Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Hanum menatap dengan mata berkaca-kaca ke arah suami dan sahabatnya. Ia berusaha menunduk menyembunyikan kesedihannya di depan banyak orang. Hari ini adalah ijab kabul antara Rendi dan Anita. Hanum juga hadir di sana sendiri tanpa membawa putrinya. Putri sulung Hanum ia titipkan pada Reni sahabat Hanum juga. Ia tidak mungkin membawa putrinya ke tempat ini melihat ayahnya menikahi wanita lain. Hanum terus menatap ke arah Anita dan Rendi yang terlihat bahagia menerima beberapa tamu yang datang. Acara ijab ini memang tidak mengundang banyak tamu.
Hanya beberapa keluarga Anita yang terlihat, dan keluarga Rendi hanya Hanum saja sebagai istrinya. Mereka menikah sah di hadapan Hanum dan penghulu, Hanum tidak mengerti mengapa Anita tidak pernah sedikitpun menunjukkan rasa bersalahnya pada dirinya. Bahkan rasa malu sedikitpun, Anita tidak pernah menunjukkannya. Wanita itu bahkan selalu tersenyum dan seperti tidak merasa bersalah. Hanum menghela nafasnya mengusap perut yang mulai terlihat, Hanum sedang mengandung empat bulan. Perutnya belum begitu terlihat, hanya sedikit terlihat menonjol di bagian perutnya saja. Ia menatap ke arah Anita dan bisa melihat jika perut Anita juga sama seperti dirinya. Anita mengatakan jika ia sudah mengandung selama tiga bulan. Sementara Anita baru saja kembali lima bulan yang lalu dari kota Makasar karena bertugas di sana. Anita seorang PNS yang di tempatkan di kantor pemerintah daerah Makasar. Tapi entah mengapa Anita kembali ke Bandung dan bertugas di sini lagi. Hanum bertanya ia sudah selesai tugas di sana dan di pindahkan di kotanya sendiri. Hanum tidak tahu kebenarannya yang pasti Anita bukan wanita yang sembrono pada pekerjaan. Entah kapan mereka menjalin hubungan, karena Anita baru saja berada di sini, yang pasti Anita sudah mengandung anak dari suaminya. Hanum menghela nafasnya panjang lalu berdiri mendekat pada Anita dan Rendi. Keduanya terlihat sangat bahagia, tertawa tanpa rasa bersalah meskipun ia ada di sana. Sesakit ini melihat suami sendiri berada di pelaminan bersama wanita lain. Hanum menarik nafasnya panjang memberi selamat pada suami dan madunya.
"Selamat ya, Mas, Anita, semoga pernikahan kalian selalu di ridhai Allah SWT!" ucap Hanum tulus, Anita langsung menggenggam tangan Rendi dan tersenyum pada Hanum.
"Hanum, terima kasih atas kedewasaan kamu menerima aku sebagai madu kamu, aku berhutang padamu Hanum, semoga kita selalu akur dan berhubungan baik, ya!" ucap Anita membuat Hanum hanya tersenyum tipis. Hanum menatap suaminya yang juga menatapnya.
"Mas aku pulang ya, kasian Namira kalau lama-lama menunggu, Ibu juga sendiri di rumah!" ucap Hanum berpamitan pada suaminya, Rendi mengangguk lalu mengusap pundak Hanum.
"Hanum kamu hati-hati ya, kamu pulang sendiri bisa kan?" ucap Rendi membuat Hanum meremas bajunya merasa emosinya memuncak. Rendi tidak berniat mengantarkannya, ia tersenyum menunjukkan tidak masalah.
"Iya, aku bisa kok!" Rendi tersenyum kembali lalu mengusap kepala Hanum.
"Hati-hati ya, di sini masih banyak keluarga Anita, aku tidak mungkin pergi meninggalkan mereka, kamu ngerti kan?" ucap Rendi menjelaskan membuat Hanum tersenyum tipis. Ia berjalan meninggalkan rumah keluarga Anita dengan mata berkaca-kaca. Ia harus terbiasa dengan hal ini, karena Hanum berani menerima Anita sebagai madunya. Hanum mengusap air matanya yang terus mengalir hingga mendapatkan taksi yang lewat dan menghentikannya. Hanum menangis terisak menumpahkan segala kesedihannya, meraung merasakan hatinya seperti tersayat pisau tajam. Hanum mencoba menenangkan dirinya sendiri karena tidak ingin putrinya melihat keadaannya yang kacau. Hanum memberikan alamat rumah Reni kepada supir taksi tersebut.
Hanum keluar dari taksi lalu menekan bel rumah Reni. Rumah berpagar setinggi orang dewasa itu terlihat terbuka dan tampak Namira bermain di dalam rumah. Hanum tersenyum saat melihat putrinya menatap ke arahnya. Reni langsung mendekati Hanum dan membuka pintu pagar untuk Hanum.
"Sudah pulang, Num?" Hanum mengangguk lalu mendekati anaknya memeluk Namira dengan erat merasa sedih melihat putrinya sendiri. Reni menghela nafasnya ikut sedih melihat keadaan Hanum. Reni mengajak Hanum dan putrinya masuk ke dalam rumah terlebih dahulu sebelum pulang. Reni memberikan segelas air pada Hanum dan langsung di tenggak Hanum hingga tandas.
"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Reni sambil memegang tangan Hanum.
"Alhamdulillah, Ren, aku baik!" ucap Hanum sambil mengusap kepala putrinya.
"Bagaimana di sana?" tanya Reni membuat Hanum melirik temannya lalu memberi kode pada putrinya. Reni mengangguk mengerti lalu menunggu Namira menjauhi mereka.
"Suasana pernikahan, lumayan ramai!" jawab Hanum dengan berbesar hati. Reni mengusap tangan Hanum agar tidak menangis sendiri. Hanum menunduk tidak bisa bicara karena rasa sesak masih terasa di hatinya.
"Sudahlah, jangan nangis terus, pikirkan janin tang ada di dalam kandungan kamu!" ucap Reni lalu memeluk Hanum yang semakin terisak. Hati siapa yang bisa ikhlas melihat dengan sadar suaminya menikah di hadapannya. Tanpa rasa bersalah bahkan berbahagia menyakiti hati Hanum.