Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Devano hari ini ada les matematika! Kamu nggak boleh telat pulang sekolah!"
"Iya Pah, Devan ngerti," jawab Devan sambil makan roti selai kacang dengan lahap.
"Oh ya, sore juga jangan lupa ya ada sekolah model. Kamu harus berangkat Devan!" tegas sang mama yang sibuk dengan ponselnya.
"Papah pergi dulu ya Devan, belajar yang bener ya di sekolah!" kata papa lalu pergi dari ruang makan sambil membawa ponselnya.
Sementara sang mamah juga sudah selesai dengan makanannya dan bersiap untuk berangkat ke kantor.
"Ayo cepat selesaikan makanan kamu Devan. Jangan sampai terlambat sekolah!" kata mamah lalu mencium pipi Devan dengan singkat.
Devan kini sendirian di ruang makan. Seperti biasa pada pagi setiap hari. Ia mendengus kesal dan membawa tas miliknya sambil pamit kepada bi inem asisten rumah tangga.
Devan keluar dari rumah menggunakan mobil miliknya. Ia kelas tiga SMA, sudah memiliki mobil pribadi. segera saja Devan melaju dengan cepat agar tidak terlambat ke sekolah. Wajahnya terlihat datar. Ada rasa kebencian yang tak bisa di ungkapkan di dalam hatinya.
Sampai di sekolah pelajaran pertama adalah matematika. Sungguh Devan sama sekali tidak menyukai pelajaran ini. Ia hanya di tuntut orang tuanya saja untuk mendapatkan nilai yang bagus.
"Hari ini bapak mau ngumumin nilai matematika," kata seorang guru matematika dengan tegas.
"Duh, nilai gue berapa nih," ucap Riri cemas yang duduk di belakang Devan.
"Ah, Lo mah nggak usah khawatir. Pasti lo dapet nilai 90 atau nggak 80. Gue nih yang cemas. Gue pasti dapet nilai lima deh, duh bego banget sih gue," kata Zahra dengan wajah cemberut.
"Berisik banget sih di belakang," ucap Devan dengan kesal di dalam hatinya. Ia menyangga dagunya dengan telapak tangannya sambil memperhatikan guru matematika.
"Bapak mau ngumumin nilai terbaik di kelas kita," kata pak Suryo sambil mencari kertas lembaran di atas meja.
"Nilai terbaik ulangan kemarin adalah Riri Alisa Ningrum,Selamat ya Riri. Mana Riri?" tanya pak Suryo guru paling tua di antara semua guru sekolah.
"Hah? Kok bisa? Kenapa bukan gue?" tanya Devan dengan bingung di dalam hatinya. Wajahnya terlihat panik sekali. Beberapa siswa melihat Devan sambil berbisik bisik.
"Tumben banget ya, Devan nggak dapet nilai terbaik. Biasanya dia selalu dapet nilai terbaik ulangan matematika,"
"Iya nih aneh banget,"
"Liat aja tuh mukanya keliatan cemas banget. Kasihan banget ya,"
Devan mendengar itu. Ia sangat muak sekali. Ia tidak bisa terima jika harus menerima kekalahan seperti ini.
"Pak ini Riri pak. Duduk di pojokan!" Seru Zahra sahabat Riri.
"Duh, gue malu nih mau maju ke depan," kata gadis berkulit putih dengan bibir merah alami. Ia terlihat bahagia sekali sekaligus malu.