Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Darah Sang Mafia

Darah Sang Mafia

Rianievy

5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
51
Bab

Warning! Akan ada beberapa adegan kekerasan dan adult content. ________ Dia dijuluki The Black Wings, seseorang yang tak segan membunuh bahkan menyiksa korbannya. Dastan, seorang keturunan Mafia yang juga mata-mata, harus bertemu dengan gadis cantik bernama Dara yang merupakan jaminan orang tuanya kepada ayah Dastan dan terpaksa tinggal di rumahnya. Dastan benci dengan keberadaan Dara karena dianggap sebagai simpanan ayahnya. Nyatanya tidak. Setelah Dastan mengetahui fakta yang perlahan terkuak, ia mulai bisa menerima keberasaan Dara yang ternyata, sudah menyimpan perasaan sejak bertemu dengan Dastan walau perbuatan lelaki itu kasar kepadanya. Kisah mereka tak mudah, halang rintang bahkan kematian menjadi ancamannya. Bisakah mereka bersama, mampukah Dara menarik tangan Dastan keluar dari duia kegelapan dan mencari cahaya terang dengannya atau mereka rela melepaskan tangan masing-masing tentunya menjalani takdir yang tak dianggap tidak akan pernah menyatu?

Bab 1 Terjadi

‘Mengapa harus aku yang berkorban, mengapa ginjalku yang harus dijadikan pengganti apa yang Ayah dan Kakakku lakukan, tidak adil. Bajingan mereka.’ ucap Dara dalam hati, ia marah, kesal, tapi apa yang bisa ia lakukan selanjutnya selain menjalani sisa hidup dengan satu ginjal yang ada di tubuhnya. Hidupnya tak semulus yang bisa dilihat orang, menjadi anak seseorang yang misterius dari pekerjaan yang dijadikan penopang hidup, membuat wanita dua puluh tahun itu terpaksa ikut berkorban.

Kondisinya belum pulih benar, tapi, ayah dan kakaknya sudah memaksanya untuk ikut ke satu tempat yang nantinya, akan menjadi tempat dirinya tinggal hingga ayah dan kakaknya itu kembali setelah perjalanan bisnis, katanya, yang ada akhirnya disangsikan oleh Dara.

“Pelan-pelan, tangan Kakak menyakiti lenganku.” ucapnya ketus. Pria itu tak peduli, ia terus menyeret Dara setelah mereka tiba di satu rumah besar dengan pilar tinggi bercat putih, luas halamannya saja bisa muat untuk memarkirkan sepuluh mobil, bagaimana dalamnya. Dara berjalan sembari membawa tas pakaiannya. Pintu bercat coklat itu terbuka lebar setelah dibukakan dua pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam. Dara memindai sekitar saat sudah berada di dalam rumah itu, begitu megah, lukisan mahal, sofa mewah, bahkan guci besar yang ditaksir Dara harganya pasti ratusan juta rupiah, terpajang di sudut ruangan.

“Silakan duduk, saya akan panggilkan Tuan besar,” ucap wanita yang beberapa kali melirik ke Dara yang tampak ketakutan di tangkap oleh matanya. Wanita itu masuk ke dalam rumah, ketiga orang itu duduk. Tak berselang lama, seorang pria bertubuh tinggi besar dengan rambut sudah memutih berjalan menghampiri, tak ada senyuman, bahkan tatapannya dingin, aura kekejaman tampak di wajah itu. Dara gemetar pelan, ia takut.

“Tuan Azyar,” sapa ayah Dara yang hendak berpelukan namun pria bernama Azyar itu mengangkat tangan yang menandakan tak perlu melakukan hal itu. Ia meletakkan satu kertas yang dari bentuknya Dara sudah tau jika itu cek ke atas meja. Ayah Dara segera menerima dan tersenyum.

“Saya percayakan putri saya ke Tuan Azyar, terima kasih atas segalanya, Tuan,” ucap ayah kandung Dara yang membuat kedua mata wanita itu terbelalak.

“A-ayah, apa-apaan? Kakak… Kak… apa maksudnya!” teriak Dara dengan kedua mata berkaca-kaca.

“Diam, Dara. Jangan bikin Ayah dan Kakakmu malu. Turuti kemauan Tuan Azyar, apa pun.” geramnya. Bak disambar petir, Dara begitu lemas, sudah jelas dan pasti jika ia dijual ke pria tua di dekatnya itu. Air mata Dara luruh, ia menarik ujung kemeja yang dikenakan ayahnya sambil terus menatap memohon untuk tidak benar-benar melakukan hal itu.

“Lepas.” Pelotot ayah Dara sambil menepis tangan putrinya. “Kamu tetap di sini, Dara,” lanjut pria itu sambil pamit berlalu. Azyar memanggil wanita yang tadi sempat Dara temui, lalu memerintahkan untuk membawa ke dalam area rumah itu.

“Dara, ayo,” ajak sopan wanita itu. Dara bingung, mengapa nada bicaranya baik, tak kejam, sadis atau ketus. “Ayo, Nak,” lanjut wanita itu. Dara semakin bingung, ia lalu beranjak pelan sambil menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Dara sempat bertemu tatap dengan Azyar yang begitu beraura dingin.

“Jauhkan dari Dastan, Tina. Saya tidak mau Dastan—“

“Baik Tuan, saya paham,” jawab wanita bernama Tina itu.

‘Dastan? Siapa Dastan?’ pikir Dara sambil berjalan bersama Tina semakin ke dalam area rumah itu. Dara dan Azyar masih terus beradu tatap hingga Azyar berjalan ke arah pintu dan berlalu cepat masuk ke dalam mobil. Dara dan Tina menaiki anak tangga berlantai marmer. Dengan lembut, Tina juga menggenggam jemari tangan Dara.

“Pelan-pelan, apa masih terasa efek operasi besar kamu, Dara?” pertanyaan Tina membuat Dara terkesiap. “Sudah, lupakan, yang pasti, ingat apa kata Tuan Azyar tadi, Bibi akan menjauhkanmu dari Dastan sebisa Bibi, walau rasanya susah.” Tina membuka pintu kamar yang berada di sebelah kanan lantai dua rumah itu.

“Dastan? Siapa dia?” tanya Dara sambil berjalan masuk, kamar itu besar, bersih dan wangi. Ada vas bunga berisi mawar merah, Tina tidak menjawab pertanyaan Dara.

“Ini kamar kamu, semoga betah tinggal di sini, ya, panggil Bibi kalau butuh sesuatu.” Tina menggenggam jemari tangan Dara seraya tersenyum.

“Bi… fungsi dan tujuan saya di sini apa?” Wajah Dara tampak khawatir. Bibi menggelengkan kepala. Ia sendiri tidak tau, ia hanya menjalankan perintah Azyar.

“Tuan Azyar baru berangkat ke Hongkong, entah kapan pulangnya. Kalau Dara bosan, Bibi ada di belakang. Dapur atau di pavilion tempat Bibi tinggal. Makan malam jam tujuh, Bibi masak selalu mendadak, karena Dastan maunya makanan baru masak dan malam ini jadwal ia pulang ke rumah setelah dua minggu tidak pulang,” sambung bibi lagi.

Dara mengangguk walau masih butuh jawaban atas pertanyaan siapa Dastan? Tapi ia urung tanyakan lagi ke Tina. Pintu kamar ditutup, Dara duduk perlahan sembari meringis, sejak setibanya di rumah itu, terasa sakit di jahitan bekas operasi pengangkatan satu ginjalnya. Ia membuka tas selempang kecil miliknya, mengambil sebutir obat penghilang rasa sakit yang seharusnya ia sudah minum dua jam lalu. Kedua matanya menangkap air mineral botol tertata di atas kulkas kecil, ia berjalan perlahan dengan tangan memegang luka bekas operasi, dengan cepat ia membuka lalu menenggak air putih itu.

“Arghhh… kenapa sakit banget, ya ampun,” lirihnya sembari meringis, langkah kakinya ia tapaki pelan di lantai marmer dingin itu menuju ke ranjang. Napas Dara berat, ia masih menahan sakit sambil menunggu efek obat bekerja di tubuhnya.

Dalam diamnya, Dara menatap ke arah luar jendela yang menunjukkan pemandangan halaman luas rumah itu. Ia tak tau, akan berapa lama berada di rumah itu dan apa fungsinya, bahkan, sang ayah tak memberi tahukan jawabannya. Hanya helaan napas panjang mewakilkan kegundahan hatinya.

Malam menjelang, Dara sudah selesai membersihkan diri, begitu hati-hati ia mandi karena luka operasi masih tertutup perban yang belum ia lepas jahitannya juga. Dres selutut warna putih dikenakannya dengan perlahan, menghindari luka pada perutnya.

“Bunda, kenapa Ayah nggak biarin Dara ikut Bunda juga? Kenapa harus hidup dengan satu ginjal? Ini menyiksa Dara?” Kedua bahunya merosot saat sedang duduk sambil menyisir rambut hitam panjang miliknya di depan meja rias.

“Dara,” suara Tina memanggil dari luar. Dara beranjak perlahan lalu berjalan ke arah pintu.

“Iya, Bi,” jawabnya setelah pintu terbuka.

“Ayo makan? Bibi sudah selesai masak,” ajaknya. Dara mengangguk, ia berjalan keluar kamar itu bersama Tina, menuruni anak tangga perlahan. Tina melirik sekilas, karena Dara memegang pinggang sebelah kiri. “Apa… sakit?” tanyanya. Dara menoleh cepat.

“Bi Tina, tau kalau saya—“

“Tau. Tuan Azyar bilang. Apa masih sakit, baru satu minggu lalu, kan?” Tina membantu Dara berjalan karena tampaknya begitu tak nyaman. Dara hanya menjawab dengan anggukan. Langkah kaki keduanya tiba di ujung tangga, mendadak suara itu terdengar menggema dengan sosok yang muncul secara mendadak.

“Bi Tina! Apa makan mal—“ ucapannya terhenti. Dastan, ia berjalan masuk dengan tatapan yang bertemu dengan netra Dara yang mendadak tubuhnya gemetar saking takutnya melihat pria itu. “Siapa dia! Papa bawa pelacurnya lagi ke rumah ini!” Tanpa menunggu sabar, Dastan berjalan mendekat lalu menarik tangan Dara kasar, dibawanya ke tengah ruang utama rumah.

“Dastan… jangan kasar-kasar,” ucap Tina pelan. Dastan melisik wajah Dara lalu memindah tubuh wanita itu juga. “Boleh juga kali ini selera tua Bangka itu,” ucapnya di akhirnya senyum licik. Dara membuang pandangan, Dastan pasti tau jika Dara gemetar.

“Siapa nama kamu!” tanya Dastan dengan suara berat dan tatapan tajam.

“D-dara,” jawabnya berbisik. Kedua mata Dara melotot tajam saat tangan Dastan berada di tubuhnya yang tak seharusnya ia letakkan di sana.

“Dastan, jangan,” lirih Tina yang panik. Dastan meremas, hingga membuat Dara terpejam takut dan mencoba melepaskan tangan Dastan dari dua gunung kembar miliknya.

“Kenapa? Kamu pelacurnya Papa, ‘kan? Ssshh… harus dicoba dulu, sebelum tua bangka itu yang main.”

Dara semakin takut, tubuhnya juga gemetar dengan mata terpejam. Lalu dengan santai, Dara di dorong Dastan hingga terjerembab di lantai, Dara meringis, hingga menekuk tubuhnya. Tina menghampiri, ia membantu Dara berdiri, keringat dingin muncul di wajah Dara yang menahan sakit.

“Dastan, panggil dokter, tolong…” pinta Tina. Dastan diam, ia melirik dingin lalu melihat darah merembes dari pakaian yang dikenakan Dara. Dari dapur muncul dua remaja, anak Tina bernama Asri dan Asta.

“Bu,” ucap Arta yang terkejut karena melihat Dara meringis menahan sakit hingga mengerang.

“Dastan!” panggil Tina dengan nada tinggi. Dastan tak acuh, ia berjalan ke arah tangga, untuk menuju ke kamarnya sambil melepaskan jas, menyisakan kemeja putih dengan Holster yang di kanan kirinya terselip dua senjata api.

“Asta, ambil HP Ibu di pavilion. Telepon dokter Samuel, cepat!” perintah Tina. Asri mengambil bantal sofa, lalu merebahkan tubuh Dara. Tina mengambil gunting, dengan cepat merobek dres itu, dan terkejut saat melihat perban sudah berubah warna merah. Dara masih meringis, dan bulir keringat dingin terlihat membasahi keningnya.

Dastan menatap ke arah bawah sebelum membuka pintu kamar. Ia diam, namun terus memperhatikan dari atas pagar pembatas lantai dua. Tina dan Asri sibuk mengambil baskom berisi air dan waslap kecil, Asri juga menutupi pinggang ke bawah Dara yang tak tertutupi apa pun dengan selimut yang ada di lemari penyimpanan dekat gudang belakang. Dara merintih sambil menangis.

‘Pelacur minta dikasihani, bagus aktingnya.’ ucap Dastan dalam hati sambil membuka pintu kamar.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Rianievy

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku