Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Seekor kuda jantan dengan tubuh berbalut bulu berwarna hitam pekat, berlari kencang di jalan setapak kecil di sebuah hutan yang lebat di tengah malam. Menerjang dedaunan yang tumbuh menghalangi jalanannya dan angin malam yang dingin.
Suara gemerisik dari langkah kakinya yang menginjak dedaunan kering yang berhamburan di jalan setapak, menjadi suara pengiringnya. Bercampur dengan ringkihannya.
Seorang pria berusia 38 tahun menunggang kuda itu dalam pakaian serba hitamnya yang dipermainkan oleh angin. Tangan kirinya membawa obor yang menyala sebagai penerangan jalannya, sementara tangan kanannya memegang erat tali kekang kuda yang ditungganginya.
“Uhh ....” Terdengar suara rintihan sakit dari seorang gadis kecil.
Pria itu, Amedeo, menghentikan langkah kaki kudanya. Mata setajam mata elang berwarna biru terang itu menatap ke arah gadis kecil yang dia ikatkan ke perutnya agar tidak jatuh dalam perjalanan.
Seorang gadis kecil berusia 9 tahun yang berkulit pucat dan sudah tidak sadarkan diri. Kulitnya terasa dingin, hembusan nafasnya lirih. Laki-laki itu sampai khawatir bahwa gadis dalam pelukannya itu sudah tiada.
“Shh ... tenanglah.” Amedeo mengusap puncak kepala gadis kecil berusia 9 tahun itu dengan tatapan penuh kasih sayang. “Bertahanlah sebentar, kita hampir sampai.”
Tidak seberapa kemudian, kuda yang ditunggangi Amedeo tiba di sebuah gua yang dikelilingi oleh pepohonan yang cukup lebat. Sulit bagi orang diluar sana untuk mengetahui keberadaan gua ini.
Amedeo turun dengan menggendong gadis itu dengan lengan kirinya, tangan kanannya mengikatkan tali kekang kudanya ke pohon yang ada di dekat gua.
Gua itu sendiri memiliki diameter 3,5 meter. Di langit-langit dan dinding dalamnya ada bebatuan tajam yang siap menusuk jika Amedeo tak hati-hati memasukinya.
Amedeo mengulurkan obornya ke dalam gua untuk menerangi gua yang gelap dan lembab. Tidak ada ketakutan sedikit pun yang terlukis di wajahnya ketika menyusuri gua tersebut. Kegelapan ini sudah terasa akrab baginya.
Semakin Amedeo masuk ke dalam kegelapan itu, cahaya obor menangkap sosok pria tua bertubuh ringkih setinggi 1 meter yang duduk di atas sebuah batu yang dikelilingi oleh genangan air. Langit-langitnya terbuka, menampakkan langit malam dengan bulan purnama yang cahayanya memantul ke air.
"Siapa disana?" Sosok ringkih itu terlihat sudah sangat tua, usianya sudah berpuluh-puluh tahun. Terlihat dari jenggot, kumis, dan alisnya yang memutih dan panjang tak terurus. Kepalanya botak, dengan mudah menampakkan keriput penuaannya.
“Regula.” Amedeo memanggil sosok itu dan berjalan mendekatinya.
Sosok itu seketika membuka matanya yang beriris hijau. Menatap lurus ke arah Amedeo.
Regula berdiri dari duduknya dibantu dengan sebatang tongkat kayu sebagai penopangnya. Dia turun dari batunya, melewati genangan air setinggi betis, hingga akhirnya sampai di depan Amedeo.
“Duke Amedeo Oryn. Apa yang membawamu kemari setelah sekian lama?” tanya Regula. Tidak ada senyum keramahan atau semacamnya, namun suaranya saja terdengar menyambut.
Amedeo berjongkok dan menunjukkan gadis kecil dalam gendongannya pada Regula. “Regula, tolong selamatkan gadis kecil ini.”
Regula terdiam, matanya memperhatikan gadis kecil itu dengan seksama. Seakan sedang menelitinya selama beberapa detik lamanya.
“Gadis yang berbahaya! Beraninya kau membawanya kemari?!” Regula tiba-tiba mundur selangkah. Tatapannya menajam dengan ketakutan pada gadis tersebut.
“Gadis ini punya sihir di dalam dirinya! Kenapa kau membawanya kemari?! Kau ingin aku dibunuh oleh pihak istana?!" maki Regula dengan wajah memerah karena marah.
Amedeo terkejut dengan reaksi Regula. Amedeo menghela nafas panjang dengan ekspresi memohon.
“Aku tidak memintamu untuk merawatnya, Regula. Aku yang akan merawatnya,” kata Amedeo, berusaha menenangkan Regula. “Aku hanya ingin meminta bantuanmu untuk menyembuhkannya dan menyegel sihir yang kau katakan tadi agar tidak membahayakan keluargaku nantinya.”
Regula terdiam untuk beberapa saat lamanya, bingung. Berusaha mempertimbangkan permintaan Amedeo. “Aku bisa saja menyegelnya, Amedeo. Namun aku tidak yakin akan bertahan berapa lama.”
“Bagaimana pun juga ...” Regula menggeleng, menatap ke arah si gadis kecil dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Sekuat apapun aku menyegelnya, sihirku tidak sebanding dengan sihir gadis kecil ini. Ditambah lagi, menyegelnya sama saja dengan melawan takdirnya.”
“Aku melihat bahwa gadis kecil ini akan menjadi penyihir yang kuat. Semakin dia tumbuh dewasa, segelku akan retak karena tidak mampu menahannya. Sihirnya yang tertahan oleh segelku akan meledak dan dia bisa saja memporak-porandakan Kekaisaran Basilius dalam sekejap.”
“Aku mohon, Regula!” Amedeo mengatupkan kedua tangannya di depan dada, tatapannya begitu mengiba mengiba.
“Gadis kecil ini tidak bersalah. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja. Selain itu, aku telah berjanji pada seseorang bahwa aku akan merawatnya dengan baik.” Amedeo tertunduk dalam dengan lengan yang masih mendekap si gadis kecil.