Allison seorang gadis yang selalu bergantung pada kakak laki-laki palsunya, harus merasakan pahitnya kehidupan dan kehilangan apa yang berharga dalam hidupnya.
" Apa sebaiknya kita tak cukup sampai disini?" tanya Allison pada kakak palsunya dengan wajah sedih.
" Terserah padamu, aku tidak mau memusingkan yang tidak seharusnya dipusingkan." Jawab Deon yang dari tadi sibuk dengan ponselnya menjawab pesan dari kekasihnya.
Memperhatikan kakaknya bahkan tidak tertarik untuk menjawab pertanyaannya, dia pun memutuskan untuk tidak melanjutkan kembali obrolannya. Matanya terpaku pada selembaran menu lusuh yang tergeletak di meja dengan hening, seakan menjadi saksi bisu akan retaknya hubungan kedua saudara ini. Allison berpikir entah sejak kapan kakaknya berubah. Menjadi acuh tak acuh atau bahkan tak peduli padanya lagi. Apakah sejak hari ulang tahunnya ? Atau sejak pernikahan Drew, kakak keduanya ? Allison pun tidak tahu sejak kapan, sambil menahan air yang memaksa menerobos pertahanan matanya.
" Dengan 2 hidangan yamien asin polos, dan 1 kuah bakso ya ?" Pelayan yang tiba-tiba muncul memaksa Allison untuk berpura-pura semangat di depan Deon yang masih saja tidak menghiraukan Allison.
"Kak, ayo makan!" Ajakan Allison dengan wajah yang dipaksa untuk ceria dan semangat.
Deon hanya mengangguk dan mengambil peralatan makan untuknya sendiri, lalu hanyut dalam cita rasa hidangannya. Dia sudah lupa bahwa Allison masih di depan matanya, menunggu dirinya mengajaknya berbicara atau hanya sekedar bercanda padanya seperti yang biasa dia lakukan di tempat kenangan mereka ini. Dengan tetap berusaha menguatkan diri, Allison tetap tersenyum dan mencoba menikmati hidangannya,meski hanya gambar yang dapat dia rasakan. Rasa sesak dan sakit seakan terus menerus menghantam dada Allison, namun dia tak dapat berkata apa-apa pada kakaknya yang bahkan mungkin sudah tak mengharapkan keberadaannya lagi.
" Apa aku cukup mengganggu dalam hidupmu?" Tanya Allison mencairkan kebekuan di meja mereka, setelah mencoba mengumpulkan keberanian yang sangat banyak.
" Apa maksudmu ?" Jawab Deon dengan emosi yang mulai terpancing.
" Lihatlah ka, posisi kita sekarang sudah tak sama lagi. Aku bahkan tak tahu sekarang mana yang benar dan salah? Aku hanya adik palsumu, dan kau selalu mengacuhkanku. Mana kakakku yang selalu bilang tidak akan meninggalkan aku? Mana kakak yang selalu menjagaku ? Mana kakak yang selalu menyayangiku ? Sekarang saja kau enggan hanya untuk berbincang denganku ! Apa salahku ?! Apa aku masih kurang untuk menjadi adik yang baik untukmu ? Aku sudah duduk manis dan hanya menuruti kata-katamu ?! " jawa Allison seiring dengan terurainya air mata yang sudah tidak tahan untuk dia bendung lagi.
Hatinya terasa sakit, perih sekali seperti tersayat tapi tidak tahu bagaimana cara mengobatinya. Hanya rasa marah, kesal, dan sedih bercampur yg dirasakan oleh Allison sekarang.
Sementara itu, Deon hanya bisa duduk terpaku di tempatnya dengan menahan malu, karena Allison tadi berteriak depan wajahnya, membuat semua orang di restoran itu mengalihkan pandangan pada mereka. Ada yang ingin melerai, ada juga yang hanya penasaran ingin taHu lalu pergi. Sebagian besar orang di sini pun mengenal mereka berdua, bagaimana tidak ? Karena tempat ini adalah tempat kenangan mereka selama belasan tahun. Dari Allison masih m3nginjak tingkat dasar di sekolahnya sampai sekarang dia sudah berusia 20 tahun lebih, sudah cukup untuk dibilang restoran legenda. Dan itu juga yang menyebabkan Deon merasa malu akan tingkah laku adiknya yang seenaknya, menghancurkan imagenya depan orang- orang yang melihat dia sangat kharismatik, sempurna, tanpa cela, punya kebaikan hati yang tidak terhingga, suka menolong orang lain, sangat menyayangi adiknya dan terlihat suci tanpa setitik noda apapun dalam dirinya. Namun, hari ini seakan disambar petir , imagenya seakan hancur begitu saja, orang - orang mulai mempertanyakan kebenaran tentang dirinya. Keringat dingin mulai mengalir di wajah Deon yang sudah memucat sejak tadi, sambil berpikir apa ada cara untuk memperbaikinya ?
" Sudah cepat habiskan makananmu." Jawab Deon mengalihkan pembicaraan.
" Kenapa tidak dijawab ? Kenapa harus dialihkan ? Aku hanya ingin bertanya kenapa kau begitu kejam padaku ? Apa salahku ? Jika bisa memilih pun, aku tak pernah mau jadi adik palsumu ! Aku tak pernah mau merasakan sakit ini terus ! Kenapa ? Kenapa harus aku ?" Tangisan Allison.
" Terus kamu mau bagaimana ?" Tanya Deon kebingungan, karena dia sama sekali tidak merasa bersalah atau berubah pada adiknya, dan dia mulai mempertanyakan kewarasan pada jiwa adiknya.
" Aku tidak tau, semua pertanyaanku tidak ada yang kau jawab, aku bahkan tidak tahu aku mau apa? Aku tidak tahu apa yang ku inginkan ? Aku sudah tidak mau makan, kau habiskan saja." Ucap Allison sambil memindahkan mangkok makanannya yang belum tersentuh sama sekali pada Deon, walau ia sudah tahu Deon tidak akan mau menghabiskannya.
" Bungkus saja." Ucap Deon, lalu memakai jaketnya dan pergi membayar tagihan dalam restoran tersebut.
Deon beranjak menuju motornya, memakai helmnya dan menunggu Allison menghampirinya untuk pulang. Hanya keheningan yang di dapat Allison di perjalanan. Selain suara kendaraan yang saling sahut menyahut, suara sirine ambulance yang mungkin sudah berdenging di telinganya, karena hari ini ada sekitar 10 mobil ambulan dan mobil jenazah lewat tepat di depan Allison. Ataupun suara pengamen jalanan yang sudah mulai canggih dengan speaker dan berbagai alat musik lainnya yang terlihat cukup mahal, tidak hanya bermodalkan tutup botol yang dipaku paksa pada setangkai kayu.
' Mengapa mereka tak mencoba uji nasib dengan menyanyi di kafe saja ?' Pikir Allison yang beranjak kemana-mana melihat para pengamen sedang melakukan aksinya.
"Mau kemana?" Tanya Deon pada Allison yang sedari tadi diam tak bergeming.
" Aku tak tahu, bagaimana kaka saja mau kemana? Aku hanya ingin merasakan sejuknya angin jalanan." Jawab Allison yang masih sibuk memperhatikan pengamen jalanan.
" Ya sudah, kita pulang saja kalau begitu." Jawab Deon dengan suara pelan masih menahan emosi pada gadis yang ada di belakangnya.
Allison hanya mengangguk dalam diam, meski tak terlihat oleh Deon. Allison berpikir masih ingin sekali berkelana di jalanan, namun ia tahu jika bersuara hanya akan menimbulkan sebuah perdebatan baru yang akan memancing keributan. Sesampainya di depan perumahan Allison, dia turun dari motor tanpa mengucapkan satu patah kata pun, berharap Deon mengatakan sesuatu meski itu hanya ucapan selamat tinggal. Nihil, bahkan melihat dirinya pun Deon sudah enggan, menunggu Allison turun, dapat menginjak tanah dengan benar dan langsung tancap gas, tanpa memikirkan Allison sedikitpun. Dalam pikirannya sekarang hanya ada seorang wanita, wanita yang ia percaya akan mendampingi dia hingga akhir hayatnya, wanita yang ia percaya begitu suci dan murni, wan8ta yang bisa menerima ia apa adanya, dan yang tanpa disadari telah merusak hubungan persaudaraan antara ia dan Allison.
" Selamat tinggal kak" ucap Allison dengan lembut dengan meneteskan air mata, melihat Deon menjauh dengan cepat.
Bab 1 I. PROLOG
01/02/2024