Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
KIBAS DASTER BUNDA

KIBAS DASTER BUNDA

Rianievy

5.0
Komentar
13.8K
Penayangan
124
Bab

"KAKAK SEBEL SAMA BUNDA! BUNDA KUNO! DASTERAN TERUS!" Maki Sakura, anak pertama Dona yang jengah melihat bundanya selalu berdaster, kuno, ketinggalan jaman, dan banyak keluhan dari anak pertamanya itu. Namun, mari kita mencari tau apa aja yang terjadi di kehidupan seorang ibu rumah tangga sebenarnya, yang kadang suka disepelekan banyak orang. Kenalkan, namanya Dona. Ibu rumah tangga dengan tiga anak yang selama 17 tahun menikah dengan Pria yang ia cintai sejak pertemuan pertama mereka di salah satu festival musik pada masa itu yang begitu bergantung kepadanya, mulai merasa galau. Permasalahan mulai muncul saat sang anak pertama mulai kesal, jenuh, dan bosan melihat penampilan ibunya yang NORAK, KAMPUNGAN dan cenderung Sederhana. Ditambah kondisi tempat kerja suaminya sedang mengalami pengepresan karyawan dan gaji pun tak naik yang biasanya setiap setahun sekali pasti ada. Memikirkan hari-hari dengan uang belanja pas-pasan, biaya hidup melonjak tinggi, tuntutan suami dan anak-anak, Dona hadapi dengan sabar. Namun suatu hari ia bertekad akan merubah hal BIASA pada dirinya menjadi LUAR BIASA. Demi membuat anak dan suaminya bangga dengan rahasia diri yang pada akhirnya ia buka kembali demi keluarganya. Bisakah Dona membuktikannya?

Bab 1 Riweuh

"Dicukupin, Bun." Mario memberikan bukti transfer uang gajinya kepada Dona - Istrinya - yang selalu mengangguk dan tersenyum mendapat uang masuk setiap bulannya.

"Ok, Yah," ia mengambil ponsel miliknya dan mengecek melalui m-banking.

"Kacau, Bun. Nggak ada naik gaji tahun ini!"

"Nggak pa-pa, sabar, yang penting uang sekolah anak-anak bisa kebayar, 'kan?" Dona beranjak menyiapkan makan malam suaminya.

Ketiga anaknya sibuk di kamar masing-masing, yang tertua bernama Sakura, yang kedua Dimas dan yang ketiga Akasia.

Anak pertama dan terakhir punya nama pohon. Terdengar aneh, tapi punya arti bagus. Dona yang ngotot memberi nama itu. Suaminya ambil andil saat kelahiran Dimas. Akasia paling kecil, sekolah dasar kelas dua beranjak kelas tiga, yang tertua enam belas mau tujuh belas tahun, yang kedua lima belas tahun. Semua lahir secara normal dan bukan di rumah sakit. Tapi di bidan. Bidan turun temurun keluarga Dona alias ibundanya sendiri. Nenek dari ketiga putra putrinya. Selain Gratis, Dona juga mendapat fasilitas mewah di klinik milik ibundanya itu. Jelas, dong.

"Masak apa kamu, Bun?" tanya Mario saat menuju ke meja makan.

"Ayam penyet, Yah. Anak-anak udah makan kok, aku juga udah."

"Bener kamu udah?" tatapan Mario penuh telisik. Dona mengangguk sambil tersenyum.

Flashback dua jam sebelum.

"Punya Akas itu ayam pahanya, Abang ...!" rengek Akasia kepada Dimas yang tak sengaja mengambil ayam bagian paha bawah. Dimas memindahkan ayam itu ke atas piring Akas. Ia mengganti dengan mengambil ayam bagian paha atas.

"Kalau Abang makan ini, boleh?" tunjuk Dimas ke ayam yang sudah ia pegang. Akasia mengangguk. Dimas melirik ke piring kakak perempuannya.

"Diet lo. Makan nasi segitu, sama sayur doang. Udah kurus juga!" tegur Dimas sewot.

"Berisik!" jawab Sakura cuek.

Dona membawa satu mangkuk sop sayur dan ia letakan di tengah meja makan.

"Sayurnya di makan, yes ...." ucap Dona. Sakura mengambil sendok dan memasukan tiga sendok makan sop sayur itu ke piringnya. Berganti Dimas dan terakhir Akasia yang cuma mau makan wortel dan kuah saja.

"Bunda nggak makan?" tanya Sakura.

"Udah tadi. Makan ya kalian. Terus kerjain PRnya, ada 'kan?" Dona menatap satu persatu anak-anaknya. Dua anaknya mengangguk, kecuali si bungsu yang diam.

"Akas," tanya Dona.

"Udah selesai, Bun. Tadi dikerjain pas Bunda lagi ke rumah depan," jawab Akasia. Dona terkekeh dan mengusap rambut putra kecilnya itu.

Dona tersenyum melihat ketiga anaknya makan dengan lahap. Ia melirik ke satu potong ayam bagian dada yang besar. Hanya itu yang tersisa. Ia meneguk ludah dan menyingkirkan piring berisi ayam.

"Ini buat Ayah ya, kalian udah, 'kan?" Dona beranjak dan memasukan piring berisi ayam ke dalam lemari penyimpan makanan. Anak-anaknya mengangguk. Tak lama Akasia menyandarkan punggungnya. Ia melirik ke Dona.

"Kenyang?" tanya Dona sambil menyodorkan gelas berisi air putih untuk Akasia.

"Habisin Akas!" tegur Sakura. Akasia menggeleng.

"Udah ... Bunda aja yang habisin nanti." Dona tersenyum. Akasia beranjak untuk mencuci tangan. Sementara Dona menunggu kedua anaknya yang lain selesai makan.

"Sayur sopnya udah, nih?" lirik Dona. Dimas dan Sakura mengangguk.

"Oke. Buat bunda juga, ya." Dona menggeser mangkuk sop sayur yang hanya tersisa beberapa potongan wortel.

"Kita ke kamar ya, Bun .... " Dimas memeluk leher Dona lalu berganti Sakura yang juga memeluk bundanya itu.

"Oke. PR kerjain ya!" Dona kembali mengingatkan.

"Ya ...." jawab Sakura santai. Dona menatap piring bekas makan Sakura dan Dimas. Ia terkekeh. Dimas mirip dirinya, makan tak bersisa dan rapi. Hanya tulang ayam yang tak mungkin di telan. Sedangkan Sakura mirip suaminya, suka menyisakan makanan.

"Hajarrr ...." lirih Dona sambil memakan sisa makanan anak-anaknya.

Flash back end.

Dona duduk menatap suaminya yang makan dengan lahap juga. Setelah selesai, ia mencuci piring dan mengelap meja makan. Ia berjalan ke kulkas dan menyiapkan bahan makanan untuk esok sarapan pagi.

***

Dona membaca grup sekolah anak terakhir. Kehebohan terjadi karena membahas study tour. Hasil keputusan sekolah, mereka akan berkunjung ke taman binatang terbesar di puncak. Dan masing-masing anak membayar tujuh ratus enam puluh lima ribu. Belum dengan pendamping.

Keributan di grup kembali terjadi karena membahas tentang seragam anak dan pendamping juga. Jika Dona mentotal semuanya berjumlah satu juta dua ratus sekian ... sekian ... sekian.

Ia melihat tanggal terakhir pembayaran jika Akasia harus ikut. Dua bulan lagi. Dona lalu menghitung pengeluaran keluarganya dalam sebulan. Ia mendengkus. Tak ada sisa untuk ditabung khusus uang kegiatan Akasia. Ia melirik suaminya yang sudah tidur pulas. Jam menunjukan pukul sebelas malam.

Kamarnya di ketuk. Dona berjalan dan membuka pintu. Tampak Sakura berdiri dengan wajah cemberut.

"Lho, Kakak kok belum tidur?" Dona menatap Sakura lekat.

"Bunda, aku boleh minta uang jajan lebih nggak buat besok?"

"Berapa?"

"Seratus lima puluh ribu?"

"Eeehhh ...," Dona mengusap tengkuknya. "Buat apa cantik?" lanjut Dona.

"Mau nonton sama temen-temen. Besok kan jumat, mau nonton yang jam tiga sore," jawab Sakura.

"Emang berapa harga tiketnya, bukannya cuma empat puluh ribu?" Dona mencecar dengan cara halus.

"Iya. Tapi Kakak mau ada pegangan lebih Bun, takut temen ngajak jalan lagi atau jajan-jajan. Bisa nggak?" Sakura merengek. Pipinya gembung menunggu jawaban bundanya.

"Seratus ribu cukup?" Dona bernegosiasi.

"Yah Bundaaa .... " Sakura menunduk.

"Hmh ... yaudah, besok pagi ya, sekarang tidur."

"Iya. Makasih Bunda," Sakura berjalan kembali ke kamarnya. Dona menutup pintu. Ia berjalan ke lemari pakaiannya dan membuka dompet bermotif bunga.

Dompet itu khusus ia isi dengan uang untuk kesehatan. Karena mereka tak pakai asuransi jika sakit. Jadi Dona selalu menyisihkan uang setiap bulannya.

***

Pagi menjelang. Dona sudah sibuk di dapur. Ia membuat nasi kuning, kering tempe dan telur dadar yang ia iris tipis.

Suami dan ketiga anaknya menatap Dona.

"Why oh why, sayangku semua?" Dona tersenyum.

"Nasi kuning lagi, Bun? Udah empat hari berturut-turut, lho," tegur Mario.

"Makan aja Ayah. Bersyukur masih bisa sarapan," celetuk Dimas yang beranjak mengambil piring untuk ia dan Akasia. Dimas juga mengambilkan nasi kuning untuk Akas.

"Makan yang cepet, Kas, Abang ada piket pagi." Dimas mengambilkan lauk juga. Dimas dan akan berangkat bersama, dimas selalu mengantar hingga masuk ke kelas. Mereka berjalan kaki karena sekolah Akasia masih di dalam komplek. Setelahnya, baru Dimas berangkat bersama Fadil, teman sekelas sekaligus sahabat sejak kelas dua SMP.

"Bunda nggak sarapan?" tanya Sakura.

"Udah tadi. Nih, lagi ngeteh santai," sahut Dona. Padahal, ia belum sarapan. Seperti biasa, menunggu semua warganya makan dan berangkat beraktifitas, baru ia yang makan.

Dona memberikan uang permintaan Sakura. Putrinya itu tersenyum.

"Kak, Bunda dapat surat dari sekolah, besok rapatnya. Bunda boleh datang?" Sakura diam. Lalu menggeleng.

"Ayah aja ya, Bun. Rapat kenaikan kelas doang kok, Sakura masuk IPA, kemarin pengumumannya. Bunda nggak usah hadir."

"Kenapa? Bunda pingin lho, Kak lihat sekolah Kakak yang selesai renovasi, terakhir bunda ke sekolah kamu pas kamu kelas tiga SMP."

Sakura lagi-lagi diam.

"Ayah aja ya, Bunda, Bunda di rumah aja. Kakak berangkat ya, bye, Bunda!" Sakura mencium punggung tangan bunda dan menuju ke mobil temannya yang sudah menunggu di depan pagar rumah mereka.

Dimas dan Akasia pamit kemudian, terakhir, suaminya sambil melambaikan tangan dari dalam mobil.

Dona berjalan ke dalam rumah dan menatap hidangan yang berformasi seperti biasa. Ia menghabiskan sisa sarapan Sakura dan Mario. Sedangkan Akasia tumben menghabiskan sarapannya.

'Sakura kenapa ya, masa Bundanya nggak boleh ke sekolah.'

Dona berpikir sendiri. Ia akan coba mencari tau jawabannya pelan-pelan.

Bersambung,

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Rianievy

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku