Terlalu banyak rahasia di kehidupan seorang gadis bernama Keysia. Semua orang menyembunyikan berbagai macam fakta darinya. Banyak hal yang dia lewati setelah menempati rumah baru, kematian, teka teki, teror, dendam dan cinta menghiasi kehidupan barunya. Mampukah Keysia mengungkap semua rahasia itu? Antara cinta dan dendam yang terbalut rahasia, apakah Keyisa mampu menghadapi semua itu?
"Selamat datang di rumah baru kita," ucap seorang laki-laki yang sudah cukup berumur sekitar kepala empat sambil membukakan pintu rumah tersebut.
"Wah, rumahnya bagus ya, Ayah," seorang anak perempuan menimpali.
"Iya, Nak. Ayok, kita masuk," ajak wanita di sebelahnya.
Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar dengan aksen yang estetik karena model rumah ini termasuk ke dalam rumah-rumah zaman dulu. Rumah ini berada di pinggiran kota Bandung, dekat dengan hutan Pinus, itu sebabnya di sekeliling rumah tersebut punbanyak sekali ditumbuhi pepohonan, khususnya Pinus.
"Keysia, rumah ini mungkin tidak sebagus rumah kita yang dulu, tapi percayalah hidup di sini lebih aman dan tentram," kata Bram–ayah Keysia.
"Tidak apa-apa, Ayah. Menurutku ini juga sudah sangat bagus, aku senang tinggal di sini karena udaranya sejuk dan dikelilingi oleh bukit-bukit dan juga hutan Pinus," Keysia tampak sangat sumbringah.
"Baguslah, Nak. Ibu juga senang kalau melihat kamu senang," Shinta menimpali.
"Kalau begitu, kamu ke kamar lebih dulu dan jangan lupa untuk membereskannya. Rumah ini kan sudah lama tidak dihuni, jadi kamu harus membersihkan debu-debunya dan menata ulang semua barang-barangmu," perintah Bram.
"Siap, Ayah. Aku pergi ke kamar dulu," Keysia beranjak dengan membawa tas ransel yang berisi sebagian dari barang-barangnya.
Kini tinggal ada Shinta dan Bram di ruang tamu, sepasang suami istri itu tampaknya sedang dalam perdebatan kecil.
"Mas, kamu belum menjawab pertanyaanku, kenapa kita sampai harus pindah rumah ke sini? Kamu mengatakan pada Keysia bahwa kamu dipindah tugaskan ke sini, tapi aku tau kalau itu semua tidak benar, iya kan? Selama bertahun-tahun menikah denganmu, aku sendiri tak pernah tau dengan jelas pekerjaan apa yang kamu lakukan selama ini untuk menafkahi aku dan Keysia. Kamu selalu mengatakan bahwa aku tidak perlu tau tentang itu, dan selama ini aku juga tidak pernah menuntut jawaban atas semua pertanyaanku. Tapi kali ini aku sungguh tidak mengerti, kenapa kita harus sampai pindah rumah dari Jakarta ke Bandung?" Shinta menanyakan beberapa pertanyaan sekaligus.
Memang benar adanya, Shinta adalah seorang istri yang sangat penurut, dia tak pernah menuntut banyak kepada suaminya. Selama ini Shinta hanya perlu diam di rumah, duduk manis, mengurus anak, dan menerima uang bulanan yang jumlahnya tidak sedikit dari Bram. Tapi Shinta tak pernah tau pekerjaan apa yang dilakukan oleh suaminya, dia selalu percaya sepenuh hati kepada Bram.
Shinta menikah dengan Bram pun atas hasil perjodohan orang tua mereka yang katanya sudah membuat janji dari sejak mereka kecil.
Namun kali ini Shinta tak bisa diam ketika Bram tiba-tiba mengajak dia dan anaknya untuk pindah ke Bandung, tempat di mana Bram dilahirkan dan dirawat hingga besar.
"Sudahlah, Sayang. Kamu tidak perlu terlalu cemas begitu. Aku kan sudah mengatakan hal ini kepadamu, di tempat tinggal kita yang dulu itu sudah tidak aman, aku hanya ingin melindungi kamu dan Keysia. Sementara di sini jauh dari pemukiman, di sini damai dan tentram karena dikelilingi oleh bukit dan hutan Pinus, selain itu tak ada orang yang tau bahwa kita tinggal di sini, jadi rumah ini adalah tempat yang paling aman untukmu dan juga Keysia," jelas Bram.
Padahal Bram sudah menjelaskan cukup panjang, tapi tetap saja itu tak ada satu kata pun yang menjawab pertanyaan Shinta.
"Tapi, Mas. Aku masih penas–," belum selesai Shinta bicara, tapi Bram sudah lebih dulu beranjak sambil mengangkat tangannya pertanda bahwa dia enggan untuk mendengarkan apapun lagi.
"Kita kan baru saja sampai di rumah ini, daripada berdebat dan akhirnya bertengkar, lebih baik kita membersihkan ruangan-ruangan di sini," tegas Bram seraya berlalu.
Shinta hanya bisa menghela napas, kesabarannya selalu diuji selama menjalani pernikahan ini dengan Bram. Mungkin Bram memang suami yang baik dan bertanggung jawab, Shinta tak pernah merasa kekurangan baik dari segi finansial ataupun seksual. Tapi tetap saja terlalu banyak rahasia yang Bram sembunyikan darinya dan Shinta tak suka itu.
Namun sepertinya tak ada yang bisa dia lakukan, jika Bram telah memutuskan untuk tidak memberitahunya, maka sampai kapan pun Bram akan tetap diam. Percuma saja dia mengomel, jika akhirnya tetap tak mendapatkan jawaban.
Shinta menaruh tasnya, dia memutuskan untuk membantu sang suami dan juga anaknya membersihkan rumah itu.
"Keysia, sini sayang. Kita mulai beres-beres dari dapur terlebih dahulu," panggil Bram yang sudah siap dengan kemocengnya. Sementara Shinta pun sudah berdiri di samping Bram dengan membawa sapu.
"Iya, Ayah. Aku ke sana sekarang," jawab Keysia seraya memenuhi panggilan ayahnya.
"Ayok, kita mulai. Ayah dan Ibu membersihkan dapur, kamu membersihkan tembok-tembok berdebu dari ujung sini sampai ke ujung sana," Bram segera membagi tugas untuk anak dan istrinya. Pekerjaan ini harus dilakukan bersama-sama karena rumah ini terbilang besar dan sudah cukup usang karena debu-debu yang menempel di setiap inci ruangannya. Wajar saja karena rumah ini sudah lama tak terpakai semenjak Bram pindah ke Jakarta.
"Oke, Ayah, aku akan membersihkan tembok-temboknya," kata gadis berusia tujuh belas tahun itu.
Keysia mulai membersihkan tembok dengan semangat penuh, tak ada masalah baginya ketika Bram mengatakan bahwa mereka akan pindah. Justru Keysia sangat senang karena dia pecinta alam, di sini dia bisa sepuasnya memandang gunung, bukit, hutan Pinus, dan pemandangan-pemandangan indah lainnya.
Perlahan-lahan langkah Keysia semakin menjauh seiring dengan tembok yang sedikit demi sedikit telah dibersihkan olehnya. Tak lama kemudian, dia sudah sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Sepertinya ruangan itu sudah lama tidak dibuka, pintunya pun terlihat sangat berdebu.
Ruangan ini sedikit berbok dan terpisah dari tembok lurus yang tersambung dengan dapur, jika dilihat dari dapur maka ruangan ini sama sekali tidak terlihat, seolah tak ada ruangan apapun di sini.
"Ayah!" teriak Keysia.
"Apa, Sayang," jawab Bram.
"Kemarilah sebentar," teriak Keysia lagi.
Shinta yang juga mendengar teriakan putrinya langsung khawatir, tanpa berpikir panjang lagi dia segera berlari menghampiri Keysia, diikuti oleh Bram di belakangnya.
"Ada apa, Keysia?" tanya Shinta yang sudah lebih dulu menghampiri anaknya.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Aku hanya ingin bertanya pada Ayah, itu ruangan apa?" tanya Keysia.
"Itu bukan ruangan apa-apa, itu hanya gudang yang berisi barang-barang bekas," jawab Bram dengan cepat.
"Apa boleh aku masuk untuk membersihkannya?" tanya Keysia lagi.
"Jangan, jangan pernah kamu mencoba untuk masuk ke dalam!" seru Bram sedikit menyambar.
"Loh, kenapa, Mas? Kamu bilang kan itu hanya gudang, kenapa tidak boleh dibersihkan?" sekarang giliran Shinta yang bertanya penuh selidik.
Bram memainkan bola matanya ke sana kemari, "Karena ... Karena kuncinya sudah hilang, bagaimana caranya kalian bisa masuk ke dalam sana. Lagipula, tak ada yang istimewa dari ruangan itu. Biarkan sajalah, mungkin ruangnya juga sudah diisi oleh tikus-tikus besar, cacing, dan sejenisnya. Jadi lebih baik dibiarkan saja," jelas Bram dengan tegas seraya melengos ke arah lain.
Shinta menatap jauh ke mata suaminya, namun Bram selalu mengelak dari tatapan Shinta.
"Sudah, jangan dibahas lagi. Ayok kita lanjutkan bersih-bersihnya," ajak Bram seraya berlalu dan langsung diikuti oleh Keysia.
Dalam hati Shinta berkata, "Aku yakin, ada sesuatu dibalik ruangan ini. Aku juga yakin kalau Mas Bram itu bohong. Tapi apa?"
Shinta memandangi pintu usang itu cukup lama sebelum dia pergi karena suami dan anaknya sudah memanggil.