Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
STAIRS IN THE NORTH

STAIRS IN THE NORTH

ARTEMIS G

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Disaat yang lain hanya memperjuangkan impiannya saja, bagaimana dengan Sarwa dan Sisi yang harus berjuang demi impiannya dan juga terlepas dari larangan kedua orang tuanya? Sarwa yang berbakat dalam bidang musik, bertemu dengan Sisi yang berbakat dalam bidang sastra. Mereka memiliki impian yang sama dan juga hambatan yang sama. Semakin hari, mereka semakin dekat dan selalu terlihat bersama. Akankah Sarwa dan Sisi mampu mewujudkan impian mereka? Apakah musik dan sastra bersatu?

Bab 1 JALAN YANG RUMIT

Yogyakarta, 26 Maret 2018

Apa yang terlintas dalam pikiran orang-orang disaat mendengar kota Yogyakarta? Kota Wisata? Kota Gudeg? Kota seniman? Ataukah kota pelajar? Benar. Semua julukan tersebut benar dan memang di tujukan untuk Kota yang memiliki keistimewaan tersebut. Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, Yogyakarta memang dikenal dengan sebutan kota pelajar karena memang sistem pendidikan disana dikenal baik dan teratur.

Memiliki sebutan sebagai kota pelajar membuat Yogyakarta selalu menempati peringkat pertama dalam daftar peminat pendidikan dan tentu saja hal tersebut menjadi anugrah bagi para pelajar yang memang terlahir di tanah Keraton itu. Terutama bagi mereka yang memiliki impian dan cita - cita besar dalam hidupnya.

Seperti gadis ini. Gadis yang baru berusia 19 tahun dan baru enam bulan menempuh pendidikan S1 nya, termasuk seorang yang beruntung karena terlahir di kota yang diminati oleh para pelajar Indonesia. Tapi sepertinya, gadis ini tidak merasa seberuntung itu karena Ia memiliki tantangan tersendiri dalam hidupnya. Ia benar-benar merasa muak dengan kehidupannya yang selama bertahun-tahun serba diatur dan terkekang hanya dengan alasan Ia adalah anak terakhir dalam keluarganya dan dituntut oleh kedua orang tuanya untuk mengikuti jejak sang kakak. Terkadang Ia ingin memberontak namun Ia sadar bahwa semua tak ada gunanya.

"Sisi. Sarapan dulu sini nak." Sang mamah yang sudah duduk di meja makan bersama dengan Suami dan anak pertamanya pun memanggil Sisi -si anak bungsu itu- yang baru saja turun dari tangga.

Sisi yang sudah membalikkan badan ingin segera berangkat ke kampusnya pun berhenti sejenak dan menatap sang mamah dalam jarak yang cukup jauh. "Sisi nggak laper."

"Tapi, Si."

"Sisi berangkat."

"Kamu naik apa? Mau dianter sama Ayah atau bareng sama Mas? Mobil yang biasa buat anter jemput kamu masih di bengkel, Si."

Sisi membalikan badannya dan melangkah menuju pintu. "Ngesot mah!"

'BRAK'

Mendengar jawaban ketus Sisi yang kemudian disertai suara bantingan pintu utama rumah sontak membuat semua yang ada di meja makan terdiam dan memilih melanjutkan sarapannya kembali. Seolah tidak peduli dan tidak mau tahu apa yang membuat Sisi seperti itu.

- stairs in the north -

Sisi duduk disebuah taman yang tak jauh dari komplek perumahannya. Ia terdiam sendiri sambil menikmati suasana sunyi yang ada disekitarnya. Sisi melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

07.15

Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampusnya, mengingat mata kuliah pertamanya akan dimulai pukul 08.30 nanti. Mungkin sebagian orang yang memiliki waktu sebelum berangkat yang masih cukup lama seperti Sisi, mereka akan menggunakannya untuk bersantai terlebih dahulu di rumahnya. Namun Sisi memilih pergi dan berangkat dengan cepat karena sejujurnya, Ia malas berada dalam ruang lingkup yang sama dengan keluarganya yang setiap hari hanya bisa men-judge dirinya bahkan menceramahi Sisi habis habisan dengan topik yang sama. Yaitu, Ia harus menjadi seorang Sarjana Ekonomi dengan alasan, Ia dan kakaknya akan menjadi penerus perusahaan keluarga. Sisi benar benar muak dengan itu semua hingga tanpa sadar, Ia seperti kehilangan dirinya sendiri karena terlalu mengikuti apa yang keluarganya katakan.

Karena hidupnya yang serba diatur dan ditekan, membuat Sisi menjadi sosok yang dingin dan kasar pertanda itu adalah pemberontakannya. Namun sepertinya satupun tidak ada yang memahami kecuali satu orang yang selalu datang disaat Sisi benar-benar merasa terpojok.

Tumben deh nih anak belom nge chat gua. Batin Sisi.

TRING

Notifikasi dari Handphone Sisi berbunyi menandakan sebuah pesan masuk dan membuyarkan lamunan Sisi. Dengan segera Sisi mengambil Handphone nya dan membuka pesan tersebut.

Bima : Ngapain sendirian woe? Kesambet demit tau rasa luh. Sini buruan! Gua ada di seberang taman.

Sisi tersentak kaget saat membaca pesan tersebut. Bagaimana bisa Ia tahu bahwa Sisi sedang sendirian di taman itu? Dukun kali ya nih orang?

Dengan segera, Sisi pun memakai tas nya dan bergegas menuju ke seberang taman.

- stairs in the north -

'BRUK'

Sebuah bundelan besar yang berisikan berbagai macam sketsa gambar rancangan rumah modern digelindingkan begitu saja oleh laki-laki berlesung pipi itu ke kolong tempat tidurnya. Bundelan itu rupanya barang yang sangat Ia benci dan juga Ia harapkan supaya menghilang saja dari dunia ini, meski rasanya mustahil. Oleh karena itu Ia memilih menjebloskannya ke kolong tempat tidur.

Biarin dimakan tikus deh. Anggap aja sedekah sama tikus.

"Sarwa." Panggil seorang wanita yang berwajah keibuan setelah membuka pintu kamar Sarwa -laki laki itu-. Sarwa yang masih berjongkok pun lantas segera berdiri dengan wajah terkejutnya.

"Iya Mih?"

"Buruan berangkat. Papih nungguin tuh dibawah."

Sarwa memutar bola matanya jengah. "Sarwa udah gede mih. Sarwa bisa berangkat sendiri."

"Tapi Papih kamu-"

"Takut kalau Sarwa ke studio musik?"

"Sarwa-" Belum selesai Mamihnya berbicara, Sarwa langsung mengeluarkan kunci motornya dan mencium tangan sang ibu.

"Sarwa berangkat mih. Assalamualaikum." Pamit Sarwa lalu keluar dari kamarnya.

"Sarwa. Dengerin mamih dulu." Mamih pun menyusul Sarwa yang sudah menuruni anak tangga. "Nanti papih akan marah lagi sama kamu kalau kamu susah diatur."

Sarwa yang sudah membuka pintu utama pun lantas membalikkan tubuhnya dan menatap Mamih nya. Laki-laki itu pun tersenyum tipis, "Semarah apapun papih, papih nggak akan bisa berhentiin Sarwa sampai kapan pun, mih."

Mamih yang mendengar Sarwa bersikeras dengan pendiriannya hanya bisa menghela nafas pasrah.

"Sarwa berangkat mih." Pamit Sarwa dan kemudian melangkah keluar.

Saat Sarwa sudah berada di luar, Sarwa mendapati sang ayah yang berdiri di depan mobilnya sedang menatap tajam kearah Sarwa seolah berkata 'mau kemana lagi kamu?'. Namun sepertinya tatapan itu tidak ada artinya bagi Sarwa karena saat ini Sarwa berjalan kearah garasi untuk mengambil motornya yang sudah hampir sebulan tidak digunakan olehnya.

"SARWA!!!" Teriak papih saat melihat Sarwa sudah berada di atas motor dan memakai helm nya.

"SAR-"

'BRUM'

Suara knalpot motor Sarwa berbunyi dengan kencang pertanda Sarwa meng-gas penuh motornya dan kemudian diikuti Sarwa yang melaju dengan kecepatan diatas rata - rata dan tentu saja Ia melewati ayahnya yang belum selesai bicara.

"SARWAPALAKA!!!" Teriak Papih dengan emosi sambil menatap kearah gerbang tempat dimana Sarwa terakhir terlihat sebelum akhirnya Ia berbelok dan kembali menancap gas dengan kecepatan full. Papih yang melihat hal itu hanya bisa menggeram pelan pertanda Ia benar-benar marah dengan anak laki-lakinya itu. Papih pun menatap Mamih. "Kenapa sih, anak itu susah diatur?"

Mamih menghampiri Papih dan mengelus pelan pundaknya, "Nanti sore kalau dia sudah pulang, kita bicarakan."

Mendengar ucapan Mamih, membuat Papih terdiam dan mau tidak mau menahan amarahnya mati-matian. Beliau benar-benar marah pada Sarwa sekarang. Sang anak semata wayangnya. Entahlah apa yang akan terjadi pada Sarwa saat Ia pulang sore nanti. Apakah Ia akan menerima bentakan yang disertai makian? Hanya Tuhan dan Papih yang tahu.

- stairs in the north-

Sarwa melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata seakan Ia sedang membelah sepanjang Jalan Ahmad Yani. Bukan tanpa alasan Sarwa melajukan motornya secepat itu -selain membahayakan dirinya sendiri, Ia juga bisa membahayakan orang lain-, Sarwa mempunyai alasan mengapa Ia nekat mempertaruhkan nyawanya diatas jalanan beraspal itu. Alasannya hanya satu, yaitu Ia marah. Marah dengan kehidupannya sendiri yang tidak sebebas sahabat-sahabat satu kampusnya. Marah karena Ia tidak pernah bisa melakukan apa yang Ia mau. Marah karena Ia merasa tidak bisa menikmati kehidupannya sendiri.

'BRUM'

Suara motor ninja yang di gas semakin cepat oleh Sarwa, kembali terdengar di tengah jalan raya yang lumayan ramai itu. Beruntungnya Sarwa tidak perlu merasakan kemacetan seperti di ibu kota, sehingga Ia bisa dengan leluasa meluapkan apa yang Ia rasakan dengan cara melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata.

Kalo bunuh diri nggak dosa, gua udah nabrakkin diri ke tronton!

- stairs in the north -

Tak ada yang istimewa dari kantin Fakultas Biologi selain menu makanannya yang terkenal murah hingga membuat kantin yang berada di fakultas itu tidak pernah sepi dikunjungi oleh mahasiswa -meski kantin yang lain juga begitu-. Namun tetap saja kantin itu selalu penuh bahkan di siang hari sekalipun. Sepertinya kantin tersebut sudah dijadikan basecamp oleh beberapa mahasiswa yang mempunyai geng sendiri.

"Si. Luh tadi pagi nggak makan apa gimana sih?" Tika yang berada dihadapan Sisi hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat Sisi yang makan dengan porsi dua kali lipat dari biasanya.

"Kirain gua doang yang ngerasa kalo Sisi siang ini makan banyak bangat." Sahut Yashi dan kemudian kembali terfokus pada laptopnya. Mahasiswi Ilmu Biologi itu tak pernah absen dari depan laptopnya meski hanya satu hari saja. Entahlah apa yang Ia kerjakan

"Gua makan kok."

"Makan ati?" Sahut Nore yang berada di sebelahnya. Nore menatap kearah Sisi. "Kebiasaan bangat luh nggak pernah sarapan."

"Dari pada sarapan tapi ujung-ujungnya gua sendiri yang kesiksa, mending gua makan siang sekalian disini."

"Iyain, Si." Tika pun memasukan potongan lanthing1 kedalam mulutnya. "Luh nggak kesian apa sama lambung luh?"

"Lebih kesian sama hidup gua sih."

"Istighfar, Si." Celetuk Yashi sambil menutup laptopnya. Akhirnya Ia terlepas dari benda persegi itu meski hanya dalam waktu beberapa jam kedepan.

"Astaghfirullahaladzim." Ceplos Sisi dan langsung dihadiahi jitakan pelan dari Tika yang berada dihadapannya.

"Wey? Kok dijitak sih?"

"Lagian luh-" Tika menggantungkan ucapannya saat menatap seorang laki - laki yang tiba-tiba berdiri di belakang Sisi. "Si..."

Sisi mengerukan keningnya bingung saat Ia tak mampu membaca kode dari Tika. "Apaan?"

Tika memberikan isyarat pada Sisi. "Kak Janu."

Mendengar nama itu, sontak saja Sisi membalikan tubuhnya dan langsung melemparkan tatapan tajam pada laki-laki tersebut. Ia pun kemudian mencolek Nore yang masih sibuk dengan makanannya. "Re. Mas Janu tuh."

Nore berbalik, "Kamu ngapain disini?"

"Nyamperin kamu sekalian..." Janu melirik Sisi sekilas. Sisi yang dilirik hanya menatap Janu dengan jengah dan berharap manusia satu itu lenyap dari muka bumi.

"Nggak usah ngomong apa-apa ke gua!" Sisi pun memakai tas nya. "Nggak akan mempan!" Setelah berkata dengan ketus, Sisi kemudian pergi dari sana dan menyisakan keheningan diantara ketiga sahabatnya dan juga dengan Janu. Sisi benar - benar benci dengan Janu. Bahkan Ia sempat berfikir, Nore baik. Musibah bangat kalau dapet sama Kak Janu yang kelakuannya sebelas dua belas sama setan!

Mereka semua tahu dan mengerti kalau Sisi sangat membenci Janu. Dan jika Sisi sudah berhadapan dengan Janu, mereka memilih diam daripada terkena hunusan pedang es dari kata-kata yang akan Sisi lontarkan. Alasan Sisi membenci Janu adalah, Janu telah membuat Sisi hidup dalam kesulitan dan juga membuat Sisi berada dalam jalan yang rumit.

* * *

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku