Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
243
Penayangan
13
Bab

Ghena berharap dilamar Bastian di malam anniversary mereka, tapi laki-laki itu malah mengakhiri hubungan yang sudah terjalin 15 tahun karena dijodohkan oleh orang tuanya. Ghena yang patah hati dan ingin move on, memutuskan untuk bekerja di Singapura sebagai pemandu wisata. Setahun berlalu dan takdir masih mempermainkannya. Bastian muncul di Singapura bersama tunangannya dan mengacaukan hati Ghena. Tidak cukup sampai di situ, Bastian mengaku masih mencintai Ghena dan ingin kembali padanya. Apakah Ghena akan menolak, sementara dia belum bisa melupakan Bastian? Ataukah dia memilih kembali dan menjadi orang ketiga?

Bab 1 001. Phone Call

Secangkir kapucino yang masih mengepulkan asap tipis, dibiarkan begitu di meja kecil dekat jendela, sedangkan pemiliknya masih sibuk menekuri laptop. Matanya memandang lurus ke layar monitor, sementara jari-jarinya lincah menari di atas papan tik. Pekerjaan sebagai ghostwriter-lah yang membuat Ghena mampu mengetik tanpa melihat tombol. Kecepatan jari-jarinya pun jauh di atas rata-rata. Dia sudah mencoba mengukurnya lewat sebuah aplikasi.

Ghena memang hobi membaca dan menulis cerita sejak SMA, tapi dia selalu menggunakan nama pena untuk mempublikasikan karyanya secara daring di platform gratis. Sayangnya, tidak ada satu pun cerita yang berhasil dituntaskannya. Dia lebih mendahulukan pekerjaanya sebagai GW, dibanding melanjutkan ceritanya sendiri.

Ghostwriter bukanlah pekerjaan impian Ghena. Namun, setelah mencoba beberapa pekerjaan, dan tidak merasakan pas dengan hal tersebut, Ghena memilih untuk menekuni profesinya sebagai penulis bayangan. GW adalah pekerjaan paling pas untuk seorang Ghena Aurelia. Terkadang Ghena cukup mudah bergaul, tapi dia lebih senang menyendiri dan bekerja sendiri. Hal itulah yang membuatnya tidak bisa bertahan lama saat bekerja kantoran.

Meskipun begitu, bayaran Ghena sebagai GW jauh di atas rata-rata pekerja kantoran biasa. Kalau dilihat dari nominal, penghasilan Ghena setara dengan seorang manajer di sebuah perusahaan kelas menengah di Jakarta. Dalam sebulan, dia bisa mendapat kiriman sampai delapan digit. Angka yang cukup besar bagi seseorang yang bekerja tanpa keluar rumah.

Jika sedang fokus, Ghena mampu menulis 15-20 halaman setiap hari. Namun, jika sering terdistraksi, dia hanya mampu menulis sampai 10 halaman dan itu adalah target hariannya. Makanya, Ghena lebih sering menjauhkan ponselnya saat dia ingin serius.

Alunan lagu First Love-nya Utada Hikaru di ponsel Ghena, mampu membuat perempuan berusia 33 tahun itu bangkit dari tempat duduknya. Ghena mencabut benda tersebut dari kabel yang menempel, lalu buru-buru menggeser ikon berwarna hijau tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Dia memang tidak perlu mengintip, karena dia sudah membuat personalisasi dengan bunyi deringnya.

“Hai, Bas! Tumben telepon jam segini? Biasanya mau ditelepon di atas jam delapan. Ada apa, nih?” sapa Ghena bernada ceria.

“Kangen sama kamu. Enggak boleh?” sahut Bastian dari seberang sana.

“Aku juga kangen sama kamu, Bas.”

“Kamu lagi apa, Sayang?”

“Biasa. Lagi jadi penulis hantu.”

“Masih proyek yang kemarin?”

“Iya. Deadline-nya akhir pekan ini.”

“Kamu jangan kebanyak minum kopi, ya. Jaga kesehatan juga. Aku nggak mau kamu sakit. Nanti aku nggak fokus kerja karena mikirin kamu.”

“Sebentar, Bas! Aku cari pegangan dulu, takut terbang nih. Jarang-jarang aku digombalin sama kamu. Oiya, kamu telepon nggak cuma mau gombalin aku doang, kan?”

“…”

“Kok, malah diam? Bas? Kamu dengar aku?”

“Malam minggu nanti kamu sibuk nggak? Aku mau ngajakin kamu makan di resto favorit kita.”

Senyum yang tercetak di wajah Ghena makin melebar. Dia ingat betul ada momen apa di hari tersebut.

“Kamu ingat sama anniversary kita? Ya ampun, Bas, aku seneng banget lho. Enggak nyangka ya, kita udah lima belas tahun. Kalau nikah, kira-kira anak kita sudah sekolah kelas berapa, ya?”

Setelah terjeda beberapa saat. “Aku harus balik kerja. Sabtu nanti aku jemput jam enam tepat, ya! Jangan lupa minum dan berdiri setiap satu jam.”

“Iya, Sayang. Pacar aku perhatian banget. Jadi makin sayang deh. Tapi Sabtu masih lama.”

“Sebentar kok. Dah, Sayang.” Tanpa mengucapkan salam perpisahan atau menunggu Ghena membalas kata-katanya, Bastian langsung memutus sambungan.

Namun, Ghena tidak peduli. Hatinya masih dipenuhi rasa bahagia. Dia duduk di dekat jendela sembari memandangi langit sore dan jalanan yang mulai padat. Sesekali dia menyesap kopinya yang sudah tak lagi mengeluarkan asap.

Ghena buru-buru meletakkan cangkirnya saat teringat seseorang. Dia harus segera memberi kabar pada orang itu tentang kabar baik yang didengarnya barusan. Dalam dua sentuhan di layar ponsel, Ghena berhasil menemukan nomor yang ditujunya.

“ROSIIIIII!” jerit Ghena senang, sesaat setelah terdengar suara dari seberang. “Bastian mau ngelamar gue. Akhirnya penantian gue terbayar, Ros!”

Sekarang terdengar jeritan dari ujung telepon. Ghena harus menjauhkan ponsel dari telinganya. “Selamat, ya, Ne! Gue ikut bahagia buat lo. Akhirnya sahabat gue bakalan melepas masa jomlonya.”

“Iya, Ros! Gue juga masih nggak percaya.”

“Gimana ceritanya? Kapan Bastian ngelamar lo?”

“Belom ngelamar, sih. Tadi dia telepon dan mau ngajak gue dinner Sabtu nanti.”

“Jadi, dia cuma ngajak makan? Dia nggak ngomong mau ngelamar lo? Kok bisa-bisanya lo mikir dia mau ngelamar, sih?”

Senyum Ghena perlahan lenyap karena ulah perempuan yang diakuinya sebagai sahabat kental. “Lo nggak demen banget kayaknya kalau gue senang.”

“Bukannya gitu, Ne. Lo pasti lebih tahu gimana Bastian. Setiap kali lo Tanya gimana hubungan kalian, dia jawab apa? Selalu aja bilang belum siap. Lo berdua itu udah pacaran 15 tahun. Mau nunggu sampai 25 tahun?”

“Itu dia, Ne! Biasanya Bastian bisa ditelepon malam, itupun gue yang teleponin dia duluan. Tadi, dia duluan dong. Dan lo tau, nggak? Sabtu nanti itu tepat 15 tahun gue sama dia. Biasanya dia harus gue ingetin dulu. Eh, sekarang kebalikannya. Dia ingat, gue lupa.”

“Syukur deh kalau begitu. Gue nggak mau lo nunggu sesuatu yang nggak pasti. Umur lo nggak bakalan balik lagi, Ghe. Gue nggak mau lo sia-sia-in hidup lo gitu aja.”

Seulas senyum kembali terbit di bibir Ghena. Dia selalu tahu Rosi benar-benar peduli padanya. Walaupun kata-katanya sering terdengar pedas, tapi dia melakukannya karena menginginkan yang terbaik bagi Ghena, sahabatnya.

“Lo mau makan malam di mana? Udah tahu mau pakai baju apa?”

“Di resto favorit gue sama dia. Kalau urusan baju, ya kayak biasa aja.”

“Celana denim, kaos, dan kardigan?”

“Nah, itu pinter.”

“Ya ampun, Ghe! Memangnya lo nggak punya baju lain? Honor nulis lo habis ke mana? Perut?”

“Kok lo yang protes, sih? Bastian aja nggak keberatan. Dia bilang apa pun yang gue pakai itu selalu bagus, asalnya gue pede dan nyaman memakainya.”

“Iya, gue ngerti. Tapi ini momen spesial buat lo. Masa lo mau pakai yang biasa-biasa?”

Ghena diam. Dia tidak berpikir sejauh itu.

“Gue harus gimana nih, Ros? Gue nggak dress. Ada juga batik pasangan buat kondangan.”

“Besok lo ke sini, jemput gue. Nanti kita belanja di Lippo.”

“Makasih ya, Ros. Lo emang sahabat gue yang paling baik se-luar angkasa.”

“Sialan! Lo muji apa menghina? Lo kata gue alien! Oiya, besok datangnya siang.”

“Siap Bundanya Amar.”

Usai menutup telepon, Ghena langsung menandaskan kopinya dalam satu tarikan napas, lalu kembali menekuri laptopnya. Dia sadar betul harus menulis lebih banyak hari ini, karena besok dia akan pergi bersama sahabatnya. Bisa jadi membutuhkan waktu seharian. Rosi tidak akan puas sampai dia melihat-lihat semua toko dan membandingkannya. Kebiasaannya sejak SMA tidak pernah berkurang, bahkan makin menjadi sejak memiliki anak.

**

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku