Adalah Raka Samuel Jackson, lahir dari pasangan pernikahan campur (ibu, wanita Indonesia dan ayah pria Amerika) yang kaya raya. Seorang remaja delapan belas tahun yang super bandel dan sedang mencari jati dirinya. Bersekolah di sebuah SMA international yang isinya kebanyakan adalah anak-anak orang kaya yang bengal dan memiliki attitude buruk. Raka senang membuat kerusuhan, susah diatur dan berhati dingin. Hingga masuknya seorang guru muda bahasa Perancis baru, Mayang Lestari, dua puluh tiga tahun, fresh graduate dari Universitas ternama di Jakarta, pelan-pelan merubah hidup Raka.
Bangunan sekolah di hadapannya itu megah, mewah dan elegan. Mayang menarik napasnya dalam-dalam. Memantapkan dirinya untuk memasuki bangunan yang mulai hari ini akan menjadi tempatnya bekerja sebagai guru bahasa Perancis.
Mayang melangkahkan kakinya mantap memasuki bangunan utama sekolah. Beberapa siswa yang sedang bergerombol di depan loker memperhatikannya. Sebagai guru baru, tentu saja Mayang sedikit menarik perhatian mereka. Ada yang berbisik, ada yang melempar senyum mengejek, ada pula yang menghadiahinya siulan untuk menggodanya.
Tentu, Mayang sudah mengetahui reputasi sekolah ini. Gudangnya anak-anak orang kaya yang bandel dan pembuat onar. Ia sudah menyiapkan dirinya untuk diperlakukan tidak baik oleh penghuni sekolah ini.
Lalu, tanpa memedulikan sekitarnya, Mayang melangkahkan kaki menuju kantor guru yang berada di ujung koridor. Sampai di sana, ia mendorong pintu bercat abu-abu yang sedikit terbuka itu lalu masuk ke dalam sebuah ruangan luas yang terdapat banyak meja dengan papan nama yang menunjukkan siapa penghuninya.
Hanya ada beberapa orang guru yang pagi itu sudah berada di ruangan itu. Seorang perempuan berkaca mata yang sepertinya berumur tiga puluhan, lalu seorang laki-laki paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih, dan seorang laki-laki muda dengan rambut licinnya.
"Halo, semuanya," sapa Mayang seraya melambaikan tangan dan melempar senyum. Ketiganya menyambutnya dengan ramah. Si perempuan berkaca mata bernama Mega, si laki-laki paruh baya mengenalkan dirinya sebagai Yoga, dan laki-laki berlambut licin bernama Adam.
"Mayang," ucap Mayang sambil menyalami satu persatu rekan-rekan barunya itu.
Setelah selesai memperkenalkan diri, Mayang meletakkan barang-barang di atas meja yang terdapat papan namanya. Meja itu berada di dekat meja milik Mega.
"Selamat datang di Eleanor, ya. Semoga saja betah mengajar di sini, Miss Mayang," ucap Mega seraya mengerling ke arah Mayang. Perempuan itu membalasnya dengan senyuman tipis. Ia tahu, rekan gurunya itu secara tidak langsung sedang menyemangati dirinya.
"Harus betah, Miss Mega. Nyari kerjaan susah," kekeh Mayang membuat perempuan yang duduk di meja sebelahnya itu ikut terkekeh.
"Sudah tahu, kan, murid-murid di sini unik?" Mega membuat tanda kutip dengan dua jari telunjuknya ketika mengucapkan kata unik.
"Sudah, Miss. Semoga saja saya nggak kena mental, ya," gurau Mayang.
Mega terkekeh. "Dulu saya juga begitu awal ngajar di sini. Hampir saja kena mental. Luar biasa memang anak-anak di sini. Nggak yang cewek, nggak yang cowok, sama aja rusuhnya. Maklumlah mereka anak-anak orang kaya yang kurang perhatian sepertinya. Orang tua mereka sibuk semua," terang perempuan itu. "Miss Mayang ngajar kelas berapa?"
"Kelas 12, Miss," jawab Mayang sambil mempersiapkan buku-buku yang sebentar lagi akan dibawanya ke kelas. Guru-guru lain mulai berdatangan dan menyapa serta memberi sambutan selamat datang kepada Mayang dengan ramah.
"Kelas seni dan bahasa yang paling susah diatur, Miss. Saya cuma ngingetin aja, biar Miss Mayang nggak kaget," bisik Mega.
Mayang mengangguk-angguk. Tentu saja ia merasa nervous mendengar peringatan dari Mega. Namun, ia sudah bertekad untuk menerima resiko apa pun menjadi guru di sekolah ini. Mayang sudah merasa sangat beruntung bisa mendapat pekerjaan ini. Ia baru setahun lalu lulus kuliah, sempat bekerja serabutan menjadi kasir swalayan, pelayan restauran dan pekerjaan-pekerjaan kecil lain demi menyambung hidup di kota ini.
Mayang tidak berasal dari keluarga kaya. Kedua orang tuanya di Bandung adalah pensiunan pegawai negeri. Mereka susah payah menyekolahkan Mayang hingga ke perguruan tinggi. Untung saja Mayang adalah perempuan yang cerdas hingga ia bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta.
Semasa kuliah, Mayang sudah terbiasa mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia pernah bekerja part-time di sebuah restauran fast food. Mayang sudah terbiasa hidup berkesusahan. Hanya menghadapi resiko bertemu anak-anak nakal saja tentunya tidak akan menjadi masalah untuknya.
***
Mayang menarik napasnya dengan berat. Suara ribut dari dalam kelas terdengar jelas olehnya yang sedang berdiri di depan pintu menyiapkan diri. Perempuan itu membenarkan pakaiannya yang sebenarnya sudah rapi. Rok panjang sampai di bawah lutut, lalu kemeja putih sedikit kebesaran yang ujung bawahnya ia masukkan ke dalam rok, dan sepatu vintage warna hitam yang melekat indah di kakinya. Rambut hitam lebat panjangnya ia ikat ekor kuda. Semua itu membuat penampilan Mayang hari itu terlihat manis meskipun sederhana.
Tangannya pelan mendorong pintu kelas. Suasana kelas bercat putih dan berdesain minimalis itu begitu gaduh. Kertas-kertas yang diremas dan dibuat berbentuk bola berserakan di lantai. Murid-murid perempuan bergerombol dan asik mengobrol dengan suara keras. Sementara murid laki-laki sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Ada yang bermain skateboard berkeliling kelas seraya menjahili murid-murid perempuan dengan menarik rambut, mendorong punggung, hingga menciptakan sebuah perdebatan yang membuat suasana kelas menjadi bertambah gaduh. Ada juga yang sedang duduk-duduk di atas meja sambil meremas-remas kertas dan melemparkannya pada teman-temannya.
Mayang berdiri mematung di depan whiteboard. Perempuan itu tahu bahwa tidak ada seorang murid pun yang menyadari kehadirannya. Atau mungkin mereka memang tidak perduli. Mayang mengumpulkan keberaniannya untuk meminta perhatian anak-anak itu.
Perempuan itu mengambil boardmaker dan mengetuk-ngetuk papan tulis beberapa kali. Suara ketukan membuat seluruh kelas melempar pandang ke arah Mayang.
"Siapa, nih?!"
"Guru baru, ya?"
Mayang berdehem sekali untuk melicinkan tenggorokannya. Ia tidak menyangka kalau ia akan merasa segugup ini berhadapan dengan anak-anak itu. Bagaimana tidak, perempuan itu dihujani oleh tatapan-tatapan meremehkan dari penjuru kelas.
"Bonjour (selamat pagi)," ucap Mayang dalam bahasa Perancis, untuk mengawali pelajaran pagi itu. "Je m'appelle Mayang Lestari (namaku Mayang Lestari). Saya guru bahasa Perancis kalian yang baru." Mayang menelan salivanya saat seisi kelas kembali riuh dan tidak mengacuhkannya. Keberadaan Mayang benar-benar tidak dianggap.
Mayang meraih buku absensi dan mulai memanggil satu persatu nama siswa di kelas itu meskipun tidak ada satu pun yang menyahut. Biar saja. Yang penting ia hanya menjalankan kewajibannya sebagai guru yang baik meskipun sangat sulit.
"Felicita Darmawan!"
" Rachel Putri Wijaya!"
"Sebastian Adiwiguna!"
Mayang memanggil satu persatu nama yang tercatat di dalam buku absensi. Tidak ada seorang pun yang menggubris panggilannya. Perempuan itu berusaha untuk tetap bersabar.
"Laper gue. Kantin, yuk!"
Mata Mayang beralih pada sosok jangkung yang berjalan melintas di depannya dengan dua teman yang mengikutinya. Anak itu berkulit putih bersih dengan wajah kebule-bulean. Tampan tapi dingin. Gaya berpakaian serangamnya sama sekali tidak rapi dan terkesan selengean.
"Maaf, kalian mau ke mana? Ini belum jam istirahat. Silahkan duduk di kursi kalian," pinta Mayang dengan suara yang ia buat setenang mungkin.
"Siapa lo berani ngelarang-larang gue?" Si anak jangkung itu menatap Mayang dengan sinis. "Guru baru aja belagu!" umpatnya. Dengan santainya anak itu memutar badan dan melangkah keluar kelas diikuti oleh dua temannya.
Mayang tidak percaya apa yang baru saja dialaminya. Benar-benar tidak punya etika. Berbicara dengan gurunya sendiri memakai bahasa lo-gue dan memaki pula. Mayang tidak menyangka kenakalan anak-anak ini ternyata separah itu.
Baru beberapa menit berada di kelas ini saja rasanya Mayang sudah terkena mental. Tapi apa boleh buat. Ini resiko pekerjaannya. Ia sekali lagi meyakinkan diri sendiri bahwa pekerjaan ini sudah sangat bagus untuknya. Apalagi gajinya juga lumayan. Nantinya ia bisa menyewa apartemen yang lebih layak dibanding tempat kosnya yang sekarang.
Mayang menarik napas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan ke seisi ruang kelas yang gaduh. Terserah saja. Perempuan itu tetap melanjutkan sesi perkenalan sepihak dengan murid-murid ya itu.
***
Bab 1 Mayang Lestari
22/01/2022
Bab 2 Raka Samuel Jackson
30/01/2022
Bab 3 Dua Dunia Berbeda
02/02/2022
Bab 4 Teror Bangkai Tikus.
04/02/2022
Bab 5 Raka Dan Masalah Hatinya.
06/02/2022
Bab 6 Pelecehan Oleh Christian
07/02/2022
Bab 7 Saya Tidak Takut Sama Kamu.
09/02/2022
Bab 8 Mainan Yang Menantang
11/02/2022
Bab 9 Kekhawatiran Mama
12/02/2022
Bab 10 Saya Titip Raka, Miss
12/02/2022
Bab 11 Mati Kutu
22/02/2022
Bab 12 Semakin Penasaran
23/02/2022
Bab 13 Pendekatan
08/03/2022
Bab 14 Resiko Pekerjaan
14/03/2022
Bab 15 Hampir Saja
14/03/2022
Bab 16 Resah Dan Gelisah
14/03/2022
Bab 17 Rindu Yang Tidak Ingin Diakui.
16/03/2022
Bab 18 Si Menyebalkan Beraksi
16/03/2022
Bab 19 Modus Raka
17/03/2022
Bab 20 Rival
17/03/2022
Bab 21 Rasa Yang Aneh
18/03/2022
Bab 22 Sedikit Nyeri Di Dada
18/03/2022
Bab 23 Cemburu Buta
18/03/2022
Bab 24 Pengajuan Yang Sulit
19/03/2022
Bab 25 Sleep Over
19/03/2022
Bab 26 Terasa Nyata
20/03/2022
Bab 27 Apa Yang Akan Terjadi
20/03/2022
Bab 28 Hari Yang Buruk
20/03/2022
Bab 29 Yang Tertuduh
20/03/2022
Bab 30 Kenapa Kau Begitu Menyebalkan
21/03/2022
Bab 31 Mundur Teratur
22/03/2022
Bab 32 Seatap Dengan Si Menyebalkan
23/03/2022
Bab 33 Angin Malam
24/03/2022
Bab 34 Orang Baru
24/03/2022
Bab 35 Sambutan Untuk Anak Baru
25/03/2022
Bab 36 Perasaan Yang Tersembunyi
28/03/2022
Bab 37 Dilema
29/03/2022
Bab 38 Apa Yang Mike Pikirkan
30/03/2022
Bab 39 Marah Tapi Rindu
31/03/2022
Bab 40 Malam ini
02/04/2022