Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Empat tahun hidup sendirian, mengurus toko bunga kecil, menurutku, aku baik-baik aja. Bahkan jauh lebih baik-baik aja setelah perpisahan yang menguras segala sisi emosi.
Winengkuku Narendra atau kerap ku sapa mas Win, lelaki yang sudah menjadi suamiku selama 3 tahun itu, menceraikan aku karena kita gak kunjung di karuniai anak. Ya, alasan klasik yang bisa diterima, tapi harusnya masih bisa di kompromikan denganku dan masih bisa kita usahakan sama-sama.
Sayangnya, dia memutuskan itu sepihak. Terlihat egois. Entahlah, mungkin tekanan dari keluarganya juga yang ingin mas Win segera punya keturunan dengan menikahi perempuan lain. Aku gak tahu dan udah gak peduli. Aku gak mau menerka-nerka lebih jauh karena fokusku waktu itu hanya menyembuhkan diri sendiri yang patah dan rapuh bahkan hancur berkeping-keping.
Mendiang ibuku pernah bilang kalau perempuan itu gak punya batasan untuk menjadi kuat di dalam hidupnya. Seperti satu dibagi kosong yang hasilnya tak terhingga, begitu pula kekuatan perempuan. And i'm egree with this.
Empat tahun terakhir ini, aku mencoba ikhlas. Sekuat tenaga mencoba menata kembali hidupku yang tentunya tidak beraturan dan terombang-ambing setelah kehilangan nahkoda. Dan empat tahun terakhir ini, aku jadi berteman akrab dengan yang namanya kesendirian. Padahal dulu aku paling takut sendiri, tapi sekarang bukan hal buruk ternyata untuk di jalani. Ketakutan-ketakutan saat sendiri justru gak terjadi. So, aku anggap aku memang terlalu berlebihan aja sampai bisa berpikir negatif seperti itu.
Sekarang, aku justru berada di titik sangat menikmati sepi. Membaca buku sambil minum coklat panas, mengkhayal hidup impian, menulis cerita-cerita atau jurnaling, tentu aja selain merangkai bunga-bunga cantik. Itu udah jadi keseharian karena aku mengelola toko bunga kecil. Milikku sendiri.
Sebelumnya, aku hanya istri setia yang selalu di rumah. Mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, menunggu suami pulang kerja, dan melayani suami. Istriable banget lah. Aku cukup menikmatinya waktu itu. Karena sebenarnya, rumah tangga kami harmonis-harmonis aja. Tidak ada konflik besar sampai berantem besar dan berhari-hari. Mas Win adalah lelaki yang cukup pendiam dan to the point, sementara aku perempuan yang periang tapi bisa sangat jadi penurut pada suami.
Ya udahlah. Aku gak mau terus-terusan meratapi nasib. Maka dari itu atas dukungan Anki-sahabatku- dan Sapta-kakak laki-lakiku yang juga suami dari Anki, aku memberanikan diri membuka toko bunga yang kuberi nama 'Fleur by Rangita' atau biasa disingkat 'Flora'. Rangita sendiri adalah nama belakangku, Englias Rangita. Tapi aku sendiri lebih sering disapa Iyas.
Kebetulan juga, memiliki toko bunga adalah salah satu di daftar impianku waktu masih remaja dan sekarang udah ter-ceklist.
Aku tersenyum, cukup puas dengan pekerjaanku hari ini seraya mengamati bunga favoritku sepanjang masa ini, mawar. Rangkaian bunga mawar putih untuk pesta pernikahan Aira sudah selesai ku buat. Buket mawar putih yang kurangkai rapi dengan sentuhan wax paper berwarna senada dengan bunganya.
Aira ini adalah teman kuliahku, udah lama sekali gak ketemu, tiba-tiba dia berkunjung ke Flora untuk memesan buket bunga. Dari ceritanya sih, ini adalah pernikahan kedua setelah dua tahun menjanda. Suami pertamanya adalah orang Birmingham, yang juga tempat Aira menimba ilmu S2-nya. Setelah bercerai, dia pindah ke Boston untuk bekerja dan bertemu dengan calonnya yang sekarang.
Tampak matanya sangat berbinar ketika menceritakan bagaimana pertemuannya dengan lelaki ini sampai mereka memutuskan untuk menuju ke jenjang yang lebih serius dengan background masa lalu masing-masing tentunya. Karena yang aku dengar dari Aira, calonnya ini juga seorang duda.
Aku senang mendengar kabar baiknya, dia pun mengundang aku sekalian untuk datang ke pernikahannya.
Dengan senang hati, aku menerima orderannya sekaligus undangannya. Sore ini juga, aku sendiri yang akan mengantar buket bunga mawar ini ke rumahnya. Seperti bunga mawar putih ini yang melambangkan cinta yang murni dan kesetiaan abadi, aku harap cinta Aira dan suaminya juga akan abadi.
Anki menelepon saat aku udah mau berangkat.
"Iya, ini aku mau kondangan sekalian nganter orderan buket. Kenapa Ki?"
"Sendirian aja? biasanya minta temenin aku?"
"Kali ini kayaknya aku udah oke kok ke kondangan sendiri, lagian ini temen kuliahku dan gak mungkin ada circle-nya mas Win. Terus katanya kamu hari ini mau dinner sama Sapta kan?"
"Iya sih. Yaudah kamu hati-hati ya kalau gitu. Eh Gini... gini... Yas, aku sebenernya butuh saran dari kamu. Kira-kira aku harus pake baju apa nanti?"
Kadang aku gak habis pikir dengan sahabat sekaligus kakak iparku yang satu ini. Bisa-bisanya dia masih meminta pendapatku mau pakai baju apa? Udah kaya mau dinner sama gebetan baru aja. Padahal sejarah mencatat kalau mereka udah berumah tangga selama lima tahun dan udah punya satu anak bernama Yasya. Tolong garis bawahi lima tahunnya. Waktu yang cukup lama kan untuk saling tahu selera satu sama lain, kesukaan satu sama lain? Lagian, Anki adalah perempuan termodis yang pernah aku kenal. Dia selalu mengikuti mode tren fashion terkini.
"Yakin masih nanya aku?" mataku memutar ke atas.
"Iya. Buruan kasih saran!"
Kalau tidak ingat Anki sering membantuku, rasanya aku males kasih saran hal begini padanya. Jadi, ya tidak ada salahnya membantu kakak ipar yang tiba-tiba kehilangan arah fashionnya dan kemampuan menilai sebuah penampilan saat mau dinner dengan suaminya sendiri.
"Emmm, kenapa nggak pake dress yang kamu beli minggu lalu? itu bagus sih menurutku."
"Warnanya terlalu gelap Iyas! Ada saran lain?"
Aku membuka pintu mobil dengan susah payah, karena tanganku satunya membawa buket dan terpaksa ponselnya ku apit diantara pundak dan telinga sehingga tanganku bisa membuka pintu belakang dan memasukkan buketnya.
"Yang line dress warna tosca deh, kayaknya aku pernah liat di lemarimu."
"Ah iya, aku punya. Oke deh, aku coba dulu. Nanti aku pap ya, byee Iyas! Hati-hati di jalan!"
Jam di tanganku udah menunjukkan pukul lima sore, acaranya pukul tujuh malam. Kalau dilihat dari alamat di undangan yang Aira kirimkan lewat whatsapp sih, lokasinya lumayan jauh, di selatan kota Jogja. Jadi aku harus berangkat lebih awal mengingat skill menyetirku standar. Jujur aja, aku baru bisa menyetir mobil 5 bulan terakhir ini karena aku butuh kesana-kemari tanpa harus merepotkan Sapta.