(21+) Bhaga kembali ke rumah orang tuanya tanpa mengetahui bahwa ada gadis lain bernama Atma yang menumpang dan merawat ayah Bhaga yang sedang sakit. Atma yatim piatu dan hanya lulusan SMP, tapi kepribadiannya begitu lembut dan halus. Ketulusan hati keduanya telah menumbuhkan rasa cinta dalam hati mereka masing-masing. Namun, jarak sosial yang terlalu jauh menjadi penghalang. Belum lagi, Bhaga sudah memiliki tunangan di kota, sedang Atma telah dijodohkan oleh Ibu Bhaga sendiri. Mereka akhirnya jatuh dalam jurang cinta terlarang penuh dosa diam-diam. Bagaimanakah mereka bisa mengatasi segala pelik yang datang? Mampukah mereka menang melawan stigma?
Embun masih bertengger manis di helai-helai tiap daun yang tampak segar dihujani kabut. Sejauh mata memandang dari puncak bukit, terhampar kebun teh yang begitu luasnya. Di puncak bukit itu berdiri sebuah rumah besar bergaya eropa klasik, tipikal rumah orang kaya lama. Tidak jauh dari sana, terdapat juga sumber air berupa air terjun setinggi kira-kira lima meter yang mengalir sampai ke sungai dan sawah-sawah di bawah bukit.
Pagi-pagi sekali rumah bergaya eropa klasik itu telah tampak hidup. Melalui kaca-kaca jendela yang tinggi dan besar, terlihat sebuah bayangan terus bergerak hilir-mudik. Sebuah bayangan perempuan muda bergaun mini selutut bermotif polkadot berwarna krem. Dia berpindah-pindah, membuka jendela satu per satu, kemudian diikuti lampu yang juga padam satu per satu.
Siluet tubuh mungil tinggi semampai itu berhenti di sebuah kamar yang berdebu agak tebal. Ini pertama kali dia memasuki kamar di lantai paling tinggi itu, sebab hari ini pemiliknya akan kembali. Kamar besar itu tak banyak isinya. Hanya sebuah ranjang besar dengan dipan kayu mode lama, sebuah lemari kayu jati dua pintu berisi sedikit baju dan celana, meja belajar, serta buku-buku yang ditumpuk mencapai satu meter di sudut ruangan.
Tangan gadis berambut panjang sepinggang itu bergerak gesit, cepat, seperti tak butuh waktu bagi otaknya untuk memproses apa yang harus dikerjakan lebih dulu. Secara alami dia tahu apa yang harus dia lakukan. Mesin penyedot debu menimbulkan suara yang mengisi keheningan pagi. Sarung bantal telah diganti, terakhir gorden yang usang pun diganti dengan gorden putih yang bersih.
"... Ma? Atma?! Atma?!"
Sebuah suara nyaring dari lantai bawah memanggil, perempuan muda bernama Atma itu berlari keluar dari kamar yang sudah dia bersihkan. "Ya, Bu?" tanyanya dari lantai tiga.
"Kamar Bhaga sudah kamu bereskan? Kalau sudah, turun ya, bantu Ibu siapin sarapan."
"Iya, Bu ...! Tinggal aku bongkar lemari aja!"
"Lemarinya nggak usah dibongkar, Ma! Bhaga nggak suka kalau ada barang-barangnya disentuh, biarkan aja semua yang ada di situ tetap di tempatnya. Oke?"
"Baik, Bu!"
Kaki-kaki telanjang Atma bergegas menuruni anak tangga kayu sampai ke lantai bawah. Di dapur seorang perempuan paruh baya berparas ayu berkulit kuning langsat agak tambun sedang sibuk mencuci beras di wastafel. Dia adalah sang nyonya rumah, Bu Sona.
"Ibu mau masak apa?" tanya Atma sambil mengambil pisau untuk menguliti kentang yang telah ditaruh Bu Sona di dalam wadah plastik.
"Gulai ayam kesukaan Bhaga, terus juga sop, sayur asem, wah banyak deh!" Bu Sona tak bisa menyembunyikan aura bahagia dari wajahnya. Sejak suaminya jatuh sakit dan tak bisa berjalan beberapa bulan yang lalu, baru hari ini Atma melihat senyumnya kembali.
"Ibu keliatan senang banget, sudah lama ya nggak ketemu mas Bhaga?"
"Iya! Kan semalam Ibu udah cerita ke kamu, sejak dia pergi ke kota untuk kuliah, sampe sekarang dia udah jadi orang, udah sukses, baru dua kali dia balik. Alasannya selalu karena dia sibuk! Sibuk terus. Ya walaupun sekarang alasan dia pulang karena hal buruk, Ibu tetap bersyukur ada dia menemani Ibu di masa-masa sulit begini."
Bu Sona mengembangkan senyum semringah kepada Atma. "Ini juga pertama kali aku akan ketemu sama mas Bhaga, entah dia akan senang sama aku atau enggak, Bu ..." lirih Atma sambil menunduk tak percaya diri.
"Lah ya kenapa? Kamu tuh anak manis, pasti dia suka! Kamu tenang aja, Bhaga itu anaknya baik, dia itu penyayang sifatnya. Bukan cuma disayangi sama Ibu atau sama ayahnya, dia juga disayangi sama kakek dan neneknya, tante sampe omnya! Pokoknya orangnya manis, deh. Kamu juga dulu pernah kan ngeliat dia? Dia bukan anak nakal."
Bu Sona memeriksa bubur yang tengah dia masak di atas kompor gas. Bubur itu telah matang, sudah waktunya untuk memberi suaminya makan pagi.
"Kamu lanjut bentar ya, Ibu mau kasih bapak makan dulu."
Tinggal Atma seorang diri di dapur. Batinnya masih agak gelisah memikirkan yang tadi dia katakan kepada Bu Sona. Akankah kehadirannya diterima dengan tangan terbuka oleh putera semata-wayang Bu Sona? Ibu Atma meninggal dua tahun lalu akibat gangguan paru menahun, disusul ayahnya setahun kemudian, rumah peninggalan pun disita oleh Bank untuk membayar utang perawatan biaya rumah sakit.
Atma gadis terbuka dan dekat dengan orang-orang di desa, melalui bantuan kepala desa, dia diterima oleh Bu Sona untuk ditampung di rumahnya. Atma tak perlu membayar sepeser pun, cukup bantu-bantu sekadar saja, seperti bersih-bersih atau mencuci piring. Itu pun, Bu Sona selalu memberi gaji, uang saku, bahkan membelikan pakaian baru serta ponsel pintar untuk Atma. Dia disayangi selayaknya anak sendiri meski orang-orang di desa melihatnya hanya sebatas pembantu. Beberapa bulan lalu Pak Giring, tuan rumah, suami dari Bu Sona jatuh sakit. Atmalah yang juga hadir di sisi Bu Sona, membuat kedekatan mereka kian lekat.
Namun, Atma belum pernah bertemu dengan Bhaga. Waktu dia kecil, beberapa kali dia bermain di kebun teh milik keluarga Pak Giring, dan sesekali dia lihat sosok Bhaga remaja berada di teras rumah, tapi mereka tak pernah bertegur sapa. Seperti anak orang kaya pada umumnya, Bhaga jarang keluar rumah. Aktivitasnya banyak dilakukan di dalam rumah, dia sibuk belajar, dan termasuk salah satu siswa berprestasi.
Habis tamat SMA, Bhaga berangkat kuliah ke kota. Dan sejak Atma tinggal di rumah keluarga Pak Giring, belum pernah Bhaga pulang.
***
Tepat pukul sepuluh pagi. Bu Sona meremas tangan dengan gugup, seharusnya sejak beberapa menit yang lalu mobil yang menjemput Bhaga sudah kembali, namun sepertinya ada sedikit gangguan di jalan.
Atma meletakkan gelas berisi teh hangat di atas meja. "Minum dulu, Bu. Tenang aja, mas Bhaga udah di jalan, pasti datang sebentar lagi."
Barangkali kalimat dari mulut Atma adalah doa, detik selanjutnya, sebuah mobil berhenti di halaman depan yang ditumbuhi hamparan rumput jepang. Seorang pemuda tinggi tegap berkemeja putih turun dari pintu mobil belakang. Bu Sona berdiri dari kursinya, menatap tak percaya menghadap pintu yang terbuka lebar.
"Bhaga?!"
Bab 1 BHAGA
04/12/2021
Bab 2 TERIMA KASIH
04/12/2021
Bab 3 PAKET C
04/12/2021
Bab 4 BERDUA DI RUMAH
04/12/2021
Bab 5 PERHATIAN
04/12/2021
Bab 6 PESONA ATMA
04/12/2021
Bab 7 KERINDUAN
06/12/2021
Bab 8 KEHADIRAN JESSICA
06/12/2021
Bab 9 AKU MENCINTAIMU
06/12/2021
Bab 10 BAYANG-BAYANG DOSA
06/12/2021
Bab 11 TAKDIR
06/12/2021
Bab 12 AKU PASTI KEMBALI
06/12/2021
Bab 13 PELECEHAN
06/12/2021
Bab 14 PAK GURU ADAM
06/12/2021
Bab 15 DILEMA BU SONA
06/12/2021
Bab 16 AKU RUMAHMU
06/12/2021
Bab 17 BAGAIMANA HARUS DIAKHIRI
06/12/2021
Bab 18 NABILA
06/12/2021
Bab 19 CINCIN
06/12/2021
Bab 20 KEJUJURAN ATMA
06/12/2021
Bab 21 RAPUH
06/12/2021
Bab 22 MASIH ADA HARAPAN
06/12/2021
Bab 23 SABAR ADA BATASNYA
06/12/2021
Bab 24 AKU DI SINI
06/12/2021
Bab 25 CEMBURU TANDA CINTA
06/12/2021
Bab 26 ADU ARGUMEN
06/12/2021
Bab 27 DUNIA MILIK BERDUA
06/12/2021
Bab 28 HOTEL BINTANG LIMA
06/12/2021
Bab 29 PERLAWANAN ATMA
06/12/2021
Bab 30 SELAMAT TINGGAL, JESS
06/12/2021
Bab 31 BADAI MUSIM SEMI
06/12/2021
Bab 32 KEPUTUSAN
06/12/2021
Bab 33 KEJUTAN TAK DIHARAPKAN
06/12/2021
Bab 34 KEBOHONGAN DEMI KEBOHONGAN
06/12/2021
Bab 35 BAYI LAKI-LAKI
06/12/2021
Bab 36 NALURI SEORANG IBU
06/12/2021
Bab 37 KABAR BAHAGIA
06/12/2021
Bab 38 SEPERTI ADIK
06/12/2021
Bab 39 MALAM INI AKU MILIKMU
06/12/2021
Bab 40 KABAR JESSICA
06/12/2021
Buku lain oleh KUMARA
Selebihnya