Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
You Make Me High

You Make Me High

Liliay

5.0
Komentar
63
Penayangan
20
Bab

Terbiasa hidup sendirian selama bertahun-tahun membuat Bianca merasa aneh ketika seorang pria yang lebih muda mendekatinya. Menolak sudah ia lakukan tapi tampaknya si kaya itu tidak berniat mundur begitu saja. Bahkan demi melunakkan hati Bianca yang sekeras batu itu, Ravindra rela memberikan sesuatu yang tidak mungkin ditolak oleh seseorang seperti Bianca. *** "Kalau begitu ayo mulai saling mengenal," kata Ravindra dengan lembut. Berusaha mengambil hati Bianca tidak dengan kekerasan. Bianca berdecih. Tidak sudi. Dia tidak akan menjalani hubungan yang tidak akan menguntungkan dirinya sama sekali. "Gue gak tertarik," jawab Bianca cuek. Lalu wanita itu memilih berbalik, ingin segera pergi dari kamar itu. Tidak tahan kalau harus melihat Ravindra lama-lama. "I'll pay." Langkah Bianca berhenti. Ravindra berjalan mendekat. Berdiri di depan Bianca yang enggan menatapnya. Ravindra tidak keberatan. Ia malah mengeluarkan dompet, mengeluarkan sebuah kartu hitam, dan menaruhnya di telapak tangan Bianca. Wanita itu jelas tahu benda apa itu. Black Card. "Be mine and i'll pay everything you want."

Bab 1 10 Miliar

Bianca meraih ponsel dari atas nakas, melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Matanya melirik pria yang masih tidur di sebelahnya. Lalu tanpa membuang waktu lebih lama dengan tubuh telanjang Bianca beranjak.

Masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian membungkus dirinya kembali dengan pakaian ketat yang semalam ia kenakan. Tangannya meraih cek yang terletak di sebelah ponsel lalu memasukkan keduanya ke dalam tas.

"Udah mau pergi?"

Suara serak dari pria yang masih terpejam itu membuat Bianca menoleh. Menjawab hanya dengan gumaman.

"Kapan-kapan lagi, ya?"

"Siapin aja uangnya," jawab Bianca sebelum membuka pintu hotel.

Wanita berparas cantik dengan tubuh sexy itu berjalan santai di lorong menuju lift. Suara sepatu hak yang dia pakai terdengar nyaring karena suasana yang sepi.

Bianca yang semula menunduk mengangkat wajah. Mata tajamnya langsung bertabrakan dengan seseorang yang berjalan dari arah berlawanan. Keduanya sama-sama berhenti di depan lift.

Pria itu yang menekan tombol lift, lalu tak lama pintu lift terbuka. Bianca berdiri di sudut dengan si pria yang berada di sudut berlawanan.

"Alone?"

Bianca melirik, menemukan tatapan pria itu yang memandangnya secara terang-terangan.

"Hm," jawabnya.

"Mau diantar?"

"No, thanks."

Jelas saja Bianca menolak. Mereka baru pertama kali bertemu. Ia memang sudah terbiasa pergi berdua dengan pria asing, namun, tidak pernah dengan pria yang tidak memberikan uang. Semuanya dalam hidup Bianca memang tentang uang.

Karena ia tidak ada waktu untuk memikirkan hal yang lain selain lembar kertas berharga itu.

Si pria yang awalnya berada di sudut itu mendekat, membuat Bianca menegakkan tubuh. Was-was.

"Ravindra," kata pria itu.

Bianca menaikkan sebelah alis. Menatap pria yang memperkenalkan diri itu dengan penuh tanya.

"What's your name?"

Orang bilang, sepertiga malam terakhir memang waktu yang magis. Mungkin karena itu kedua insan berbeda gender bisa mengobrol tanpa ragu. Meski sangat ketus tapi Bianca tetap menyebutkan nama.

"Bianca."

"Oke, Bianca." Ravindra menjilat bibir bawahnya. "Bye the way, partner sex mu liar juga."

Bianca tidak menunda untuk menoleh. Sedikit mendongak karena perbedaan tingginya dengan Ravindra.

Ravindra yang ditatap tajam seperti itu menunjuk leher dan pundak Bianca yang terekspos. "Itu merah semua."

Dan Bianca hanya memutar bola matanya. Ternyata hanya karena kissmark Ravindra tahu kalau dirinya telah bercinta. Tadinya wanita itu pikir, Ravindra tahu karena ada kamera yang dipasang dikamar tempatnya tadi.

Bukan tanpa alasan Bianca berpikir seperti itu karena dirinya pernah mendapat customer yang diam-diam menaruh kamera untuk merekam sesi bercinta mereka.

"Jeli juga penglihatan lo," balas Bianca sewot.

Setelah mengatakan itu, pintu lift terbuka. Bianca langsung keluar tanpa mengatakan apapun lagi. Tapi baru dua langkah, tangannya dicekal. Ia menoleh, melihat Ravindra yang juga menatapnya.

"Elo mau apa megang tangan gue?" tanya Bianca ketus.

Sikapnya memang tidak akan pernah ramah pada siapapun. Ia selalu menunjukkan cakar dan taringnya. Tidak peduli seberapa penting pria yang ia layani. Bahkan dengan Sarah, mami di club tempatnya bekerja saja Bianca tidak pernah sopan.

"Minta nomor," kata Ravindra. Pria itu menyerahkan ponsel. "Kali aja aku mau makek kamu."

Semua pria memang sama saja. Mendekati wanita sexy hanya untuk kepuasan nafsu.

"Gue mahal."

Ravindra mengangguk. Uang bukan masalah. Ia bisa memberikan berapa pun yang wanita itu minta.

"Mahalnya seberapa? Mau ditransfer sekarang? Berapa? Seratus juta? Eh, kemahalan ya segitu?"

Bianca mendengus kasar. Sudah biasa diremehkan seperti ini. Ia tidak merasa harga dirinya diinjak-injak. Tapi hatinya tetap merasa kesal karena tubuhnya yang sudah lelah dan mau tidur secepatnya, harus terkendala oleh pria asing yang hanya mampu menyebutkan angka seratus juta untuk dirinya.

Harganya jauh lebih mahal dari itu asal tahu saja. Dia adalah wanita penghibur VVIP yang tidak pernah mengecewakan. Dirinya hanya melayani pria kaya dan juga tampan.

Oke. Ia akui Ravindra memang tampan. Tapi apa pria itu juga kaya? Bianca memindai penampilan si pria. Kemeja merah maroon dan juga celana bahan hitam yang dipakai memang dari brand ternama. Jam tangan seharga ratusan juta dan juga bau parfum yang sangat langka.

Bianca mengangguk. Pria didepannya memang kaya. Maka, wanita itu langsung menyahut benda pipih berwarna hitam. Mengetikkan nomor dan langsung menyimpannya di ponsel Ravindra.

"Seratus juta mah cuma buat jajan cilok." Bianca mengembalikan ponsel milik si kaya. "Buat elo harga gue sepuluh miliar. Boleh chat kalau ada uang, kalau gak ada skip."

Setelah mengatakan itu, Bianca langsung berjalan pergi. Tanpa pamit dan tanpa menoleh. Pria dibelakang memang sayang kalau diabaikan tapi dirinya sudah sangat lelah untuk melakukan flirting.

Ravindra yang memperhatikan Bianca dari belakang tersenyum tipis. Mencium bau ponselnya yang ada sisa parfum Bianca. Dia boleh dibilang gila karena bisa-bisanya dirinya tersenyum dengan hati berdebar karena seorang pelacur.

***

Pukul enam sore Bianca sudah selesai dengan make up dan tatanan rambutnya yang ponytail. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu berdiri dari kursi, mematut dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum keluar dan mulai mencari pria kaya.

"Bi, ada yang nyari elo, tuh."

Bianca menoleh. Melihat Sarah yang berdiri di ambang pintu. "Siapa?"

"Katanya sih Ravindra."

Si cantik dengan rambut hitam itu mengernyit. Seperti pernah mendengar nama itu tapi lupa dimana. Bianca memang tidak memiliki ingatan yang bagus. Jadi, sebaiknya ia langsung menemui saja.

Siapa tahu pria yang bernama Ravindra itu kaya tujuh turuan dan sangat loyal.

"Dimana dia?"

"Di depan meja bartender."

Bianca langsung berjalan cantik melewati Sarah begitu saja. Tanpa ada ucapan terima kasih atau yang lainnya. Sarah biasa saja, hanya diam tanpa menegur lagi. Sudah hapal dengan sikap Bianca yang memang kurang ajar.

Malam itu Bianca memakai dress merah yang ketat tanpa lengan. Ia sengaja memamerkan lengan putih dan juga kaki sexy miliknya. Begitu keluar dari lorong gelap semua mata langsung memandangnya. Siulan nakal dan juga namanya yang dipanggil tidak membuat Bianca berhenti untuk menoleh atau tersenyum.

Dia memang sedingin itu. Tapi itulah daya tariknya.

Bianca langsung menuju meja bartender. Mata kucingnya yang tajam bisa melihat seorang pria duduk di kursi tinggi, membelakangi dirinya. Bianca benar-benar tidak ingat siapa pria itu meski rasanya pernah mendengar namanya.

"Ravindra?"

Pria yang dipanggil menoleh. Bianca membelalakkan mata, langsung ingat dengan wajah tampan di depannya.

"Gue kira siapa," kata Bianca lalu duduk di sebelah Ravindra.

"Kamu lupa sama aku?" tanya Ravindra tak percaya. "Baru dua hari lho ini."

Bianca mengedikkan bahu. Jangankan dengan pria dua hari yang lalu, dengan siapa dirinya kemarin bercinta saja Bianca tidak ingat.

"Engga harus kan ya gue inget sama wajah tengil kayak elo," balas Bianca cuek. "Jadi, mau apa nyari gue?"

Ravindra melengos. "Nomor yang kamu kasih itu salah. Makanya aku nyari kesini."

Bianca bergumam, nomor yang ia berikan waktu itu hanya asal. Dia memang tidak pernah memberikan nomor hape pada pria secara langsung. Semua lelaki yang menginginkan dirinya harus melewati Sarah lebih dulu.

"Kok tau gue ada disini?" tanya Bianca heran. "Elo pelanggan club sini?"

Ravindra menggeleng. "Bukan."

Bianca berharap ada kalimat lanjutan dari Ravindra sebagai penjelasan. Karena sekarang Bianca sangat ingin tahu. Tapi sepertinya si pria tidak berniat menjawab lebih banyak. Maka, ya sudah. Bianca bisa apa memangnya?

Ia terlalu malas untuk sekedar memaksa Ravindra menjawab lebih banyak.

"Jadi kesini mau minta nomor asli?"

Ravindra mengangguk. Tujuannya memang itu. Percaya atau tidak, Ravindra merasa stress sejak mencoba menghubungi Bianca tapi nomornya malah tertuju pada abang-abang tukang bakso.

"Engga bakalan gue kasih."

Ravindra mengernyit. Menopang kepalanya dengan tangan di atas meja.

"Kalau dikasih sepuluh miliar masih engga mau ngasih?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku