Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
War In Life
5.0
Komentar
511
Penayangan
69
Bab

Kehidupan keluarga konglomerat yang hampir tidak ada cacat berubah total setelah kecelakaan maut menimpa Airin. Sebagai anak, Ghea bergerak mencari fakta dari insiden tersebut dengan dibantu lelaki misterius yang dia temui saat memesan sebuah kamar hotel presidential suite . Akankah mereka sukses mengungkapkan kebenaran? Dan bagaimana keasingan itu membuat mereka saling bertautan.

Bab 1 Neraka Dunia

"Ghe ke sebelah sini deh biar menara Eiffel nya keliatan jelas," Naya menarik lengan Ghea hingga mereka tepat berada di depan menara Eiffel.

Tanpa banyak berargumen Ghea menuruti perkataan Naya, mereka tengah asik berfoto ria di depan menara Eiffel yang tampak sangat indah juga tinggi, setinggi harapan orang tua pada anaknya. Liburan ke Paris Prancis masuk dalam daftar list negara di Eropa yang harus mereka jelajahi.

Berlibur mengunjungi beberapa negara di Eropa bersama, adalah sebagai hadiah karena telah lulus S1 pada tiga bulan yang lalu. Hadiah yang teramat besar untuk ukuran lulus kuliah S1. Mereka adalah sahabat dari sejak zaman SMP hingga sekarang.

Kepribadian yang bertolak belakang tak membuat keduanya sungkan sampai bersahabat cukup lama. Ghea yang memiliki karakter cukup cuek dan ceplos ceplos merasa bahagia memiliki Naya yang kalem dan perhatian. Keduanya sudah seperti kakak beradik yang saling melengkapi, mereka bahkan banyak menghabiskan waktu bersama hingga pernah satu kosan selama satu tahun pada masa kuliah.

"Kita pose kayak gini ya Ghe," Naya memperagakan posenya dengan mata melotot dan tersenyum lebar sambil menampilkan deretan gigi putihnya.

"Kayak Joker, Nay," spontan Ghea tertawa ngakak melihat ekspresi aneh Naya.

"Iiii enggak apa-apa biar lucuuuu," Naya kekeuh dengan keinginannya. Meski benar apa yang dikatakan sahabatnya, Naya seperti Joker.

"Ya udah iya iya."

Pose aneh dan lucu tak henti mereka praktekan, hingga puluhan foto memadati galeri mereka dapatkan. Keduanya terlihat asyik menikmati momen itu, tak ada secuil kesedihan pun yang terpancar dari keduanya. Mereka seperti terbang setinggi mungkin tanpa takut terjatuh.

Padahal, rasanya baru kemarin keduanya merasa stres karena skripsi yang tak kunjung usai. Bolak-balik untuk bimbingan sampai begadang hingga pagi tiba untuk merevisi. Bahkan Ghea yang hobi tidur terjaga sepanjang malam untuk sebuah benda melelahkan ini , juga Naya yang tak suka kopi terpaksa minum kopi agar matanya melek. Tapi kini, hal itu tak bersemayam dalam pikiran mereka lagi. Hal itu telah sirna dengan datangnya hari ini.

Triinggggg.....

Bunyi panggilan telepon.

"Handphone aku bunyi deh kayaknya," Ghea langsung mencari sumber suara itu di tas miliknya. Ketemu.

"Bentar Nay, bibi Yu nelpon," Ghea sontak menepi sedikit menjauhi kerumunan orang.

"Halo bibi Yu..." Ujar Ghea.

"Nyonya kecelakaan Non."

Tanpa menjawab sapaan majikannya, Bibi Yunita tiba-tiba mengatakan kalimat yang tak terbesit sedikit pun dalam benak Ghea. Selengkung senyum cerah gadis itu ketika menjawab panggilan dari Bibi Yunita seketika pudar. Kebahagiaan dan kesenangan yang menyelimuti dia selama ini hilang bagai ditelan bumi, entah molekul apa yang dapat menariknya.

"Keadaan Bunda sekarang gimana Bi?" Ghea panik khawatir luar biasa, dia bahkan berusaha menyeka air mata yang ingin keluar.

"Mobilnya masuk jurang, Nyonya belum ditemukan," tutur Bibi Yunita.

Handphone yang Ghea letakkan di telinga kanannya langsung terjatuh usai mendengar kalimat itu. Tatapannya kosong, keramaian yang mengelilingi dia bagai angin lalu. Kini dia seperti di tengah hutan besar sendirian tak tahu harus bagaimana.

Peristiwa yang tak pernah secercah pun berada di otaknya, kini ternyata sedang menimpanya. Hatinya hancur remuk menjadi pecahan perca yang berserakan tak menyatu. Matanya terpaksa mengeluarkan buliran bening, tidak dapat dibendung lagi. Mulutnya diam membisu tak bersuara.

Naya melihat Ghea menjatuhkan ponselnya seketika berjalan menghampiri. Dia tampak bingung dengan keadaan sahabatnya, senyum manis dan tawa renyah yang dari tadi mengisi hari berubah menjadi tangis pilu yang menjadi.

"Ada apa Ghe? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Naya bingung dan khawatir sambil memegang kedua pundak Ghea.

"Ini mimpi kan Nay?" Gadis itu mengatakannya dengan tangis yang menyertai.

"Aku harap ini mimpi Nay," tatapan kosong terpampang nyata di wajahnya.

"Ghe ada apa, katakan dengan jelas!" Naya mengangkat suaranya hingga membuat orang-orang sekitar menoleh pada mereka, berusaha menanyakan apa yang sebenarnya membuat sahabatnya seperti ini.

"Bunda kecelakaan, dan belum ditemukan," Ghea akhirnya mengungkap akar dibalik tangis pilunya.

"Apa?" Naya tercengang dengan ucapan mengejutkan yang kedua telinganya dengar.

"Tapi maksud aku bagaimana bisa... Anu... Bunda..."

Naya terbata-bata tak tahu harus mengatakan apa. Ribuan Kosa kata yang dia hafal tiba-tiba sulit untuk diucapkan.

Naya dengan segera memeluk Ghea cukup erat. Dia berharap setidaknya ini mungkin bisa membuatnya tenang meski hanya sesaat.

"Ghe kamu tenang dulu ya, Bunda pasti ketemu kok," kata Naya seraya mengusap-usap lembut rambut gadis malang ini.

"Bunda pasti ketemu dan masih hidup kan Nay?" Lirih gadis itu yang tengah menangis sejadi-jadinya dalam pelukan hangat seorang sahabat.

Naya hanya mengangguk-angguk serta turut hanyut dalam tangis yang mengiringi Ghea. Betapa tak menyangka atas apa yang terjadi, panggilan telepon dari kepala pembantu rumah, sontak menghantam keras hati mereka. Remuk berkeping-keping. Berniat untuk healing hingga pergi berlibur mengelilingi benua Eropa, ternyata justru terjadi peristiwa tragis yang membuat tangis.

Keramaian orang-orang yang terbius oleh pesona menara Eiffel hanya berlalu lalang melewati mereka. Menara Eiffel yang tampak begitu indah membuat setiap mata tak berkedip, saat ini terasa tak berarti. Kebahagiaan yang dua hari ini mereka habiskan di Paris hilang tersapu ombak yang menerjang.

Menara Eiffel. Tempat impian banyak insan menjadi saksi bisu momen bersejarah dalam hidup Ghea. Sunrise dengan sorot cahaya matahari pagi hanya menjadi sesuatu yang menghentikan bahagia. Berpasang-pasang mata menatap indahnya menara Eiffel membuat keduanya tak berpaling dari kesedihan saat ini.

Bahkan sekarang hanya untuk bernapas saja, rasanya begitu menyakitkan.

Ghea Alexandra Anandyta

***

"Ghe mau makan apa? Biar aku pesenin ya?" tanya Naya.

Gadis itu hanya diam menatap gumpalan awan dari balik jendela pesawat. Tatapannya kosong, ternyata bukan gumpalan awan yang dia lihat, melainkan rantaian kisah bersama sang Bunda yang berterbangan di kepalanya.

"Ghe," panggilnya lagi, kini tangannya mendarat di bahu kiri Ghea.

"Iya," Gadis itu tersadar dari lamunan panjang.

"Makan yah, mau pesen apa? Biar aku pesenin."

"Enggak Nay, kamu aja. Aku enggak laper."

"Tapi kamu belum makan loh dari tadi, nanti kamu bisa sakit," Naya berusaha membujuk agar gadis itu mau makan. Tak apa meski hanya satu dua suap, asalkan ada sesuatu yang masuk ke dalam perutnya untuk mengisi energi.

"Enggak akan sakit kok Nay, nanti aku makan kalau laper. Kamu duluan aja."

Ghea kembali menatap awan dari balik jendela pesawat. Rentetan cerita dengan Bunda melayang dipikirannya. Gadis yang usianya belum mencapai seperempat abad itu teringat ketika terakhir kali telponan dengan sang Bunda kemarin malam. Waktu itu Bundanya menanyakan apakah Ghea masih lama mengunjungi beberapa negara dibenua Eropa, sang Bunda terlihat sudah merindukan dirinya.

"Ghea kapan pulang sayang?" tanya Bunda lewat sebuah video call.

"Nanti Bun setahun lagi."

"Gheeaaa..." Bunda memasang wajah cemberut.

"Hahaha... Enggak kok Bun lima hari lagi Ghea pulang. Jangan cemberut gitu, Bunda keliatan jelek tahu."

"Enggak mungkin, Bunda mau pake ekspresi apapun tetep keliatan cantik." Selengkung senyum manis terlihat jelas diwajah Bunda. Candu, bahkan Ghea ikut tersenyum.

"Iya Bunda sayang, mau ekspresi gimanapun tetep cantik. Ayah aja sampe kesemsem sama Bunda," Putri tercintanya tampak menggoda sang Bunda.

Percakapan itu terngiang dipikiran Ghea. Apakah itu akan menjadi percakapan terakhirnya dengan Bunda ataukah sebaliknya? Entahlah gadis itu tak bisa menerka hal demikian dengan pasti.

Ghea kini hanya merasa takut kehilangan Bunda, dia tak tahu harus seperti apa nantinya. Apakah hidupnya akan berjalan baik-baik saja meski tak ada semangat Bunda yang menahan ujian, tak henti-henti berkecamuk dengan pikirannya. Segala hal buruk yang mungkin terjadi dari peristiwa kecelakaan ini tak bisa dia tepis.

Dia begitu takut hal yang selama ini menggumpal di otaknya terjadi. Membayangkan kemungkinan tak akan ada usapan tangan lembut Bunda lagi yang menyeka air matanya, mengusap lembut rambutnya, memberdirikan ketika dirinya jatuh. Semua itu Ghea takutkan seandainya tak dapat terulang kembali.

Setelah setengah perjalanan Ghea tertidur lelah menghadapi episode hari ini. Air mata yang dari tadi tak kunjung surut, akhirnya terhenti dengan tidurnya. Melihat sahabatnya telah terlelap, Naya mengambil selimut. Dia menyelimuti dengan perlahan agar gadis itu tidak terbangun.

Menatap sahabat setianya dengan tatapan haru dan menahan tangis adalah usaha yang tak mudah bagi Naya. Naya tak bisa membayangkan betapa rapuhnya sahabatnya sekarang. Naya hanya mampu berusaha menenangkan dan berdoa agar dia tetap kuat meski teramat berat.

Ghea dan Bunda memang sudah sangat seperti saudara bagi Naya. Dia tahu betul bagaimana Bunda begitu menyayangi Ghea hingga tak pernah memukul meski gadis itu membuat kesalahan yang sangat besar.

Bunda Airin, Naya diperlakukan seperti anaknya sendiri. Begitu baik dan perhatian hingga Naya merasakan kasih sayang seorang Ibu darinya. Perlakuan Bunda saja begitu baik terhadap Naya hingga membuat Naya nyaman didekatnya.

Naya teringat ketika dia dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya, karena mendapat nilai raport tujuh puluh lima pada sebuah mata pelajaran saat masih duduk di bangku SMA, hingga dirinya tak berani pulang ke rumah sebab takut amarah kedua orang tuanya belum reda.

Namun, saat itu Bunda Airin tahu permasalahan Naya dan justru mengajaknya untuk tinggal di rumahnya sementara waktu. Bunda Airin menasehati Naya untuk berusaha tegar dan tetap berbuat baik kepada kedua orang tuanya, meski mereka sangat marah karena hal ini. Bunda Airin tak menyalahkan Naya, dia mengatakan kalimat yang membuat Naya ingat sampai sekarang.

"Nay, sebenarnya ada masalah yang lebih penting daripada nilai loh, yaitu karakter. Nilai mungkin salah satu yang menentukan kita lulus di sekolah atau tidak, dan sebenarnya mudah saja untuk mendapatkan nilai yang besar. Tapi tidak dengan karakter, contohnya kebiasaan bersikap buruk terhadap kedua orang tua. Hal itu bisa dirubah tapi tak mudah bukan? Bagaimana kita harus bakti pada mereka, dari mulai volume suara ketika berbicara dengan mereka yang tidak lebih tinggi dari keduanya. Hal-hal yang terlihat enteng tapi nyatanya tidak. Tapi kamu, dengan memilih diam dan tidak bersilat lidah meski mampu, itu adalah sebuah perjuangan. Naya, nilai kamu hanya pas KKM dan mereka bersikap tak seharusnya. Tolong jangan membenci keduanya ya, mungkin mereka belum mengerti. Tetaplah bersikap baik ya Nay, suatu saat mereka pasti paham, hanya saja perlu waktu. Kamu sudah melakukan yang terbaik sejauh ini, kamu hebat. Tidak semuanya bisa seperti kamu. Semangat ya Naya sayang."

Bunda Airin bahkan sampai memeluk erat Naya hingga membuatnya merasa lebih tenang. Naya jadi mengambil pelajaran, seburuk apapun perlakuan orang tuanya terhadap dirinya, tetap tak cukup alasan untuk membenci keduanya. Meski teramat menyakitkan ketika amarah kedua orang tuanya Naya dengar, tetap saja dia harus berbakti pada mereka. Ini mungkin menjadi bagian tersulit dalam paradigma kehidupan.

Perlakuan manis yang Naya dapat dari Bunda Airin, tentu tak lepas dari anaknya sendiri yaitu Ghea. Ketika mereka sedang bermain, Ghea tak pernah lepas mendapat telpon dari Bunda. Bunda bertanya Ghea di mana, sedang apa, sudah makan atau belum, hati-hati, kapan pulang, berbagai pertanyaan seringkali Bunda utarakan hingga kadang Ghea merasa risih karena sang Bunda terlalu mengkhawatirkan dirinya.

"Padahal aku udah gede, tapi Bunda tidak berubah. Dia terus bertanya seperti seorang wartawan," ujar Ghea, pada suatu waktu saat mereka makan bersama di mall.

"Itu kan tandanya Bunda sayang kamu, harusnya kamu bersyukur. Diluaran sana banyak yang enggak dapet kasih sayang seorang Ibu," Naya menceramahi makhluk yang kurang bersyukur ini.

"Iya Nay aku bersyukur, tapi kan Bunda menurut aku berlebihan."

"Mumpung Bunda masih ada jangan ngomong kayak gitu."

"Iiihh Naya kok gitu sih ngomongnya." Ghea memukul sumpit Naya yang hendak mengambil sepotong daging dari atas panggangan mini di depan mereka.

"Ya kamu jadi anak bukannya bersyukur yeee..."

Benar-benar menjadi impian banyak orang perlakuan Bunda terhadap Ghea. Terlihat sekali bagaimana Bunda begitu menyayangi putrinya, tak lepas dari ingatan berbagai pertanyaan Bunda lontarkan kepada Ghea untuk mengetahui keadaan putri tercinta.

Semua itu sangat berharga, tapi apakah semua itu akan terulang kembali setelah kejadian tak terduga menimpa. Membayangkan mobil yang jatuh ke jurang hingga korban belum ditemukan terasa begitu mustahil untuk selamat. Harusnya pikiran negatif seperti ini tak hinggap dalam diri, tapi apa daya pikiran semacam inilah yang memenuhi.

***

Di sudut lain...

"Apa Ghea sudah ada kabar lagi Bi?" tanya Ayah Ghea, Willy Bagaskara. Pria paruh baya itu mulai khawatir dengan keadaan putri tersayangnya.

"Belum Tuan, Nona mungkin masih dalam perjalanan," bisik Bibi Yunita pada Ayah Ghea yang tengah duduk di atas hamparan permadani ruang tamu.

Ghea telah sampai di bandara Internasional Soekarno-Hatta. Berjalan cepat keluar bandara, buru-buru menghadang taksi. Dia langsung mengulurkan tangan tatkala melihat taksi yang melintas. Tanpa banyak bicara gadis itu menyeret kopernya dan hendak masuk ke dalam taksi tersebut.

"Ghe, kamu enggak telpon orang rumah dulu?" Naya menahan tangan Ghea. Memberikan arahan, supaya sahabatnya itu mengabarkan pada orang rumah mengenai kedatangannya dan meminta informasi terbaru perihal Bunda.

"Aku enggak siap sama kabar yang bakal aku dapat, lebih baik begini. Aku langsung dateng ke rumah."

"Aku ikut Ghe," pinta Naya.

Ghea mengangguk. Setuju.

Perjalanan menuju rumah Ghea dari bandara sekitar satu jam lebih. Selama itu juga Ghea dalam mobil hanya diam tak berbicara sepatah katapun.

Saat jarak kurang lebih 1 km lagi Ghea mengangkat tangannya menengadah berdoa, berharap agar hal yang selama ini berkeliaran dalam pikirannya tak terjadi. Naya melihat Ghea berdoa tampak begitu serius hingga air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Wahai Dzat yang telah mengizinkan aku mengangkat kedua tangan ini, hari ini, saat ini, detik ini, aku memohon dengan sangat tolong jangan ambil Bunda dari hidupku. Terlepas dari dosa yang memenuhi langit, aku mohon, aku belum siap untuk sesuatu yang bernama kehilangan. Aku memohon dengan ke Maha Murahan-Mu untuk bersedia mengabulkan doaku. Jika kepada Mu doaku tak terkabulkan maka kepada siapa lagi aku harus memohon? Pikiran kehilangan Bunda tak bisa aku tepis, hal ini terus menyelimuti ku. Aku mohon jangan ambil Bunda ketika aku bahkan belum bisa menjadi anak yang berbakti. Aku janji, jika Engkau memberikan kesempatan dengan masih menghidupkannya, aku akan berusaha menjadi anak yang berbakti. Aku mohon Tuhan."

Setelah selesai mengadukan perihal masalahnya pada sang Ilahi, dia mengusapkan kedua telapak tangannya pada wajah. Tarikan napas panjang dia lakukan ketika kedua tangannya menutupi wajah. Belum selesai menarik napas Naya sudah memanggil Ghea.

"Ghe... Ghe." Suara Naya tampak lirih.

Mendengar suara Naya, Ghea langsung membuka mata dengan memalingkan tangan dari wajahnya. Ternyata yang awal pertama kali Ghea lihat adalah bendera kuning melekat dipagar rumahnya.

Seketika itu dia tercengang, apakah hal yang tak diinginkan Ghea malah menjadi kenyataan? Mobil taksi yang dia tumpangi bersama Naya berhenti tepat di depan rumah. Gadis itu keluar dan langsung melihat begitu banyak karangan bunga yang bertuliskan.

"Turut berduka cita atas wafatnya

Ibu Airin Ayu Lestari Binti

Bapak Setyo Nugroho"

Seketika itu degup jantung Ghea menggila, kenyataan pahit menampar dirinya dengan keras, membangunkan dari kehidupan yang hampir tidak ada celah.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Raline

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku