Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Simply, you

Simply, you

Raline

5.0
Komentar
763
Penayangan
101
Bab

Nadyne harus tumbuh dengan melihat kedua orang tuanya kerap bertengkar bahkan ayahnya tega berselingkuh. Ia tekadkan niat untuk menjadi pengacara spesialis perceraian karena memiliki mimpi membela ibunya di meja hijau. Takdir berkata lain, ayahnya harus meninggal lebih dulu karena sebuah kecelakaan . Dendam Nadyne belum terbalaskan, ia masih mengincar selingkuhan ayahnya yang sukses menghancurkan dan merampas kekayaan keluarganya. Ibunya justru menjodohkan Nadyne dengan pewaris tunggal Classic Group, salah satu bank swasta terbaik di negerinya. Ibunya berharap Nadyne di ratukan oleh Daniel, tidak seperti nasib buruk ibunya. Namun, rumah tangga itu tidak seindah yang dibayangan. Pernikahan yang tidak dilandasi cinta, membuat Nadyne makin sengsara karena suaminya belum usai dengan masa lalunya. Nadyne berusaha pertahankan rumah tangga itu sampai tiba ajal ibunya. Di hari meninggalnya sang ibu, Nadyne mengajak cerai Daniel dan kembali bertekad balas dendam pada selingkuhan ayahnya. Daniel tidak terima ajakan cerai Nadyne, lelaki itu bersikukuh mempertahankan rumah tangga mereka beberapa saat lagi demi menjaga nama baik keluarga. Pada akhirnya, Nadyne tetap menjalani kehidupan rumah tangga tanpa nafkah batin dari Daniel. Pada akhirnya, Nadyne memilih memanfaatkan harta suaminya untuk balas dendam. Namun, Nadyne tiba-tiba dijebak menjadi selingkuhan orang lain hingga mendapatkan hujatan karena profesinya sebagai pengacara spesialis perceraian. Akankah rumah tangga Daniel dan Nadyne bertahan, bagaimana mereka melalui semua ini?

Bab 1 Cerai

Percaya dan takut muncul secara simultan. Nadyne berusaha menghela napas panjang, memberhentikan isakan tangis yang sudah saatnya bermuara. Si tangan kanan dan kiri bergantian mengusap pelupuk. Memberantas segenap kesedihan yang tengah merajai. Bertekad mengakhiri sandiwara rumah tangga, dengan segera memalingkan pandangan pada suaminya.

"Mari bercerai," tutur wanita itu santai. Wajah sedih hanyut dalam tangis itu sirna, berubah menjadi tajam.

Terperangah. Lawan bicara yang dimaksud sampai mengerutkan dahi. "Apa kau gila?"

Bercerai adalah satu kata yang berbahaya dalam kehidupan berumah tangga. Roh jahat mana yang hinggap di tubuh istrinya.

"Apa aku perlu berteriak agar semua orang dengar?" Kalimat itu membuat Daniel menatap sengit istrinya.

Rika baru saja dimasukkan ke liang lahat. Para tukang gali kubur bahkan masih merapikan tanah untuk menutupi mayat mantan pensiunan guru tersebut. Tanah coklat khas kuburan berceceran hingga mengenai kaki mulus wanita yang barusan mengajak suaminya berpisah. Situasi haru dan tangis yang mengisi area pemakaman, tidak lain bagai abu beterbangan, tak berarti.

"Apa kepergian ibu membuat kamu kehilangan kesadaran?" Tukas suaminya.

Tidak ada kecelakaan yang membuat saraf Nadyne bermasalah kan? Dia begitu berani untuk ukuran seseorang yang baru saja ditinggal ibunya sendiri. Mengajak bercerai tepat di depan pemakaman ibunya yang masih sangat baru.

"Aku, ingatkan. Kita di depan pemakaman ibu, Nadyne Aleena!"

Mertuanya baru saja diantarkan ke tempat peristirahatan terakhir, tapi istrinya justru asal bicara. Pernyataan anak kurang ajar seketika tersemat dalam diri Nadyne. Tidak beradab dihari penuh duka lara. Meski di titik nadir paling getir, bagi wanita itu di atas awan.

Membisu. Mematung. Tidak muncul reaksi apapun, hanya konsisten menatap suaminya penuh kebencian. Geram.

Dibiarkan tanpa tindakan, suatu jalan yang buruk. Masalah rumah tangga ini dapat menjalar dan menghebohkan area pemakaman yang ramai. Sebelum badai itu menerpa, menerjang rumah tangganya, meluluhlantakkan hubungan diantara mereka, Daniel segera mengalihkan pandangan pada bawahannya.

"Johan, bawa istri saya pergi dari sini!"

"Baik tuan."

Spontan lelaki bertubuh kekar itu berjalan mendekati istri majikannya. Dengan sigap, Johan memegang tangan wanita itu tanpa ragu. Berniat menggiring nyonya bos.

Usai mendengar ucapan Daniel, tatapan maut itu belum kunjung surut. Sepatah kata juga tidak mewakili perasaan Nadyne. Dia, kehabisan kata dititik terberatnya.

"Cepat pergi!" Titah Daniel, lagi.

Daniel takut pertengkaran diantara mereka memuncak. Ditengah hiruk-pikuknya area pemakaman yang pilu, jangan sampai terjadi keributan. Pertikaian mereka dapat di cap durhaka dan tidak menghormati kepergian almarhumah.

Saat lelaki itu menyuruh pergi untuk yang kedua kali, sudah cukup membuat Nadyne mengalah. Egonya bisa menyetir dia untuk memberontak. Menguak fakta di depan khalayak umum perihal deritanya. Namun, pikiran jernihnya masih tersisa. Bukan karena tidak mampu, sisi kedewasaan patut hadir meski menjerit menahan sakit.

"Lepaskan! saya bisa jalan sendiri," ungkap Nadyne, sadar adanya tangan yang berniat menuntun.

Johan segera menurunkan kedua tangannya.

Terasa kentara luka di depan mata, menyaksikan surganya telah tiada. Detik ini juga, Nadyne mesti dibawa pergi dari area pemakaman. Sebuah potongan kata dan frasa tidak terlontar secercah pun dari mulut dia. Nyaris semua mata memandang almarhumah ibunya, hanya Nadyne dan Daniel yang saling menautkan tatapan mengerikan.

******

Tarikan napas terakhir mu, adalah kehancuran duniaku.

Sunyi, sepi, senyap. Aroma lavender khas kamar ini tercium pekat. Pemiliknya rutin menambah pengharum ruangan meski masih ada seperempat. Buku-buku dari mulai pendidikan sampai sastra klasik tersusun rapi di rak kayu. Berprofesi sebagai guru, menjadikan Rika sebagai sosok kutu buku. Jika hari libur tiba, ia bisa menghabiskan berjam-jam di dalam kamar untuk membaca buku.

"Aku... benar-benar sendiri," lirih seorang gadis di atas ranjang berselimut duka.

Nazhira berbaring menghadap ke kanan, dia dapati gorden putih yang menerawang. Menatap haru benda mati dengan pikiran melayang. Berteman dengan luka, gadis itu tampak lemah di atas kasur.

"Semuanya pergi saat aku belum siap dengan kehilangan."

Tangannya memegang erat selimut yang menutupi badan. Rasa sakit kehilangan sosok ibu begitu menyakitkan. Takdir yang tidak bisa siapapun lari darinya, kini harus menimpanya. Jantung hatinya kembali pada pangkuan Ilahi, dia menangis diambang pintu kesakitan.

"Kenapa harus ibu yang pergi?" Lirihnya lagi. Fakta people come and go, sungguh menyayat hati.

Kenapa harus ada datang dan pergi. Kenapa perpisahan begitu menyesakkan dada. Kenapa tetesan air dari telaga mata kian melumuri. Kenapa batin ini terasa disiksa. Kenapa Tuhan mentakdirkan perpisahan. Dan, kenapa harus ibu.

Mereka berpikiran sempit ketika ujian menyapa. Mereka egois, enggan berkaca. Ya, mereka manusia dengan sepaket kekurangan. Kekurangan yang mewujudkan rasa ingin segalanya. Kekurangan yang melupakan filosofi diri mereka sebagai hamba. Mereka, begitu.

Hakikat kehidupan yang fana seperti bualan. Mereka merasa memiliki hingga sulit melepaskan. Pada akhirnya, mereka terluka karena dirinya sendiri.

"Kakak, akan selalu bersamamu," respon Nadyne.

Dibalik badan adiknya, dia berdiri menyaksikan adegan saat ini. Derasnya air mata terlihat jelas membasahi bantal. Adiknya membanjiri bantal mendiang sang ibu dengan buliran bening yang tak kunjung putus.

"Aku tidak percaya lagi ucapan manusia. Mereka selalu berkata begitu, pada akhirnya meninggalkanku juga."

Rasa sakitnya luar biasa menyebar, ucapan kakaknya bak buih dilautan. Ibu seminggu yang lalu pun berucap demikian, pada ujungnya pergi tanpa pamit. Bagi Nazhira, kalimat tersebut hanya omong kosong. Lagi-lagi, dia harus sendiri. Sendiri menjalani sisa hidup tanpa ibu, yang tak terganti.

"Ra, kamu tidak bisa terus seperti ini."

"Ayo keluar, ada banyak orang ingin bertemu."

Menjengkelkan. Nazhira merasa kakaknya keterlaluan. Seolah Nadyne tidak memberi ruang untuk dirinya yang tengah larut dalam duka. Menyuruh keluar dari kamar dan bertemu orang-orang yang pasti akan menjadi support system dalam sekejap. Menonton peran para manusia yang tiba-tiba ikut berkabung dan meneteskan air mata. Nazhira enggan bersandiwara di depan mereka.

"Tinggalkan aku sendiri. Kakak hanya peduli pada kedatangan mereka yang seakan merasakan kehilangan ini. Mereka tidak lain hanya berpura-pura." Bukan Nazhira namanya jika tidak bermulut pedas.

Meski kesedihan melanda, masih sempatnya gadis itu berprasangka negatif pada orang lain. Sehebat apapun rasa sakit yang meruntuhkannya kini, tetap tidak layak bibir manisnya berbicara buruk.

"Kamu selalu pandai menilai orang lain, Ra. Sayangnya, kamu tidak mampu berkaca."

******

"Hari ini kita pulang," ucap Daniel dari balik cermin. Pria bertubuh kekar dengan tinggi ideal sibuk memasangkan dasi.

Tangan Nadyne yang telaten merapikan tempat tidur terjeda seketika. Jalan pikir wanita itu spontan berkeliaran. Penuturan kata suaminya sukses menampilkan sisi jahat manusia. Baru sehari mereka tinggal di rumah mendiang Rika, namun Daniel telah mengajak istrinya kembali ke rumah mereka. Tidak ada yang lebih kejam dari pria seperti Daniel, itulah sebutan dari istrinya sekarang.

"Pulanglah sendiri, aku akan tinggal di sini." Intonasi datar terdengar sempurna.

Nadyne enggan menjawab dengan nada tinggi, meski dia mampu. Energinya telah terkuras habis.

Jawaban yang enggan didengar. Daniel spontan menghentikan aktivitasnya, dia berbalik badan dan langsung berjalan cepat menuju sumber suara. Derap langkahnya terdengar kesal ketika menghentakkan lantai. Pria bersetelan kemeja putih tersebut terus berjalan hingga tepat di samping istrinya.

"Kalau aku bilang pulang, ya pulang!" Tegas Daniel. Kedua bola matanya tidak pernah menatap teduh sang istri.

Wanita berambut panjang itu tidak menggubris, dia hanya membereskan tempat tidur yang berantakan bak ditimpa gempa. Mengusap lembut tiap bagian seprei agar terlihat rapi walau nantinya berantakan lagi. Mata Daniel mengikuti tiap gerakan sang istri, membisu untuk waktu yang lama. Padahal, pria itu sudah berada di sampingnya dengan menegaskan satu kalimat. Lantas, reaksi lawan tidak berubah.

"Apa kamu tidak mendengarkanku?"

Nadyne tetap menyelesaikan tugas. Masih berporos pada satu set ranjang dengan kasur berukuran sedang.

"Nadyne Aleena!" Teriak Daniel.

Telinga wanita itu sempat berdenging. Hampir saja gendang telinganya rusak karena suara keras dan jarak mereka cukup dekat. Dengan segera, Nadyne pun mengalihkan pandangan pada tersangka yang nyaris merusak titipan Tuhan.

"Banyak orang di rumah ini. Kamu mau buat keributan?"

Sanak keluarga Rika menginap di rumahnya. Begitu banyak keluarga yang masih larut dalam duka, sulit melepaskan almarhumah. Setidaknya, mereka ingin menemani penghuni rumah meski sebentar. Menjadi pelipur hati, walau tak akan pernah terganti.

Teriakan seorang suami dari dalam kamar akan memancing asumsi. Beberapa argumen negatif bisa mencuat, karena pasangan suami istri berdiam di dalamnya. Nadyne takut keluarganya khawatir tentang rumah tangga yang baru jalan setengah tahun. Takut mereka mengetahui fakta dibalik serasinya mereka di depan umum. Takut, sebuah rahasia terbongkar. Takut sekali.

"Seharusnya kamu jawab, agar aku tidak berteriak."

Memejamkan mata sejenak, lalu menatap suaminya dengan seksama. "Aku sudah bilang akan tetap di sini."

"Kita, punya rumah Nadyne."

"Ibu baru meninggal kemarin." Nadyne mengingatkan. Jangan sampai suaminya amnesia mendadak.

"Kamu bisa berkunjung lagi nanti."

"Cepat bereskan. Kita bersiap pulang!"

Berusaha sekuat tenaga menetralkan gemuruh di dada. Biasanya wanita itu tidak banyak bicara, tapi kondisi sekarang memaksa. Mencoba menyadarkan Daniel, sosok keras kepala yang tiada tanding. Di pagi buta bersetelan baju tidur, dia harus berseteru dengan manusia yang ibunya jodohkan enam bulan lalu. Alur yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kini justru sedang dirasakan. Menuangkan simpati sedikit saja, sesulit itukah bagi Daniel.

"Kita memang tidak cocok dari awal," ungkap Nadyne seraya menggelengkan kepala.

"Lihatlah, kamu sudah berpakaian rapi hendak ke kantor. Padahal, mertua kamu baru berpulang kemarin." Menilik pakaian khas kantoran menempel sempurna pada tubuh pria itu.

"Tidah usah terlalu jauh memikirkan apa kata orang, anak kecil pun akan heran atas perilaku kamu." Hebatnya Nadyne masih konsisten berbicara dengan nada santai, tanpa volume keras.

Diam tidak berkutik, Daniel pun sadar betul kelakuannya. Namun, dia percaya diri mempertahankan pandangannya tanpa merasa bersalah. Menyimak hingga akhir akan bermuara ke mana keluh kesah istrinya.

"Apa kamu sebut diri kamu manusia?"

Deg. Daniel tersinggung dianggap tidak memiliki hati nurani. "Nad...."

Tangan Nadyne mengisyaratkan suaminya agar diam. Menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Merasakan setiap hembusan yang kian sesak. Mata berkaca-kaca, memberi sinyal tentang lelahnya diri. Tatapan penuh makna tersirat di sana.

"Daniel, mari bercerai."

Denganmu, hanya mengukir luka tanpa jeda- Nadyne.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Raline

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku