/11/2021
Bab 37 Chapter 37
24/11/2021
Bab 38 Chapter 38
24/11/2021
Bab 39 Chapter 39
24/11/2021
Bab 40 Chapter 40
24/11/2021
Buku lain oleh Suzy Wiryanty
Selebihnya