Love In Bandung

Love In Bandung

Lassma

5.0
Komentar
31
Penayangan
12
Bab

Sejak dulu, Bandung dikenal sebagai tempat indah dan romantis. Namun di balik itu semua, tersimpan banyak rahasia yang luar biasa. Lisa dan Reyhan sudah lama menjalin persahabatan, dimulai saat Lisa pindah ke Bandung. Lisa menyukai Reyhan dalam diam. Suatu hari Reyhan memperkenalkan Lisa kepada temannya yang berasal dari Singapura. Orang itu bernama Louis. Kehadiran Louis membuat rasa suka Lisa kepada Reyhan hilang seutuhnya. Kemudian tumbuh benih-benih cinta di antara Louis dan Lisa, sehingga mereka menjadi pasangan kekasih. Di saat Lisa sudah menambatkan hatinya untuk Louis, Reyhan baru menyadari bahwa dia mulai mencintai Lisa. Di tengah-tengah kisah percintaan mereka, muncul sebuah kenyataan yang membuat Lisa dan Louis tidak bisa bersatu, padahal keduanya sangat saling mencintai. Reyhan berusaha menggantikan posisi Louis, tetapi Louis sudah menempati tahta tertinggi di hati Lisa. Sehingga akan sulit bagi siapa pun untuk menggantikannya. Bagaimana akhir kisah cinta Lisa? Hati siapa yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya? Louis atau Reyhan? Atau tidak keduanya?

Bab 1 Malam yang Indah

Lisa duduk bersandar di kursi dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Pandangannya lurus, menatap layar komputer di depannya yang sudah dia matikan sebelumnya. Pandangannya mulai beralih ke layar ponsel yang sejak tadi berada dalam genggamannya. Wajahnya berkerut dan matanya menyipit, terus memandangi layar ponsel itu. Entah apa yang sedang dia tunggu.

Dia mulai mengetuk-ngetukan jari mungilnya di atas meja kerjanya. Merasa mulai bosan menunggu ponsel kesayangannya itu yang tidak kunjung bergetar. Dia tidak habis pikir, kenapa benda berbentuk pipih itu tidak berdering, tidak bergetar, tidak menyala, tidak melakukan hal yang sesuai dengan harapannya.

Dia menaruh ponselnya dengan sembarangan. Tidak lagi berharap ponsel itu untuk menyala, bergetar, ataupun berdering. Baru kali ini dia merasa ponselnya tidak berguna. Entah ponselnya yang tidak berguna atau ponsel orang yang sedang dinantinya.

"Untuk apa memiliki ponsel kalau tidak bisa digunakan? Apa mungkin ponselmu sudah dijual?"

Lisa bermonolog sembari merutuki seseorang yang menjadi alasan, kenapa dia sampai merasa kesal seperti ini.

Dia mulai merasa bosan. Dia memutar kursi kerjanya menghadap jendela yang cukup besar dan menampakkan pemandangan indahnya kota Bandung saat di malam hari. Memerhatikan mobil- mobil yang berseliweran di jalan raya kota Bandung dengan tatapan menerawang.

Dia perhatikan, selama beberap tahun terakhir jalanan kota Bandung semakin ramai. Tidak sedikit kemacetan yang terjadi di kota ini, meskipun pada malam hari. Pemandangan indah jalan raya selalu membuat hatinya bahagia.

Langit sudah gelap. Dia melirik ke salah satu benda kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam delapan lewat. Dia mendesah dan mendengus kesal. Dengan sekali hentakan, dia memutar kembali kursinya menghadap meja kerja.

"Apa kamu tidak punya pulsa atau paket data? Kenapa sampai saat ini tidak menghubungiku juga?" desis Lisa sembari mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang bening.

"Kamu berdebat dengan ponsel?" tanya seseorang dari arah belakang.

Lisa mengangkat wajah dan menoleh, menatap ke sumber suara yang baru saja didengarnya.

Orang itu tidak lain adalah Rena. Dia baru saja masuk ke ruangan dan tersenyum ketika melihat rekan kerjanya yang sedang berbicara dengan sebuah ponsel.

"Kenapa Kak Ren masih ada di sini? Belum selesai pekerjaannya?" tanya Lisa ringan tanpa beban, sambil mencondongkan tubuh ke depan, menumpukkan kedua siku di meja dan bertopang dagu. Tentu saja hal itu membuat pipi chuby-nya terlihat seperti akan tumpah.

Rena menggelengkan kepala, "pekerjaanku sudah selesai. Hanya saja aku melupakan sesuatu di meja kerja, dengan terpaksa aku kembali ke sini untuk mengambilnya."

Lisa mengangguk dengan mantap. Sepertinya dia mengangguk karena benar- benar paham, bukan asal mengangguk tanpa alasan.

Rena berjalan ke meja kerjanya yang berada tepat di samping meja kerja Lisa. "Bukankah kamu sudah menyelesaikan pekerjaan sejak dua jam yang lalu?" tanya Rena sembari menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Lisa mendengus kesal. "Memang," jawabnya lemas dengan suara yang hampir saja tidak terdengar. Dia lemah karena suatu hal atau dia lemah karena lapar. Entahlah, hanya dia yang tahu tentang dirinya sendiri.

"Lalu ... kenapa kamu masih ada di sini?" sambung Rena kembali, setelah sebelumnya mendapat jawaban dari Lisa.

Bukannya menjawab pertanyaan Rena, Lisa malah menunduk dan menyandarkan keningnya di atas meja, dengan kedua tangannya yang dia gunakan sebagai tumpuan. Kemudian dia mendengus keras.

Lisa dan Rena merupakan karyawan di salah satu perusahaan terbesar di kota Bandung. Perusahaan itu bergerak di bidang produksi. Rena lebih dulu bekerja di perusahaan itu dibanding Lisa, bisa dikatakan Rena adalah seniornya.

Mereka berdua sedang menangani sebuah produksi yang sama. Pembuatan produk mie instan dengan versi baru yang belum pernah ada sebelumnya, menjadi produksi besar yang pertama kali Lisa tangani.

Berbeda dengan Rena. Sebelumnya dia sudah pernah menangani beberapa produksi dari berbagai jenis makanan yang sangat laku di pasaran, sebelum Lisa masuk dan menjadi karyawan baru di perusahaan itu. Bahkan sampai sekarang dia sudah menjadi karyawan tetap.

Perlu digaris bawahi, Lisa dan Rena bekerja di bagian kantor. Sehingga mereka yang merancang dan mengatur, supaya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan mereka bisa menembus pasar nasional bahkan pasar internasional.

"Lis, kenapa kamu lesu begitu? Tidak biasanya kamu bersikap seolah tidak ada semangat hidup," ucap Rena sambil menepuk pelan bahu Lisa, kemudian dengan pelan mengelusnya. Dia sudah menganggap Lisa sebagai teman sekaligus adiknya sendiri.

"Kamu lupa hari ini adalah hari jumat? Biasanya kamu merasa senang dan bersemangat di hari jumat," sambung Rena kembali, sembari menarik tangannya dari pundak Lisa.

Lisa mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Rena dan menampakkan senyumnya yang terlihat sedikit terpaksa.

Hari jumat memang hari yang paling disukainya karena hari jumat adalah hari terakhir yang akan mengeluarkannya dari dunia pekerjaan.

Dalam kata lain, hari jumat sebagai tanda jika akhir pekan telah menantinya. Dia bisa melakukan semua hal yang dia inginkan di akhir pekan. Namun, hari ini menjadi pengecualian. Dia tidak merasa senang atau bersemangat ketika akhir pekan sudah berada tepat di depan mata.

"Hmm... sepertinya aku mengerti," ucap Rena tiba-tiba sembari menampakkan senyumnya. "Rupanya ... kamu belum mendapat kabar dari dia." Tebakkannya tepat mengenai sasaran.

Lisa menggigit bibir dengan tipis dan mengangguk lemah. Dia kembali melirik layar ponselnya yang masih setia dalam mode gelap dan dalam mode diam. Saking lelah dan bosan menanti sesuatu yang tidak pasti, akhirnya dia membulatkan tekad untuk tidak berharap lagi kabar dari orang itu. Dia mendengus dan meraih ponselnya dengan kasar.

"Sudah. Lupakan saja dia!" ucapnya dengan tegas. Ucapan itu dia tujukan kepada dirinya sendiri.

Dengan sikap acuh tak acuh, dia memasukan ponselnya ke dalam tas selempang, kemudian dengan satu kali gerakan dia berdiri dari kursi kerjanya.

"Kak Rena, ayo kita pulang saja sekarang. Percuma juga terus berada di sini," ajaknya kepada Rena yang masih memasukkan barang-barang yang sempat tertinggal, ke dalam tasnya.

"Duduk melamun dan mengharapkan sesuatu yang tidak pasti, sama sekali tidak ada gunanya," sambungnya kembali dengan raut wajah yang mulai tampak kesal.

Rena menatap Lisa dengan bingung. Dia tidak mengerti dengan apa yang di maksud teman kerjanya itu. "Yang mengharapkan sesuatu tidak pasti itu siapa?" tanya Rena sambil mengerutkan keningnya.

"Tidak ada," jawab Lisa dengan asal. Tentu saja hanya Lisa sendiri yang mengharapkan sesuatu tidak pasti itu. Sementara Rena, dia tidak berharap apa pun.

Rena masih berada di ruangan itu hanya karena ada barangnya yang masih tertinggal, bukan karena berharap akan sesuatu.

***

Sepuluh menit kemudian, Lisa dan Rena sudah berada dalam lift kaca yang membawa mereka turun ke lantai dasar. Lisa berdiri membelakangi pintu lift dan menikmati pemandangan malam kota Bandung yang terbentang di depan mata.

Di saat matanya tengah asik menikmati keindahan malam di kota kembang itu, entah kenapa pikirannya tiba-tiba membawanya kembali mengingat kejadian di masa lalu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Gavin
5.0

Pernikahanku hancur di sebuah acara amal yang kuorganisir sendiri. Satu saat, aku adalah istri yang sedang hamil dan bahagia dari seorang maestro teknologi, Bima Nugraha; saat berikutnya, layar ponsel seorang reporter mengumumkan kepada dunia bahwa dia dan kekasih masa kecilnya, Rania, sedang menantikan seorang anak. Di seberang ruangan, aku melihat mereka bersama, tangan Bima bertengger di perut Rania. Ini bukan sekadar perselingkuhan; ini adalah deklarasi publik yang menghapus keberadaanku dan bayi kami yang belum lahir. Untuk melindungi IPO perusahaannya yang bernilai triliunan rupiah, Bima, ibunya, dan bahkan orang tua angkatku sendiri bersekongkol melawanku. Mereka memindahkan Rania ke rumah kami, ke tempat tidurku, memperlakukannya seperti ratu sementara aku menjadi tahanan. Mereka menggambarkanku sebagai wanita labil, ancaman bagi citra keluarga. Mereka menuduhku berselingkuh dan mengklaim anakku bukanlah darah dagingnya. Perintah terakhir adalah hal yang tak terbayangkan: gugurkan kandunganku. Mereka mengunciku di sebuah kamar dan menjadwalkan prosedurnya, berjanji akan menyeretku ke sana jika aku menolak. Tapi mereka membuat kesalahan. Mereka mengembalikan ponselku agar aku diam. Pura-pura menyerah, aku membuat satu panggilan terakhir yang putus asa ke nomor yang telah kusimpan tersembunyi selama bertahun-tahun—nomor milik ayah kandungku, Antony Suryoatmodjo, kepala keluarga yang begitu berkuasa, hingga mereka bisa membakar dunia suamiku sampai hangus.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku