5.0
Komentar
772
Penayangan
31
Bab

Aluna yang sedari kecil ditinggal pergi oleh orangtuanya kemudian diadopsi oleh keluarga Dewantara. Mereka hanya memiliki satu anak lelaki Bernama Albert. Albert dan Aluna tumbuh Bersama hingga bangku SMA. Albert yang merasa bertanggung jawab sebagai kakak laki-laki berusaha menjaga Aluna baik secara fisik dan juga mental. Tanpa mereka sadari tumbuh perasaan yang tidak seharusnya mereka miliki mengingat Aluna sudah menjadi bagian dari keluarga Dewantara. Tiap hari mereka harus menahan perasaan itu sampai pada akhirnya Albert pergi dan menghilang entah kemana. Hidup Aluna begitu hampa sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Mark. Untuk pertama kalinya setelah kehilangan mataharinya Aluna bisa merasakan kelembutan kehadiran Mark. Bersama Mark hari-hari Aluna dipenuhi dengan tawa dan bahagia bahkan mereka akan menikah. Namun di saat pernikahan itu mulai direncanakan Albert datang kembali dan memberi penjelasan kenapa ia pergi. Penjelasan yang dinantikan Aluna. dan juga kebenaran tentang Mark siapakah yang akan dipilih Aluna?

Bab 1 DARK LOVE 1

Apa kau merindukannya? Ya!! aku sangat merindukannya!! Apa yang kau rindukan darinya? Aku merindukan saat bermain di bawah hujan dengannya. Kau tidak merindukannya!! Apa maksudmu? Tentu saja aku merindukannya! Tidak! Kau tidak merindukannya, kau hanya rindu apa yang pernah kau alami bersamanya, bukan dirinya. Sesuatu yang tidak pernah kau temui dan rasakan pada orang lain, kau rindu kebiasaan bersamanya. Bukan dirinya.....!!

2018

Aluna POV

Ku pejamkan kedua mataku berharap wajah itu enyah dari pikiranku, sayangnya gelap justru membuat raut itu makin nyata dimataku. Kubuka mata dan kurasakan bayangnya ada dimana-mana. Sial!! Apalagi ini? Ku tutup laptop dan mulai melempar pandangan ke luar. Menembus kaca yang menghalangiku dengan deras hujan. Kuhembuskan nafas kearah kaca yang meninggalkan jejak embun disana, sejenak kuarahkan telunjukku dan mulai mengukir sebuah nama. Detik pertama aku tersenyum mendapati sebuah nama tertulis didepanku, detik berikutnya kurasa embun sudah berpindah ke mataku. Kurasakan pipiku basah, apa café ini bocor sehingga rintik hujan jatuh dan membasahiku? Tidakkah pemilik café ini tau bahwa aku sudah susah payah berjam-jam mengaplikasikan bedak dan blush on agar aku tampak cantik hari ini?

Seorang pelayan menawarkan sapu tangan padaku, apa-apaan ini? Apa kali ini hujan yang turun dari mataku? Bagaimana dengan mascara-ku? Apakah luntur? Mau tak mau aku menerima sapu tangan itu, malu-malu aku beranjak dari tempat dudukku menuju toilet, kuharap make up-ku tidak luntur.

Kulihat wajah yang memantul di cermin, sepertinya aku mengenal wajah itu. Ya! Aku sangat mengenal wajah itu. Wajah yang lelah. Lelah menahan kerinduan yang sudah keterlaluan.

Cepat-cepat kubasuh wajah itu dengan air dari wastafel, berharap guratan kerinduan itu ikut terbawa aliran air. Nyatanya guratan itu tak mau hilang. Seakan sudah mengakar disana. Aku menyerah. Lama kupandangi wajah itu, wajahku sendiri. Entah berapa lama sampai kurasakan getaran di saku celanaku.

Klik! "Hallo?"

"Mau sampai kapan kamu mengurung diri di toilet?"

Kujauhkan layar ponselku untuk melihat siapa yang menelponku, Krystal!

"Sebentar lagi aku keluar." Tanpa basa-basi kututup telponku, melihat sejenak wajah yang lelah itu. Ahh mascara-ku masih baik-baik saja. Make up-ku masih baik-baik saja. Hanya hatiku yang tidak baik-baik saja.

Cepat-cepat aku keluar dan bergegas kembali ke tempat dudukku, disana kudapati wanita cantik yang dengan santainya menikmati cappuccino-ku.

"Huh, lancang!"

Yang ku gertak hanya tersenyum manis.

Krystal meletakkan cangkirnya -cangkirku lebih tepatnya- menatapku dalam-dalam sembari tetap tersenyum.

"Apa sekarang toilet akan masuk list tempat favoritmu?"

"Kau ini bicara apa? Tentu saja tidak."

"Lalu kenapa kau lama sekali disana? Aku duduk disini sekitar 15 menit dan mendapati nomor meja tempat kau duduk hanya terdapat laptop dan secangkir cappuccino yang hampir dingin."

Aku tak menjawab, mengambil cangkir cappuccino-ku. Hanya menggenggam, tidak meminumnya. Kulempar pandangan yang mana hujan masih belum lelah berjatuhan. Kurasa Krystal juga melakukan hal yang sama.

Di luar ada banyak anak kecil berlarian, mereka tertawa seakan tanpa beban. Menikmati setiap tetes hujan yang berjatuhan. Aku pernah seperti mereka, bermain di bawah hujan, tidak sendirian tentu saja. Ada dia.

Kau tau apa yang paling menyenangkan dari hujan?

Tidak, apa?

Kamu!! Karena ada kamu setiap kali hujan turun.

"Hujan itu lucu yaa, terkadang dia datang sambil membawa kenangan yang tidak sepatutnya ia bangkitkan."

Aku menatap Krystal, apa maksudnya?

Krystal sadar bahwa aku menatapnya, sepasang bola mata besar miliknya berbalik menatapku, seakan mencoba memberi jawaban lewat tatapan lembutnya itu.

Kusadari bahwa Krystal adalah teman dekatku yang paling cantik, siapa yang bisa menyangkal kecantikannya? Mata bulat, hidung bangir dan bibir yang menawan, belum jika kau melihat senyumnya. Kupastikan kau akan jatuh cinta padanya. Jika tak ingat kalau kami ini sama-sama wanita, sudah kupacari dia.

"Hujan turun setiap ....."

"Sudahlah Krys!!" sergahku. -Aku paham sekarang. Sangat paham- "Kau tak perlu mengingatkannya."

"Tidak, aku tidak mengingatkannya, karena kuyakin kau tak akan pernah melupakannya."

Tatapan Krystal semakin lekat.

Aku tak menimpali perkataannya, hanya menghirup habis cappuccino-ku, benar kata Krystal, cappuccino-nya hampir dingin. Kuletakkan cangkir kopiku yang sudah tandas, bebarengan dengan pesanan Krystal yang baru datang. 3 Muffin stroberi dan secangkir kopi hitam yang kental.

Aku menatap pesanan Krystal lekat, kupandangi sekian lama sampai aku sadar bahwa aku mendengus keras.

"Kau mau kopiku?" tawar Krystal.

"Tidak terimakasih." Ujarku sopan.

"Atau mau kupesankan? Sebagai ganti cappuccino-mu yang kuminum tadi." Krystal tulus menawariku, Dia memang selalu begitu.

Aku menggelengkan kepala.

"Baiklah." -Krystal menggigit muffin-nya- "Ini enak... hmmm, nyam... hmmm."

Aku tak memberi respon apapun, mataku terbagi antara menatap hujan dan melirik kopi hitam miliknya.

"Kalau kau memang mau, aku bisa pesankan, atau kau boleh mencicipi kopiku." -Aku hanya diam- "Lagipula, bukankah kau dulu sangat menyukai kopi hitam yang kental seperti ini?" -Lagi-lagi aku diam- "Kenapa?" lanjutnya, masih menunggu jawaban dari pertanyaannya.

"Tidak apa-apa."

"Apa kau takut darah tinggimu kumat?"

"Bukan!"

"Serangan jantung?"

"Tidak."

"Lantas?"

Aku tau Krystal menunggu jawabanku, tapi mungkin aku tidak akan menjawabnya.

Memang benar, dulu aku adalah penikmat kopi hitam, tapi sekarang jangankan minum, melihatnya saja aku tak mau. Bukan karena takut serangan jantung atau darah tinggi, tapi hitamnya mengingatkanku akan warna matanya yang tak pernah bisa lagi kutemui.

Kupilih untuk memalingkan wajah demi menghindari tatapan Krystal.

"Kau tau Luna, terkadang ketika kau melihat sesuatu yang membuatmu teringat akan dia, itu bukan salah sesuatu yang kau temui, bukan pula salahmu karena mengingatnya lagi. Itu adalah kenangan yang tidak bisa kau hapus meski bertahun-tahun telah kau upayakan untuk kau tinggalkan. Tidak ada yang pernah tuntas dari memori, jangan dipaksakan. Lepaskan! Biarkan memori itu lewat, pilihanmu adalah menuruti memori itu, atau membiarkannya berlalu."

Aku menghela nafas panjang, meresapi kalimat Krystal yang panjang lebar dan memang benar, semua adalah soal pilihan, mengalahkan atau dikalahkan oleh memoriku sendiri.

Di luar masih hujan, bahkan kian deras, beberapa orang berjalan tergesa menuju tempat yang bisa dijadikan teduhan dari hantaman hujan yang jatuh tanpa ampun.

Dan kali ini bukan sekedar embun yang berpindah ke mata, tanpa kusadari butiran kristal berlelehan dari bola mataku yang sedari tadi sudah panas. Derasnya sama dengan hujan di luar sana.

"Air matamu akan runtuh sebanyak tetes-tetes cintamu ... Aluna,"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku