Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Silent (Love, loyalty and hurt)

Silent (Love, loyalty and hurt)

Rianievy

4.9
Komentar
38.4K
Penayangan
64
Bab

Nadin seorang istri yang dikhianati suaminya karena diam-diam berselingkuh, alasan perselingkuhan juga karena Nathan, suami Nadin, memiliki kelainan seksualitas yang tak mungkin bisa di lampiaskan kepada Nadin. Cinta dan kesetiaan, menjadi rasa kecewa juga sakit yang teramat dalam bagi Nadin. Ia berusaha menyelamatkan rumah tangganya, tapi Nathan kembali berulah karena hasratnya itu. Hingga Nadin, bertemu dengan Devon, yang berawal dari Nadin yang salah menuduh Devon atas satu kesalahan, berubah menjadi ketertarikan Devon pada Nadin. Namun, karena Devon tau posisi Nadin, ia tak mau menjadi seseorang yang memperkeruh rumah tangga wanita cantik itu. Karma datang kepada Nathan, Nadin diam, tapi diamnya Nadin bukanlah emas, melainkan keputusan hebat yang membuat geger semua orang, dan Nathan yang merasa dunianya hancur, walau Nadin jelas, begitu mencintai Nathan. Tak ada pengkhianatan berbuah manis, Nadin, tak akan berikan itu.

Bab 1 Kuatan aku, kan

"Bacok lagi, ayo ... pakai tenaga! Tenaganya keluarin!" teriak heboh seorang wanita yang gemas dengan putranya saat membelah buah kelapa kuning dengan gambar tokoh wayang.

"Lembek amat," celetuk Nathan. Kakak kandung pria yang masih memegang golok dengan hiasan bunga melati dironce panjang pada gagang.

"Keras, kali, Mas! Lo coba sini!" protes Naka yang tampak kesusahan dengan baju adat yang ia kenakan.

"Pake tenaga!" omel Nathan lagi. Ia mulai emosi, wanita di sebelahnya mengusap lengan Nathan. Pria itu menoleh, tersenyum lalu meraih jemari tangan Nadin, istrinya yang begitu cantik.

"Kuatan aku, kan, dari pada Naka?" bisik Nathan menggoda Nadin. Kedua mata Nadin membulat sempurna, ia menahan senyumnya sambil menatap Nathan. Pria itu mengecup jemari Nadin, membawa ke dadanya. Lalu kembali mengomentari adiknya yang berhasil membelah kelapa itu.

"Akhirnya," ucap para tamu undangan yang hadir di acara tujuh bulanan itu. Nadin beranjak, karena Ibu mertuanya memanggil.

"Iya, Bu." Dengan sopan Nadin menghampiri dan berdiri di samping wanita lima puluh tahun itu.

"Di sana ada keluarga lain, Ibu males jawab pertanyaan yang sama. Kamu aja, ya, Din, biar langsung dari sumbernya." Tatapan ibu mertuanya memohon, Nadin mengangguk. Ia lalu kembali duduk, dan memberi tahu Nathan.

"Gimana, nih, Mas? Pertanyaan masih sama." Nadin mengeratkan genggaman jemarinya ke Nathan.

"Jawab aja apa adanya, emang belum di kasih anak, mau apa lagi? Toh, kita bahagia, kan? Sirik amat jadi orang." Raut wajah Nathan sudah menunjukan ketidak sukaannya pada keluarga besar baik dari ayah atau pun ibunya. Karena pertanyaannya akan selalu sama,

Kapan Nadin hamil?

Kenapa nggak hamil-hamil?

Nathan nggak kuat kali, ya?

Nadin kurang makan makanan sehat, nih?

Ayo dong, program, bayi tabung, deh!

Hingga, banyak kejulid-tan lainnya. Hal itu juga yang membuat Nadin malas jika datang ke acara yang dibuat keluarga besar Nathan. Ia juga tak enak dengan ibu dan ayah mertuanya. Ditambah, hari itu, mereka tak mungkin jika absen dari acara tujuh bulanan istri adik iparnya, Margie.

Dua tahun delapan bulan pernikahan dengan Nathan, pria yang ia kenal tak sebentar, mereka dulu satu SMA. Nathan Kakak kelas Nadin yang saat itu kelas satu. Berawal dari teman, jadi lanjut ke tingkatan lain dalam hubungan mereka.

Pisah sejenak karena kuliah berbeda kampus, dipertemukan kembali saat sudah berkarir di bidang masing-masing. Nathan manajer Bank swasta, Nadin admin support perusahaan leasing besar.

Senior dan junior, ya, begitulah mereka. Pacaran mereka hanya satu tahun sebelum memutuskan menikah.

"Mas, kalau mereka cecar jawaban lain gimana?" bisik Nadin mulai tak nyaman. Nathan mendengkus, ia akhirnya memberikan saran supaya Nadin menghindar saja. Tak perlu berada di sana untuk sekedar menyapa.

Tatapan Nadin sendu, karena tiba-tiba suasana menjadi ramai mana kala tiba dikegiatan berganti pakaian sebanyak tujuh kali. Tamu undangan heboh, bahkan tampak bahagia. Istri Naka itu juga tampak memancarkan aura cantik luar biasa, tersenyum dan mengucapkan terima kasih saat para tamu mengusap perut buncitnya.

Jemari Nadin reflek mengusap perutnya yang rata. Ia melirik ke Nathan yang justru melihat dingin ke arah kerumunan orang-orang itu. Naka dan istrinya berjalan berdampingan, menghampiri Nathan dan Nadin untuk meminta doa restu, supaya kehamilan dan proses melahirkan nanti lancar, Ibu dan bayinya selamat juga sehat.

Nathan berdiri, diikuti Nadin. Tangan Nathan terulur, karena Naka mencium punggung tangan sebagai tanda ia menghormati sang adik ke kakaknya. Lalu tangan Nathan beralih ke perut besar adik iparnya. Mengusap lalu tersenyum, "sehat ya sampai lahiran nanti, jadi anak yang selalu dibanggakan keluarga," ucapnya. Berganti ke Nadin, ia juga memeluk erat Naka, sambil mengucapkan selamat. Berganti ke istri Naka yang terharu dengan linangan air mata saat menatap Nadin.

"Kenapa nangis?" tanya Nadin di saat memeluk wanita itu.

"Semoga Mbak cepet hamil ya, aku mau lihat Mbak hamil anak Mas Nathan, biar ramai keluarga kita." Pelukan terlepas perlahan, Nadin mengangguk sambil tersenyum.

"Aamiin. Mudah-mudahan dilancarkan ya persalinan kamu dua bulan lagi, kabarin Mbak kalau kamu butuh sesuatu." Nadin mengusap perut istri Naka itu. Lalu berlanjut berkeliling lagi.

Nadin berusaha terus menunjukan senyum bahagianya, tapi Nathan tahu, jika istrinya merasakan hal yang lain.

***

Di rumah Nadin dan Nathan.

"Lagi ngapain, sih?" tanya Nathan menghampiri istrinya yang duduk menghadap laptop beralaskan bantal di pangkuannya.

"Ini, urusan kantor, ada data customer yang salah input temen, jadinya aku mau cek dari awal," jawab Nadin santai.

"Kamu masih lama periksa itu?" Nathan duduk di sebelah Nadin, merangkul bahu istrinya sembari diusap pelan.

"Kenapa emangnya, Mas?" lirik Nadin.

"Aku mau keluar sebentar, mau nitip nggak?"

"Mmm, kemana emangnya? Kamu nggak capek? Udah jam sembilan." Tunjuk Nadin dengan dagunya ke arah jam dinding.

"Sama Naka, dia mau beli martabak keju di dekat komplek kita, bininya masih ngidam aja. Heran aku!" ketus Nathan.

"Oh, yaudah sana, aku tunggu kamu sampai pulang," kepala Nadin mendongak karena Nathan sudah berdiri di samping ranjang.

Nathan membungkuk, "kalau kamu nggak ketiduran, biasanya tidur duluan, kan?" bisik Nathan sensual sambil mencium leher mulus istrinya. Nadin terkekeh, selain karena kata-kata suaminya, juga karena ciuman basah di ceruk lehernya itu.

"Masss... ih, udah sanaaa..." usir Nadin kemudian. Nathan tertawa, ia mengecup puncak kepala Nadin, menyambar ponsel dan dompet, lalu terdengar suaminya berbicara dengan asisten rumah tangganya di luar kamar.

Lahir dan besar dari keluarga pengusaha, selalu merasa dibantu juga, membuat Nathan tak ingin Nadin yang sudah lelah bekerja, masih sibuk mengurus urusan rumah. Nadin begitu dimanjakan, ia bahkan sempat berpikir untuk menolak, ia ingin merasakan mencuci baju, menyetrika, bahkan memasak. Tapi Nathan melarangnya, Nadin harus merasa jika menikah dengannya begitu bahagia, cukup lelahnya hanya di atas ranjang bersama suaminya yang begitu perkasa.

Selang satu jam, Nathan sudah mengirim banyak pesan singkat, isinya seperti saat mereka pacaran dulu, gombalan-gombalan receh yang jelas membuat Nadin tersenyum lalu tertawa. Ia terkejut, saat pintu kamarnya terbuka, tampak suaminya yang ternyata sudah pulang. Senyum Nathan mengembang, ia membawa kue dengan lilin angka 28.

"Selamat ulang tahun istri cantikku, wanita yang begitu mencintai Nathan dengan tulus. Calon Ibu anak-anakku." Nathan berjalan mendekat, kue ukuran 20x20 itu dihiasi gambar wajah dirinya yang tersenyum.

"Kamu bohongin aku?!" Nadin beranjak, berjalan mendekat. Senyum tampan Nathan begitu menggemaskan.

"Aku ambil kue ini, nggak ketemuan sama Naka juga, aku mau rayain ulang tahun kamu berdua aja, nggak mau di acara tadi walau bisa aja aku setting."

Nadin berdecih, ia lalu meniup lilin itu. Nathan mencium kening Nadin begitu lekat dan lama. Kemudian menempelkan kening keduanya begitu lekat.

"Happy birthday, love, aku sengaja cuekin kamu dari semalam, nggak bahas ulang tahun kamu. Karena aku punya kejutan sendiri. I love you," bisiknya di depan wajah cantik Nadin. Istrinya mengambil alih kue dari tangan suaminya, di letakkan di atas meja. Ia menghambur ke dalam pelukan Nathan. Keduanya begitu erat berpelukan, hingga Nadin mendengar debaran jantung Nathan berpacu cepat, bahkan napasnya terasa hangat di ceruk lehernya.

"Aku mau kadoku," ucap Nadin manja. Nathan meregangkan pelukanya.

"Mau apa? Bilang," jemari Nathan menyusuri surai istrinya, mengecup kening Nadin lagi dengan mata terpejam.

"Ini!" ujar Nadin. Nathan melotot karena terkejut, tangan Nadin berada di antara paha pria itu. Senyum penuh menggoda suaminya perlihatkan dengan jelas dan tegas. Nadin tertawa begitu puas, tapi tidak untuk Nathan, melainkan karena ia segera melakukan tugasnya, juga memberikan hadiah terbaik bagi istrinya. Surga dunia yang mampu membuat senyum Nadin merekah dengan kedua mata sayunya.

Bersambung,

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rianievy

Selebihnya

Buku serupa

Pemuas Nafsu Keponakan

Pemuas Nafsu Keponakan

Romantis

5.0

Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku