icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dignity ( Demi Harga Diri)

Dignity ( Demi Harga Diri)

Suzy Wiryanty

5.0
Komentar
40.8K
Penayangan
55
Bab

Menjelang delapan tahun usia pernikahannya, Suri Hidayah merasa tidak bisa mempertahankan rumah tangganya lagi. Karena Prasetyo Prasojo, suaminya telah berubah menjadi sosok yang tidak lagi ia kenali. Pras berubah setelah karirnya melesat ke puncak. Dari seorang karyawan biasa, Pras kini menjadi seorang direktur pelaksana yang disegani. Pras lupa diri. Pras yang sekarang telah berdasi, kerap merudung Suri, secara fisik dan psikis. Merendahkan pendidikan Suri yang hanya tamatan SMP, serta mencela penampilan Suri yang menurut Pras norak alias kampungan. Dalam pandangan Pras, perempuan sempurna itu haruslah seperti Murni Eka Cipta. Anggun, cerdas, berpendidikan tinggi juga berharta. Murni adalah lady boss perusahaan tempat Pras bekerja. Suri yang sakit hati, dalam diam terus berusaha memperbaiki diri. Ia mencoba mengubah penampilannya menjadi lebih baik, dan juga belajar mencari penghasilan sendiri. Suri secara otodidak belajar memasarkan hasil rajutannya melalui media sosial. Hanya saja Suri terkendala dengan masalah modal. Ia tidak mempunyai cukup dana untuk membeli benang-benang dalam jumlah besar untuk keperluan merajutnya. Adalah seorang Damar Adhiyatna, mantan suami Murni yang kebetulan bertemu dengan Suri secara tidak sengaja. Damar adalah pemilik PT. Karya Tekstil Adhiyatna. Perusahaan yang bergerak dalam bidang benang jahit. Damar yang mengetahui kesulitan Suri bersedia membantu dengan sistem barter. Damar memasok benang, dan Suri memajang hasil rajutannya di toko kerajinan tangan ibunya. Bagaimana perjuangan jatuh bangunnya Suri dalam mengumpulkan serpihan harga diri? Bagaimana juga akhir kisah cinta segitiga antara Suri, Damar, Pras dan juga Murni? Cerita ini akan menjadi saksi betapa kekuatan cinta akan mengubah segalanya. Cinta sejati itu tidak pernah pudar karena rupa, dan tidak padam dimakan usia.

Bab 1 1. Curiga.

Sembari merajut, Suri bolak-balik memindai jam dinding di ruang tamu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Prasetyo, suaminya, belum juga pulang ke rumah. Suri gelisah. Biasanya paling lambat pukul tujuh malam Pras sudah sampai di rumah. Jikalau pun Pras meeting atau sekedar mengobrol dengan client, biasanya Pras akan mengabarinya. Memintanya untuk tidak menunggunya makan malam karena ia akan makan di luar. Tidak biasa-biasanya Pras seperti ini.

Suri meletakkan peralatan rajutnya. Ragu-ragu ia meraih ponsel di atas meja. Ia ingin menelepon Pras. Sebenarnya ia bukanlah type istri yang cerewet. Bukan pula type istri yang selalu ingin merazia suami sendiri. Hanya saja ia khawatir karena tidak ada kabar dari Pras, dari sore hingga malam seperti ini. Suri menimang-nimang ponselnya. Ragu-ragu antara ingin menghubungi Pras atau tidak.

"Aku tidak suka di telepon-telepon saat aku sedang mencari nafkah di luar rumah. Aku bukan anak kecil yang harus kamu beritahu kapan pulang dan beristirahat. Aku bisa mengatur diriku sendiri."

Saat Suri teringat akan pesan yang pernah diutarakan Pras, ia meragu. Ia takut kalau Pras memarahinya. Akhir-akhir ini Pras memang mudah sekali naik darah. Sedikit saja kesalahan yang tidak sengaja ia lakukan, akan berujung pada makian.

Ya, Pras yang sekarang sangat berbeda dengan Pras yang ia kenal sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun lalu Pras adalah sosok pemuda yang santun namun memiliki semangat juang yang besar. Mereka berdua berasal dari kampung yang sama, dan bersama-sama mengadu nasib ke ibukota. Bahkan melamar pekerjaan di tempat yang sama pula.

Bedanya adalah dirinya hanya tamatan SMP, sedangkan Pras seorang sarjana muda. Singkat cerita mereka pun akhirnya berpacaran karena seringnya bertemu. Bayangkan, kost-an mereka hanya berjarak beberapa meter dan satu perusahaan pula. Mereka berdua melamar pekerjaan di PT Adi Busana Eka Cipta. Sebuah pabrik garmen besar di ibukota. Yang berbeda hanya jabatan mereka saja. Dirinya adalah buruh jahit di perusahaan garmen tersebut, sementara Pras staff bagian pemasaran. Wajar posisi mereka berbeda. Karena keterampilan yang mereka miliki berbeda pula.

Setelah dua tahun berpacaran, mereka pun menikah. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putra tampan nan cerdas. Prawira Prasojo namanya. Wira, demikian putra mereka biasa disapa adalah segalanya bagi mereka berdua.

Setelah memiliki Wira, Pras memintanya berhenti bekerja. Gaji sebagai buruh jahit tidak seberapa katanya. Lebih baik ia mengasuh putra mereka di rumah.

Suri kala itu menyetujui usul Pras. Toh perekonomian mereka sudah mulai membaik. Begitulah, Suri berhenti bekerja, dan mengurus rumah tangga seutuhnya setelah putranya lahir.

Tahun demi tahun berlalu. Karir Pras terus merangkak naik dan naik. Hingga akhirnya Pras dipercaya sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan. Pras telah menduduki jabatan sebagai direktur utama PT Adi Busana Eka Cipta. Kedudukan tertinggi di bawah pemilik perusahaan. Pras sekarang bukanlah Pras yang hanya seorang staff bagian pemasaran lagi.

Ketika waktu menunjukkan pukul dua belas tepat, Suri tidak tahan lagi. Ia meraih ponsel dari atas meja dan menekan kontak Pras. Panggilannya tersambung, namun tidak diangkat oleh sang empunya ponsel. Hingga nada panggil habis, ponsel juga tidak kunjung diangkat. Suri mengulangi panggilan. Perasaannya tidak tenang sebelum mendengar suara suaminya. Suri adalah type orang yang tidak suka mengetik melalui aplikasi percakapan. Apa enaknya berinteraksi dengan ketikan bukan?

"Hallo!"

Suri kaget saat mendengar suara bentakan Pras. Ia menjauhkan ponsel sejenak. Berusaha menenangkan hatinya dulu baru berbicara. Terkadang nada suara dan bahasa yang tidak enak bisa memicu pertengkaran bukan?

"Hallo, Mas. Mas ada di mana? Sekarang sudah jam dua belas malam."

"Aku tahu ini jam berapa, Ri. Kamu pikir aku buta sampai tidak bisa melihat jam?"

Suri mengelus dada.

Sabar, Ri. Suamimu sedang mencari nafkah.

"Kalau Mas tahu, mengapa Mas belum pulang? Setidaknya mengabariku, Mas itu ada di mana. Aku khawatir, Mas."

"Aku mencari uang di luar, Ri. Melobby client. Bukannya duduk ongkang-ongkang kaki sepertimu di rumah. Jadi jangan cerewet. Aku akan pulang kalau semua urusanku sudah selesai."

Klik.

Suri masih memegangi ponsel kala Pras menutup panggilannya begitu saja.

Sudahlah, Ri. Setidaknya kamu sekarang sudah tahu kalau Pras baik-baik saja.

Suri menyimpan ponsel di saku celana. Setelahnya ia meraih bungkusan peralatan rajutnya dan menyimpannya ke dalam lemari. Ia sudah tidak berhasrat melanjutkan rajutannya lagi. Saat akan beristirahat ke dalam kamar, motifikasi ponselnya berbunyi. Wanti, rekan kerjanya saat sama-sama bekerja sebagai buruh jahit dulu mengechatnya. Sampai saat ini Wanti memang masih bekerja di sana. Hanya saja jabatannya sudah berbeda. Wanti sekarang sudah menjadi manager pemasaran. Bukan buruh jahit lagi.

"Sudah baikan belum sakit perutnya, Ri?"

Suri mengerutkan kening. Sakit perut? Mengapa Wanti mengira kalau dirinya sedang sakit perut? Namun tak urung Suri membalasnya juga. Ia ingin tahu dari mana Wanti mendapatkan kabar itu.

"Udah mendingan, Ti. Kamu kok tahu aku sakit perut?" Suri membalas chat Wanti sembari menyisipkan pertanyaan. Ia penasaran.

"Ya dari Mas Pras lah. Kami semua merayakan ulang tahun perusahaan beserta keluarga. Hanya Mas Pras yang datang sendiri. Makanya aku heran. Kata Mas Pras kamu sakit."

Pras membohonginya.

"Ya begitulah, Ti. Aku 'kan punya penyakut asam lambung. Terlambat makan sedikit saja, langsung kumat." Walau dadanya terasa nyeri, Suri mengikuti sandiwara yang telah dimainkan Pras. Ia masih ingin menjaga muka suaminya.

"Iya sih. Ehm, aku meneleponmu sebenarnya ingin menceritakan sesuatu. Tapi bagaimana ya, aku tidak enak mengatakannya."

Suri mengelus dada perlahan. Mempersiapkan mental agar siap mendengar apapun yang akan diceritakan oleh Wanti. Dirinya dan Wanti sudah saling mengenal lama. Oleh karenanya saat nada suara Wanti bimbang seperti ini, Suri sudah menangkap sesuatu. Bahwa apapun yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu nanti bukanlah hal yang menggembirakan.

"Kamu ingin bilang apa, Ti? Katakan saja. Kamu ini seperti sedang berbicara dengan orang lain saja." Suri sedapat mungkin memperdengarkan nada suara yang biasa-biasa saja. Padahal denyut jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

"Begini ya, Ri. Entah ini hanya perasaanku saja. Tapi aku merasa sikap Pras terhadap Bu Murni agak-agak terlalu akrab untuk hubungan antara ehm atasan dan bawahan. Aku malah melihat mereka cenderung mesra. Seperti pasangan suami istri saja."

Degh!

Suri mengelus dada ketiga kalinya. Mendadak seperti ada jarum-jarum kecil yang menancap di sana. Nyeri sekaligus menegangkan. Berbagai macam syak wasangka berkecamuk di kepalanya. Murni Eka Cipta adalah pemilik perusahaan. Usia Murni hanya dua tahun di atas Pras. Status Murni janda beranak satu. Murni sudah berpisah lama dengan Pak Damar Adhiyatna.

"Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Ti. Dari dulu Bu Murni 'kan memang selalu dekat dengan staff-staffnya. Dengan kita dulu juga begitu 'kan?"

"Aku tahu. Tapi kedekatannya dengan Pras, lain dari yang lain, Ri. Coba kamu bayangin, Bu Murni mengambilkan makanan dan minuman untuk, Pras. Pantas tidak itu, Ri? Aneh kan? Seperti suami istri saja!"

"Mungkin itu sebagai bentuk penghargaan Bu Murni pada Mas Pras. Kata Mas Pras, ia bekerja keras untuk kemajuan perusahaan akhir-akhir ini."

Suri mencoba menengahi kecurigaan Wanti. Ia bukannya tidak percaya pada Wanti. Ia hanya tidak mau suudzon. Ia harus memastikan kebenarannya terlebih dahulu sebelum menuduh seseorang. Semakin panas hatinya, semakin ia coba mendinginkan kepalanya.

"Ck! Itulah mengapa tadi aku ragu-ragu menceritakannya padamu. Kamu 'kan orang selalu berpikir positif, bahkan untuk sesuatu yang negatif. Penempatan pikiran positifmu itu terkadang terlalu berlebihan, Ri. Aku takut, saat kamu menyadari kebenarannya nanti, semuanya sudah terlambat. Aku mengatakan ini karena aku menyayangimu. Kita sama-sama anak rantau, Ri. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Pertimbangkan baik-baik kata-kataku ini, Ri. Tanyakan baik-baik pada Pras. Mencegah itu lebih baik daripada ke pengadilan kan, Ri?"

Pengadilan. Itu artinya Wanti serius dengan ucapannya.

Suri menutup ponsel dengan hati gelisah. Semoga saja apa yang dikatakan Wanti ini tidak benar adanya. Namun apa yang disarankan oleh sahabatnya itu akan ia tunaikan. Setelah Pras pulang nanti ia akan menanyakan kebenarannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Suzy Wiryanty

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku